Sabtu, 26 November 2011

PERWALIAN (MK.Hukum Perkawinan di Indonesia)


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang masalah
Dalam negara Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 menganut tiga sistem hukum yaitu sistem hukum Adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat, dimana Ketiga sistem hukum ini memiliki karakteristik dan ciri khas masing-masing mengakibatkan terjadinya perbedaan antara yang satu dengan lainnya.
Hal ini menyebabkan terjadinya pluralisme hukum di Indonesia. Dalam lapangan keperdataan misalnya, kita masih menggunakan sistem hukum Barat (BW) yang notabenenya merupakan warisan peninggalan kolonial Belanda, padahal sitem hukum Islam juga mengatur hal-hal keperdataan (muamalat). Perwalian (Voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.
Pada umumnya dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali saja, kecuali apabila seorang wali-ibu (moerdervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi medevoogd. Jika salah satu dari orang tua tersebut meninggal, maka menurut undang-undang orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali bagi anak-anaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut undang-undang (Wettelijke Voogdij).
Seorang anak yang lahir diluar perkawinan berada dibawah perwalian orang tua yang mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatanya (datieve voogdij). Tetapi ada juga kemungkinan, seorang ayah atau ibu dalam surat wasiatnya (testamen) mengangkat seorang wali bagi anaknya. Perwalian semacam ini disebut perwalian menurut Wasiat (tertamentair voogdij).
Seseorang yang telah ditunjuk untuk menjadi wali harus menerima pengangkatan tersebut, kecuali jika ia mempunyai alasan-alasan tertentu menurut undang-undang dibenarkan untuk dibebaskan dari pengangkatan tersebut. Berangkat dari hal-hal tersebut,yang dibahas dalam makalah ini yaitu :
  1. Bagaimana ketentuan perwalian menurut KUH Perdata ?
  2. Bagaimana ketentuan perwalian menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ?


BAB II
PEMBAHASAN

v Pengertian
Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan  sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum[1].
 Adapun pengertian perwalian (voogdij) adalah Pengawasan terhadap anak yang dibawah
umur,  yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua. Anak  yang berada dibawah perwalian adalah:
1.  Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua
2.  Anak sah yang orang tuanya telah bercerai
3.  Anak yang lahir diluar perkawinan (natuurlijke kind)

Menurut hukum positif tertulis, yaitu UU No.1 Tahun 1974 menyatakan bahwa” seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun  atau belum pernah menikah, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali yang menyangkut pribadi anak tersebut maupun harta bendanya.

Dengan demikian, perwalian secara sempit adalah menyangkut tidak berada dibawah kekusaan orang tua. Tidak berada dibawah kekuasaan orang tua dapat terjadi karena,misalnya,meninggal kedua orang tua dari anak yang belum dewasa.

Menurut hukum adat , perceraian ataupun meninggalnya salah satu dari kedua orang tua, tidaklah menimbulkan perwalian. Hal ini disebabkan oleh karena di dalam perceraian, anak-anak masih berada pada salah satu dari kedua orang tuanya. Demikian juga pada situasi meninggalnya salah satu dari kedua orang tuanya. Dengan demikian, yang lebih memungkinkan terjadinya perwalian adalah apabila kedua orang tua dari anak tersebut meninggal dunia,dan anak yang ditinggalkan itu belum dewasa

Pada umumnya dalam setiap perwalian hanya ada  seorang wali saja, kecuali apabila seorang wali-ibu kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi walinya. Jika salah satu dari orang tua tersebut meninggal, maka menurut Undang-undang Orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali bagi anak-anaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut Undang-undang (Wettelijke Voogdij). Seorang anak yang lahir diluar  perkawinan berada dibawah perwalian orang tua yang mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak berada dibawah kekuasaan  orang tua, ternyata tidak mempunyai wali,  hakim akan mengangkat seorang wali atas permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatannya (datieve voogdij). Tetapi adajuga kemungkinan, seorang ayah atau ibu dalam surat wasiatnya (testamen) mengangkat seorang wali bagi anaknya. Perwalian semacam ini disebut perwalian menurut Wasiat (tertamentair voogdij). Seseorang yang telah ditunjuk untuk menjadi wali harus menerima pengangkatan tersebut, kecuali jika  ia  mempunyai alasan-alasan tertentu menurut Undang-undang dibenar untuk dibebaskan dari pengangkatan tersebut.

Dalam KUH Perdata ada juga disebutkan pengertian dari Perwalian , yaitu: Pada Pasal 330 ayat 3 menyatakan:
" Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga,keempat, kelima dan keenam bab ini".

v  PERWALIAN PADA UMUMNYA
Didalam sistem perwalian menurut  KUH Perdata ada dikenal beberapa asas, yakni:
1.   Asas Tak Dapat Dibagi-bagi ( Ondeelbaarheid ) .
      Pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam pasal 331   KUHpdt Asas tak dapat dibagi-bagi  ini mempunyai pengecualian dalam 2 hal, yaitu:
      a. Jika perwalian itu dilakukan oleh  ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (Langs     tlevendeouder), maka kalu ia kawin lagi suaminya menjadi medevoogd atau wali serta, pasal 351 KUH Perdata.
    b. Jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus barang- barang minderjarige  diluar Indonesia didasarkan pasal 361 KUH Perdata.
2.  Asas Persetujuan Dari Keluarga.
Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga kalau tidak datang sesudah  diadakanpanggilan dapat dituntut berdasarkan pasal 524 KUH Perdata 

v  ORANG-ORANG YANG DAPAT DITUNJUK SEBAGAI WALl
Ada 3 (tiga) macam perwalian, yaitu:
1. Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama,
      pasal 345-354 KUH Perdata. Pasal 345 KUH Perdata menyatakan:
" Apabila  salah satu dari kedua  orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang  tua yang  hidup  terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya."
   Namun pada pasal  ini  tidak dibuat  pengecualian bagi suami-istri yang hidup terpisah disebabkan perkawinan putus karena perceraian atau pisah meja dan ranjang. Jadi, bila ayah -setelah perceraian menjadi wali maka dengan meninggalnya ayah maka si-lbu dengan sendirinya (demi hukum) menjadi wali atas anak-anak tersebut.

2.  Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri.
  Pasal 355 ayat 1 KUH Perdata menyatakan bahwa:
" Orang tua masing-masing yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian atas seorang anak atau lebih berhak mengangkat seorang wali atas anak itu apabila sesudah ia meninggal dunia perwalian itu tidak ada pada orang tua yang lain baik dengan sendirinya ataupun karena putusan hakim seperti termasuk dalam pasal 353 ayat 5 KUH Perdata.
Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua  berhak mengangkat  wali  kalau perwalian tersebut memang masih terbuka.

3.  Perwalian yang Diangkat oleh Hakim.
     Pasal 359 KUH Perdata menentukan:
" Semua minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang  diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang  wali oleh Pengadilan.
v  Wewenang menjadi wali
Pada pasa l332 b (1) KUHPerdata menyatakan “perempuan bersuami tidak boleh menerima perwalian tanpa bantuan dan izin tertulis dari suaminya”.
Akan tetapi jika suami tidak memberikan izin maka dalam pasal 332 b (2) KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa bantuan dari pendamping (bijstand) itu dapat digantikan dengan kekuasaan dari hakim.
Selanjutnya pasal 332 b ayat 2 KUH Perdata menyatakan :
“Apabila si suami telah memberikan bantuan atau izin itu atau apabila ia kawin dengan perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun apabila si perempuan tadi menurut pasal 112 atau pasal 114 dengan kuasa dari hakim telah menerima perwalian tersebut, maka si wali perempuan bersuami atau tidak bersuami, berhak melakukan segala tindakan-tindakan perdata berkenaan dengan perwalian itu tanpa pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga dan atau tindakan-tindakan itupun bertanggung jawab pula.”
v  Wewenang Badan Hukum Menjadi Wali
Biasanya kewenangan perhimpunan, yayasan dan lembaga-lembaga sebagai wali adalah menunjukkan bapak atau ibu, maka dalam pasal 355 ayat 2 KUH Perdata dinyatakan bahwa badan hukum tidak dapat diangkat sebagai wali. Tetapi hal ini akan berbeda kalau perwalian itu diperintahkan oleh pengadilan.
Pasal 365 a (1) KUH Perdata dinyatakan bahwa “dalam hal sebuah badan hukum diserahi perwalian maka panitera pengadilan yang menugaskan perwalian itu ia memberitahukan putusan pengadilan itu kepada dewan perwalian dan kejaksaan” .
Sesungguhnya tidak hanya panitera pengadilan saja yang wajib memberitahukan hal itu tetapi juga pengurus badan hukum tersebut dan sanksi akan dipecat sebagai wali kalau kewajiban memberitahukan itu tidak dilaksanakan. Sedangkan kejaksaan atau seorang pegawai yang ditunjuknya, demikianpula dewan perwalian, sewaktu-waktu dapat memeriksa rumah dan tempat perawatan anak-anak tersebut.
v  Yang tidak mempunyai kewajiban menerima pengangkatan menjadi Wali

Ø Seorang yang dianggap sebagai seorang wali adalah salah seorang orang tua.
Ø Seorang isteri yang diangkat menjadi wali.
Ø Perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial lainnya kecuali kalau perwalian itu diberikan atau diperintahkan kepadanya atau permohonannya sendiri atau atas pertanyaan mereka sendiri.

v  Yang dapat meminta pembebasan untuk diangkat sebagai wali.
Dalam pasal 377 (1) KUH Perdata, menyebutkan :
Ø  Mereka yang akan melakukan jawatan negara berada diluar Indonesia
Ø  Anggota tentara darat dan laut dalam menunaikan tugasnya.
Ø  Mereka yang akan melakukan jabatan umum yang terus menerus atau untuk suatu waktu tertentu harus berada di luar propinsi.
Ø  Mereka yang telah berusia di atas 60 tahun.
Ø  Mereka yang terganggu oleh suatu penyakit yang lama akan sembuh.
Ø  Mereka yang tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dengan anak yang dimaksud, padahal dalam daerah hukum tempat perwalian itu ditugaskan atau diperintahkan masih ada keluarga sedarah atau semenda yang mampu menjalankan tugas perwalian itu.
Menurut pasal 377 (2) KUH Perdata dinyatakan bahwa “si bapak dan si ibu tidak boleh meminta supaya dilepaskan dari perwalian anak-anak mereka, karena salah satu alasan tersebut di atas”.
Menurut pasal 379 KUH Perdata disebutkan ada 5 golongan orang yang digolongkan atau tidak boleh menjadi wali, yaitu :
1)      Mereka yang sakit ingatan (krankzninngen).
2)      Mereka yang belum dewasa (minderjarigen)
3)      Mereka yang berada dibawah pengampuan.
4)      Mereka yang telah dipecat atau dicabut (onzet) dari kekuasaan orang tua atau perwalian atau penetapan pengadilan.
5)      Para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti, bendahara, juru buku dan agen balai harta peninggalan, kecuali terhadap anak- anak atau anak tiri mereka sendiri.

v  Wewenang Wali
1.      Pengawasan atas diri pupil (orang yang menentukan perwalian).
            Dalam pasal 383 (1) KUH Perdata,
“Setiap wali harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan terhadap pribadi si belum dewasa sesuai dengan harta kekayaannya dan ia harus mewakilinya dalam segala tindakan-tindakan.”
            Artinya wali bertanggung jawab atas semua tindakan anak yang menjadi perwaliannya.
Dalam ayat 2 pasal tersebut ditentukan , “si anak belum dewasa harus menghormati walinya.” Artinya si anak yang memperoleh perwalian berkewajiban menghormati si walinya.
2.      Pengurusan dari Wali
Pasa1383 (1) KUH Perdata juga menyebutkan :
“… pun ia harus mewakilinya dalam segala tindakan-tindakan perdata.”
       Namun demikian pada keadaan tertentu pupil dapat bertindak sendiri atau didampingi oleh walinya, misalnya dalam hal pupil itu akan menikah.
      Barang-barang yang termasuk pengawasan wali.Menurut pasal 385 (2) KUH Perdata, barang-barang tersebut adalah berupa barang-barang yang dihadiahkan atau diwariskan kepada pupil dengan ketentuan barang tersebut akan diurus oleh seorang pengurus atau beberapa pengurus.

3.      Tugas dan Kewajiban Wali
Adapun kewajiban wali adalah :
  • Kewajiban memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan.
Pasal 368 KUH Perdata apabala kewajjban ini tidak dilaksanakan wali maka ia dapat dikenakan sanksi berupa wali dapat dipecat dan dapat diharuskan membayar biaya-biaya dan ongkos-ongkos.
  • Kewajiban mengadakan inventarisasi mengenai harta si anak yang diperwalikannya (pasal 386 ayat 1 KUH Perdata).
  • Kewajiban-kewajiban untuk mengadakan jaminan (pasa1335 KUH Perdata).
  • Kewajjban menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap-tiap tahun oleh anak tersebut dan biaya pengurusan. (pasal 338 KUH Perdata).
  • Kewajiban wali untuk menjual perabotan rumah tangga minderjarigen dan semua barang bergerak dan tidak memberikan buah atau hasil atau keuntungan kecuali barang-barang yang diperbolehkan disimpan innatura dengan izin Weeskamer. (pasal 389 KUH Perdata)
  • Kewajiban untuk mendaftarkan surat-surat piutang negara jika ternyata dalam harta kekayaan minderjarigen ada surat piutang negara. (pasal 392 KUH Perdata)
  • Kewajiban untuk menanam (belegen) sisa uang milik menderjarigen setelah dikurangi biaya penghidupan tersebut.
BAB III
Mulai dan Berakhirnya Perwalian
A.   Mulainya perwalian
Dalam pasal 331 a KUHPerdata, disebutkan
  1. Jika seorang wali diangkat oleh hakim, dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir dalam pengangkatan itu. Bila ia tidak hadir maka perwalian itu dimulai saat pengangkatan itu diberitahukan kepadanya.
  2. Jika seorang willi diangkat oleh salah satu orang tua, dimulai dari saat orang tua itu meniggal dunia dan sesudah wali dinyatakan menerima pengangkatan tersebut.
  3. Bagi wali menurut undang-undang dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah seorang orang tua.
Berdasarkan pasal 362 KUH Perdata maka setiap wali yang diangkat kecuali badan hukum harus mengangkat sumpah dimuka balai harta peninggalan.
B.   Berakhirnya perwalian

Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan,yaitu :
  1. Dalam hubungan dengan keadaan si anak, dalam hal ini perwalian berakhir karena :
Ø  Si anak telah menjadi dewasa (meerderjarig).
Ø  Matinya si anak.
Ø  Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya.
Ø   Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui.
2.      Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian dapat berakhir karena :
Ø  Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali.
Ø   Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (pasal 380 KUHP Perdata).
Syarat utama untuk pemecatan adalah .karena lebih mementingkan kepentingan anak minderjarig itu sendiri.
Alasan lain yang dapat memintakan pemecatan atas wali didalam pasal 382 KUHPerdata menyatakan :
1.      Jika wali berkelakuan buruk.
2.      Jika dalam melaksanakan tugasnya wali tidak cakap atau menyalah gunakan kecakapannya.
3.      Jika wali dalam keadaan pailit.
4.      Jika wali untuk dirinya sendiri atau keluarganya melakukan perlawanan terhadap si anak tersebut.
5.      Jika wali dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.
6.      Jika wali alpa memberitahukan terjadinya perwalian kepada Balai Hart Peninggalan (pasal 368 KUHPerdata).
7.    Jika wali tidak memberikan pertanggung jawaban kepada Balai Hart Peninggalan (pasal 372 KUHPerdata).
BAB IV
Ketentuan perwalian menurut UU No.1 tahun 1974.
Menurut ketentuan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada pasal 50 disebutkan :
  1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
  2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
  3. Syarat-syarat Perwalian
Jadi menurut ketentuan pasal 50 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 menyebutkan bahwa syarat-syarat untuk anak yang memperoleh perwalian adalah :
  • Anak laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun.
  • Anak-anak yang belum kawin.
  • Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.
  • Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan wali.
  • Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.
Menurut UU No.1 tahun 1974 pasal 51, perwalian terjadi karena :
  1. Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dengan dua orang saksi.
  2. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
  3. Kewajiban Wali
Menurut pasal 51 Undang-undang No.1 tahun 1974 menyatakan:
  1. Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak itu.
  2. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-perubahan harta benda anak tersebut .
  3. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya.
  4. Larangan Bagi Wali
Pasal. 52 UU No.1 tahun 1974 menyatakan terhadap wali berlaku pasal 48 Undang-undang ini, yakni orang tua dalam hal ini wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa.

v  Berakhirnya Perwalian
Pasal 53 UU No.1 tahun 1974 menyebutkan wali dapat dicabut dari kekuasaannya , dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini, yaitu dalam hal :
  1. Wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwalian tersebut.
  2. Wali berkelakuan buruk sebagai walinya.
Apabila kekuasaan wali dicabut maka pengadilan menunjuk orang lain sebagai (pasal 53 (2) UU No.1 tahun 1974).
Dalam hal apabila wali menyebabkan kerugian pada si anak maka menurut ketentuan pasal 54 UU No.1 tahun 1974 menyatakan, wali yang telah menyebabkan kerugian pada harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.


KESIMPULAN
Dari uraian-uraian tersebut diatas, jelas terlihat bahwa pada prinsipnya terdapat perbedaan pengaturan tentang perwalian menurut UU No.1 tahun 1974 dan KUHPerdata, Dimana menurut KUHPerdata anak-anak yang menerima perwalian adalah anak-anak yang belum berumur 21 tahun atau belum kawin (pasal 330 ayat 3 KUHPerdata) sedangkan menurut UU No.1 tahun 1974 yang menerima perwalian adalah anak-anak yang belum mecapai umur 18 tahun atau belum kawin (pasal 50 ayat 1).
Dalam hal pengangkatan wali didalam KUHPerdata ada dibedakan tiga jenis perwalian, yaitu :
a. Perwalian dari suami atau isteri yang hidup lebih lama(pasal 345-354).
b. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan wasiat atau akta tersendiri
(pasal 355 ayat 1).
c. Perwalian yang diangkat oleh hakim (pasal 359).
Sedangkan menurut UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan: Perwalian hanya ada karena penunjukan oleh salah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan sebagai orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan dua orang saksi (pasal 51 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974).
Walaupun terdapat perbedaan-perbedaan, untuk orang yang beragama Islam saat ini yang kita pakai sebagai undang-undang di Indonesia adalah ketentuan UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata khusus dipergunakan hanya sebagai pedoman hukum bukan sebagai undang-undang  

DAFTAR PUSTAKA
1.Sarmadi,Sukris,Format Hukum Perkawinan dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia,Penerbit Pustaka Prisma,Yogyakarta,II,2009
2.Prawirohmijoyo Soetojo R., Safioedin Azis,  1986, Hukum orang dan keluarga,Cetakan V, Penerbit Alumni, Bandung.
3.Generalis) http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perwalian-menurut-kuhperdata-2/
4. Soekanto Soerjono,Hukum adat Indonesia, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta,2003


[1] Tercantum dalam KHI pasal 1 huruf (h)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar