Senin, 23 September 2013

Pembebasan, Pencabutan dan Konfiskasi Tanah ( Mk. Hukum Pertanahan di Indonesia)

Pembebasan, Pencabutan dan Konfiskasi Tanah 
Pada masa pembangunan sekarang ini sering terlihat adanya masalah bahwa tanah adalah sumber konflik, yaitu jika pemerintah membutuhkan tanah yang dimiliki penduduk untuk keperluan pembangunan. Konflik itu bisa timbul karena pemerintah di satu pihak memerlukan tanah itu dan di pihak lainya penduduk juga ingin mempertahankan tanah miliknya sebagi sumber mata pencaharian (lahan pertanian misalnya) dan tempat pemukiman. 
Menurut ketentuan hukum yang berlaku di indonesia pemerintah memang di berikan wewenang untuk mengambil allih tanah penduduk guna keperluan pembangunan, tetapi pengambilan itu tidak boleh di lakukan dengan sewenang –wenang. Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa semua hak atas tanah. Jadi kedua pasal tersebut menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk melakukan ambil alih atas tanah-tanah masyarakat untuk keperluan pembangunan. 
Dan juga menurut hukum yang berlaku di indonesia ada dua cara yang di tempuh pemerintah untuk melakukan pengambilan atas tanah yang dimiliki oleh warga masyarakat, yaitu cara pembebasan/pelepasan hak atas tanah (prijsgeving) dan cara pencabutan hak atas tanah (onteigening) 
 
PEMBEBASAN TANAH 
Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan hubungan hukum antara seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian ganti rugi yang besarnya di dasarkan pada musyawarah antara kedua pihak sedangkan pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara atas tanah milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi kewajiban hukumnya. 
Di dalam UU. No.02 tahun 2012 pasal 1 ayat (9) menyebutkan bahwa Pelepasan hak atas tanah adalah kegiatan pemutusan hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada negara melalui Lembaga Pertanahan Ada perbedaan dalam pembebasan dan pencabutan hak atas tanah baik mengenai dasar hukumnya maupun mengenai prosedur dan penyelesaianya. Secara yuridis tentang pencabutan hak atas tanah di atur dalam UU No. 20 tahun 1961, PP No. 39 tahun 1973 dan inpres No. 9 tahun di dalam PMDN No. 15 tahun 1975, PMDN No. 2 tahun 1976, surat edaran dritjen agraria No. 12/108/12/75, surat edaran agraria No. BTU 2/268/2/76 dan lain-lain Masalah pembebasan tanah sekarang ini dapat di jumpai aturanya di dalam berbagai peraturan, surat edaran atau intruksi yang dio keluarkan oleh Dapertemen Dalam Negeri. Beberapa di antartaranya: 
1) Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDP) No. 15 tahun 1975 (tanggal 13 Desember 1975) tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah.
2) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1976 tentang penggunaan acara pembebasan tanah untuk swasta. 
3) Surat edaran Direktorat jendral agraria tanggal 28 februari 1978 No. BTU 2/268/1979 tentang PMDN No. 15 tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah. 
Dalam prakteknya sekarang ini ternyata UU No. 20 tahun 1961 jarang dipergunakan, artinya untuk pengaturan tanah dalam rangka pembangunan dan kepentingan umum prosedur yang di tempuh lebih banyak prosedur pembebasan tanah (PMDN No. 15 tahun 1975). Hal itu disebabkan proses pencabutan (UU No. 20 tahun 1961) akan memakan waktu relatif lebih lama dan lebih bersifat memaksa bagi pemilik tanah; sedangkan prosedur pembebasan (PMDN No. 15 tahun 1975) adalah lebih cepat dan dirasakan lebih menjamin tidak timbulnya keresahan masyarakat karena untuk adanya pembebasan itu diharuskan ada musyawarah sehingga ada kata sepakat. Sekalipun demikian PMDN No. 15 tahun 1975 itu memberikan jalan keluar memberikanmu jalan keluar bilamana kita sepakat (yang di haruskan itu) tidak bisa di capai dengan dalam musyawarah. 
Kenyataan ini menimbulkan kesan bahwa PMDN No. 15 tahun 1975 merupakan sekedar penyederhanaan pencabutan hak dengan paksa masalah lain yang bukan sekedar menyangkut besarnya ganti rugi dalam musyawarah ialah menyangkut masalah pemukiman dan sumber penghidupann khususnya bagi pemilik tanah yang hidup dari bertani. Selain itu keluarnya PMDN No. 15 tahun1975 itu pernah menimbulkan kontoversi di kalangan sarjana hukum. Ada yang mempersoalkan bahwa ditinjau dari segi materinya PMDN itu di uji kepada doktrin bahwa ada pembatasan wewenang bagi badan negara untuk membuat undang-undang dalam arti materiil dengan anggapan bahwa pembebasan tanah sama dengan pencabutan hak berarti bahwa PMDN itu mengantar materi undang-undang. Kebatalan itu di sebabkan: 
a) Menteri dalam negeri tidak memeiliki wewenang membuat peraturan yang mengikat umum tanpa adanya pendelegasian wewenag. 
b) Mengenai pencabutan hak undang-undang No. 20 tahun 1961 telah menunjuk presiden sebagai instasi yang berwenang memutuskanya (buakan wewenag menteri) 
c) PMDN tersebut mengatur soal yang telah diatur dengan undang-undang yaitu UU No. 20 tahun 1961, sedangkan isi PMDN tersebut tidak sejalan dengan undang-undang itu. Terlepas dari kontroversi itu, untuk keperluan akademis, berikut akan di jelaskan prosedur dengan prosedur pencabutan dan pembebasan sehingga bisa diketahui perbedaan dan persamaanya. 
 
PROSEDUR PEMBEBASAN TANAH 
Prosedur pembebasan tanah menurut peraturan Menteri dalam negeri No.15 Tahun 1975 ini adalah sebagai berikut: 
1. Instansi yang memerlukan tanah harus mengajukan permohonan pembebasan hak atas tanah kepada Gubernur Kepala daerah, dengan mengemukakan maksud dan tujuan penggunaan tanahnya. Permohonan tersebut dilengkapi dengan keterangan-keterangan mengenai: 
a. Status tanahnya (jenis/macam haknya, luas dan letaknya); 
b. Gambar situasi tanah yang memuat semua keterangan yang diperlukan seperti tanda-tanda batas, jalan-jalan, saluran-saluran air, kuburan, bangunan-bangunan dan tanaman-tanaman yang ada; 
c. Maksud dan tujuan pembebasan tanah dan penggunaa selanjutnya; 
d. Kesediaan untuk memberikan ganti rugi atau fasilitas-fasilitas lain kepada yang berhak atas tanah. 
2. Permohonan instansi tersebut oleh Gubernur Kepala daerah kemudian diteruskan kepada Panitia pembebasan tanah untuk dilakukan penelitian. Apabila data-data dari permohonan tersebut ada kekurangan maka panitia pembebasan tanah dapat memanggil yang bersangkutan untuk melengkapi. 
3. Apabila menurut panitia pembebasan tanah syarat-syarat yang harus dipenuhi telah lengkap, maka panitia pembebasan tanah kemudian melakukan panafsiran besarnya ganti rugi. Dalam melaksanakan penafsiran ganti rugi panitia harus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak-hak atas tanah dan atau benda/tanaman yang ada diatasnya berdasarkan harga umum setempat. Selain dalam menetapkan besarnya ganti rugi harus pula diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 
a. Lokasi dan faktor-faktor strategis lainya yang dapat mempengaruhi harga tanah. Demikian pula dalam menetapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman harus berpedoman pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dinas pekerjaan umum/Dinas pertanian setempat. 
b. Bentuk ganti rugi dapat berupa uang, tanah dan atau fasilitas-fasiltas lainnya; 
c. Yang berhak atas ganti rugi ialah mereka yang berhak atas tanah/bangunan/tanaman yang ada di atasnya; 
d. Dalam menentukan besarnya ganti rugi agar dapat dilakukan dengan kata sepakat antara para anggota panitia dan dengan memperhatikan kehendak dari pemegang hak atas tanah. Jika terdapat perbedaan taksiran ganti rugi diantara para anggota panitia maka yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari taksiran masing-masing. 
4. Keputusan panitia pembebasan tanah mengenai besar atau bentuknya ganti rugi, kemudian disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah, para pemegang hak atas tanah dan para anggota panitia yang turut mengambil keputusan. 
5. Setelah menerima keputusan dari panitia pembebasan tanah, instansi dan para pemegang hak atas tanah yang bersangkutan supaya memberitahukan kepada panitia pembebasan tanah tentang persetujuan atau penolakannya, mengenai besar atau bentuk ganti rugi yang telah ditetapkan. Jika instansi atau para pemegang hak atas tanah melakukan penolakan, maka penolakan tersebut harus disertai alasan-alasan. Atas penolakan tersebut panitia pembebasan tanah dapat mengambil sikap tetap pada keputusan semula atau meneruskan surat penolakan tersebut kepada Gubernur Kepala daerah disertai pertimbangan-pertimbangannya. Keputusan Gubernur Kepala daerah tersebut kemudian disampaikan kepada masing-masing pihak yang bersangkutan dan kepada panitia pembebasan tanah. 
6. Apabila telah tercapai kata sepakat mengenai besar atau bentuknya ganti rugi, maka dilakukan pembayaran ganti rugi secara langsung oleh instansi yang bersangkutan kepada para pemegang hak atas tanah. Dan bersamaan dengan pembayaran ganti rugi dilakukan pula penyerahan atau pelepasan hak atas tanahnya dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 4 (empat) orang anggota panitia pembebasan tanah diantaranya Camat dan Kepala desa yang bersangkutan. 7. Setelah proses penetapan dan pembayaran ganti rugi selesai dilaksanakan, maka instansi yang memerlukan tanah-tanah tersebut diharuskan mengajukan permohonan suatu hak atas tanah kepada pejabat yang berwewenang yang menurut peraturan Menteri dalam negeri No.6 Tahun 1972 tentang pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah adalah Gubernur/Bupati/Walikota Kepala daerah dan Kepala kecamatan dalam kedudukan dan fungsinya sebagai wakil pemerintah. Permohonan tersebut harus disertai dengan surat-surat bukti pernyataan pelepasan hak dan pembayaran ganti ruginya. 
8. Apabila pembebasan tanah meliputi areal yang luas yang mengakibatkan pemindahan pemukiman penduduk, maka pemberian izin pembebasan tanah selain harus dengan pembayaran ganti rugi, harus pula disertai penyediaan tempat penampungan pemukiman baru. Menurut PMDN No. 15 tahun 1975 pembebasan tanah hanya dapat dilakukan apabila telah diperoleh kata sepakat antara pemegang kesepakatan itu menyangkut baik teknis dan pelaksanaanya maupun mengenai besar dan bentuk ganti rugi. Kesepakatan itu dilakukan atas dasar sukarela dengan cara musyawarah. Jika upaya pembebasan tanah menurut prosedur tersebut tidak di capai maka dapat di tempuh prosedur pencabutan seperti diatur dalam UU No. 20 tahun 1961 dengan ketentuan bahwa keperluan atau penggunaan atas tanah itu sangat mendesak. Pihak yang Berhak, wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.(Pasal 5 UU.No.02 tahun 2012). Pelepasan Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang dimiliki pemerintah atau dikuasai/dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah dilakukan berdasarkan Undang-Undang N0.02 tahun 2012 tidak diberikan Ganti Kerugian, kecuali: 
a.Objek Pengadaan Tanah yang telah berdiri bangunan yang dipergunakan secara aktif untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan; 
b.Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
c. Objek Pengadaan Tanah kas desa. Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c diatas diberikan dalam bentuk tanah dan/atau bangunan atau relokasi. 
Ganti Kerugian atas objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan sebagaimana bunyi pasal 36 Undang-Undang N0.02 tahun 2012 yaitu dalam bentuk: a. uang; b. tanah pengganti; c. permukiman kembali; d. kepemilikan saham; atau e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak
Nilai Ganti Kerugian didasarkan atas hasil penilaian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) UU No.02 tahun 2012 yaitu: “Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai dari Lembaga Pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi: (Pasal 33 UU No.02 tahun 2012) a. tanah; b. ruang atas tanah dan bawah tanah; c. bangunan; d. tanaman; e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau f. kerugian lain yang dapat dinilai
Pembebasan tanah tidak saja dapat dilakukan untuk kepentingan instansi pemerintahan saja namun intansi swasta juga yaitu dalam hal proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau dalam bidang kepentinganpembangunan secara umum seperti di atur dalam PMDN No. 15 tahun 1975 dan PMDN No 2 tahun1976 Dan bila dalam musyawarah tidak di temui kata sepakat maka dan di dalam UPDN No 15 tahun 1975 juga tidak di jelaskan bagaimana kah jika tidak ditemui kata sepakat dalam musyawarah untuk pembebasan tanah, maka untuk menguasai tanah tersebut dapat ditempuh prosedur “pencabuatan” sesuai dengan undang-undang no 20 tahun 1961 dengan konsukwensi bahwa prosenya akan berjalan lebih lama. Pembebasan hak atas tanah adalah suatu tindakan perbuatan hukum untuk memutuskan hubungan subjek hak atas tanah dengan objek hak atas tanah. Pembebasan hak atas tanah ada tiga kepentingan yaitu: 
1. Untuk kepentingan umum 
2. Untuk kepentingan swasta 
3. Untuk pemerintah pembebasan oleh pihak swasta. Tanah untuk Kepentingan Umum yang dijamin oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah digunakan untuk pembangunan (Pasal 10 UU.No.02 tahun 2012) : 
a. pertahanan dan keamanan nasional; 
b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan 
c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; 
d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal; 
e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; 
f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; 
g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; 
h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah; 
i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; 
j. fasilitas keselamatan umum; 
k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; 
l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; 
m. cagar alam dan cagar budaya; 
n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa; 
o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa; 
p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah; 
q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
r. pasar umum dan lapangan parkir umum
 
Pembebasan hak atas tanah ialah penyerahan secara suka rela hak atas tanah berdasar atas musyawarah kepada pihak pemohon dengan menyertakan ganti rugi yang telah disepakati, apabila masalah ganti rugi tidak disepakati maka tidak ada konsensus dampaknya pembebasan hak atas tanah tidak akan tercapai, lain lagi halnya apabila pembebasan hak atas tanah tersebut untuk kepentingan umum apabila si pemohon sulit sekali untuk mendapatkan tanah dan jalan musyawarah tidak tercapai maka pemohon dapat mengajukan proses pencabutan hak atas tanah ke presiden. Pembebasan hak atas tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak atau penguasa atas tanah dengan cara memberikan ganti rugi. Pembebasan hak atas tanah untuk proyek-proyek pemerintah ini dapat dilakukan melalui dua cara yaitu: 
1. Berdasarkan tentang cara yang diatur dalm peraturan Menteri dalam negeri No.15 Tahun 1975. Berdasarkan peraturan Menteri dalam negeri ini untuk melaksanakan pembebasan hak atas tanah oleh Gubernur Kepala daerah dibentuk panitia pembebasan tanah yang susunan keanggotaannya adalah sebagai berikut : 
1) Kepala Sub Direktorat Agraria (pertanahan) Kabupaten/Kotamadya sebagai Ketua merangkap anggotanya. 
2) Seorang pejabat dari kantor Pemerintahan daerah tingkat II yang ditunjuk oleh Bupati/walikotamadya Kepala daerah yang bersangkutan sebagai anggota. 
3) Kepala kantor IPEDA/IREDA atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota. 
4) Seorang pejabat yang ditunjuk oleh instansi yang memerlukan tanah tersebut sebagai anggota. 
5) Kepala dinas pekerjaan umum daerah tingkat II atau pejabat yang ditunjuknya apabila mengenai tanah bangunan dan/atau Kepala dinas pertanian daerah tingkat II atau pejabat yang ditunjuknys jika mengenai tanah pertanian sebagai anggota. 
6) Kepala kecamatan yang bersangkutan sebagai anggota. 
7) Kepala desa atau yang dipersamakan dengan itu sebagai anggota. 
8) Seorang pejabat dari kantor Sub Direktorat Agraria (pertanahan) Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan sebagai Sekretaris. 
9) Gubernur Kepala daerah dapat menambah anggota panitia pembebasan tanah, apabila ternyata untuk menyelesaikan pembebasan tanah itu diperlukan seorang ahli. 
Langkah-langkah yang harus ditempuh untuk pembebasan hak atas tanah adalah sebagai berikut: 
1. Pemohon menanyakan ke Pemda mengenai status tanah tersebut (pemukiman atau yang lain 
2. Mengadakan aprouch/pendekatan kepada pemilik tanah 
3. Minta rekomendasi Gubernur tentang konsep BRPMD 
4. Setelah izin keluar mengajukan rekomendasi untuk pembebasan hak tanah ke agraria. 
 
 Dalam hal pembebasan hak atas tanah objek tanah yang diberi ganti rugi adalah sebagai berikut: 1. Tanah 2. Bangunan 3. Tanaman yang ada di atasnya (Pasal 5 ayat 1 UU.No20/1961)
 
Dalam hal-hal yang diperlukan dalam ganti rugi adalah: 
1. Harus dilaksanakan secara tunai 
2.Harus dibayarkan kepada yang berhak yaitu subjek hak atas tanah. 
 
Dalam melaksanakan pembangunan sebagaimana telah digariskan dalam GBHN, Tap MPR No IV/MPRS 1973 dipandang perlu adanya bantuan fasilitas dari pemerintah yang berbentuk “jasa dalam pembebasan tanah bagi swasta” akan tetapi pemberian jasa tersebut bertujuan untuk kepentingan umum dan fasilitas sosial. 
 
Di dalam kebijakan pengadaan tanah harus memperhatikan segi ekonomi yuridis, psikologis guna arah tujuan tersebut tercapai. Dalam hal-hal tertentu Bupati/walikotamadya Kepala daerah tingkat II dapat mengetuai sendiri panitia pembebasan tanah dimaksud dalam praktek sehari-hari biasanya disebut dengan Panitia sembilan hal ini disebabkan karena anggotanya terdiri dari sembilan orang. Panitia ini mempunyai tugas: 1. Mengadakan inventaris serta penelitian setempat terhadap keadaan tanahnya, tanam tumbuh dan bangunan-bangunan. 2. Mengadakan perundingan dengan para pemegang hak atas tanah dan bangunan/tanaman. 3. Menaksir besar ganti rugi yang akan dibayarkan kepada yang berhak. 4. Membuat berita acara pembebasan tanah disertai fatwa/pertimbangannya. 5. Menyaksikan pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada yang berhak atas tanah/bangunan/tanaman tersebut. Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum oleh Gubernur bersama Instansi, Instansi yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan Pengadaan Tanah kepada Lembaga Pertanahan. Pelaksanaan Pengadaan Tanah tersebut meliputi: (Pasal 27 ayat 2 UU.No.02 tahun 2012) a. inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah; b. penilaian Ganti Kerugian; c. musyawarah penetapan Ganti Kerugian; d. pemberian Ganti Kerugian; dan e. pelepasan tanah Instansi. Selanjutnya mengenai biaya-biaya yang diperlukan untuk panitia pembebasan tanah adalah berupa: 1. Uang honorarium untuk para anggota dan sekretaris panitia pembebasan tanah sebesar ¼% (seperempat persen) dari jumlah harga taksiran ganti rugi untuk masing-masing anggota dengan ketentuan untuk seluruh anggota maksimum sebesar 1 ½% (satu setengah persen) atau dalam bentuk uang sebesar satu juta rupiah. 2. Biaya transport dan lain-lain dibebankan kepada pemohon dapat dipungut oleh panitia pembebasan tanah dengan memberikan tanda penerimaan resmi Pelepasan hak atas tanah adalah melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak satas tanah dengan tanah yang dikuasainya, dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula diantara pemegang hak/menguasai tanah dengan cara memberikan ganti rugi. Kedua perbuatan hukum di atas mempunyai pengertian yang sama, perbedaannya pembebasan hak atas tanah adalah dilihat dari yang membutuhkan tanah, biasanya dilakukan untuk areal tanah yang luas, sedangkan pelepasan hak atas tanah dilihat dari yang memiliki tanah, dimana ia melepaskan haknya kepada Negara untuk kepentingan pihak lain. Semua hak atas tanah dapat diserahkan secara sukarela kepada Negara. Penyerahan sukarela ini yang disebut dengan melepaskan hak atas tanah. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 UUPA, yang menyatakan bahwa: “Hak milik hapus bila: a. tanahnya jatuh kepada Negara: 1. karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya 3. karena diterlantarkan 4. karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2 b. tanahnya musnah.” Acara pelepasan hak atas tanah dapat digunakan untuk memperoleh tanah bagi pelaksanaan pembangunan baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan swasta PENCABUTAN HAK ATAS TANAH. Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama rakyat, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam pasal 1UU nomor 20 tahun 1961 dinyatakan bahwa: “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendenangar menteri agraria, kehaiman dan mentri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya” Memperhatikan ketentuan yang ada pada pasal 1 UU nomor 20 tahun 1961 di atas, maka sebelum presiden mengeluarkan keputusan terhadap tanah yang akan di cabut hak-hak atasnya, terlebih dahulu mesti dilakukan suatu permohonan yang di ajukan kepada yang berkepentingan seperti yang telah tertuang di dalam pasal 2 UU nomor 20 tahun 1961 Dan dasar pokok dari UU No 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah itu adalah ketentuan pasal 18 UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) yang menggariskan untuk kepentingan umum negara dapat melakukan pencabutan hak atas tanah. Pada pasal 18 UUPA tersebut selengkapnya sebagai berikut: “untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bersama dari rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang” Untuk melaksanakan ketentuan pasal 18 UUPA tentang Ontiegening tersebut dituntut persayaratan tegas dan ketat sebagai berikut: 1) Pencabutan hak hanya dapat dilaksanakan bilamana kepentingan umum benar-benar menghendaki. Unsur kepentingan umum ini harus tegas menjadi dasar dalam pencabutan hak ini. 2) Sesuai dengan ketentuan UU No. 20 tahun 1961 pencabutan hak atas tanahnya dapat dilakukan atas izin presiden. 3) Pencabuatan hak atas tanah tersebut harus di sertai ganti rugi yang layak. Pencabutan hak yang dilakukan oleh pemerintah tanpa mengindahkan persyaratan tersebut adalah merupakan perbuatan melanggar hukum atau menyalahgunakan wewenang oleh pemerintah Pada asasnya jika diperlukan tanah atau benda-benda lainnya kepunyaan orang lain untuk sesuatu keperluan haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan pemilikya, misalnya atas dasar jual-beli, tukar-menukar atau lain sebagainya. Tetapi apabila cara demikian tidak berhasil, karena ada kemungkinan si pemilik meminta harga yang terlampau tinggi atau tidak bersedia sama sekali untuk melepaskan tanahnya yang diperlukan itu. Maka karena kepentingan umum haruslebih di dahulukan dari pada kepentingan orang perseorangan, jika tindakan dimaksud memang benar-benar untuk kepentingan umum, dalam keadaan memaksa yaitu jika jalan musyawarah tidak membawa hasil yang diharapkan untuk bisa mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan, pemerintah dapat melakukan pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UU Pokok Agraria yang berbunyi: “ Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.” Sehubungan dengan hal itu dan sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 18 UU Pokok Agraria tersebut, pemerintah telah menetapkan berlakunya Undang-undang No.20 tahun 1961, tentang pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan benda-benda yang ada di atasnya, Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 1973, tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya, dan instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973, tentang pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya. Pertimbangan pemerintah memberikan kesempatan kepada para pemegang hak atas tanah, tidak mau menerima besarnya ganti kerugian walaupun sudah mendapat keputusan dari presiden, dimaksudkan agar pelaksanaan pencabutan ini dilakukan secara bijak dan hati-hati. Sebab dengan dilakukanya pencabutan, maka para pemegang hak atas tanah semula telah melepaskan haknya tersebut. Prinsip kehati-hatian ini membuat Presiden mengeluarkan intruksi nomor 9 tahun 1973 pelaksanaan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda diatasnya. Dalam intruksi tersebut di tujukan kepada kepada semua mentri dan gubernur di seluruh indonesia, bahwa: “Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya supaya hanya dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum dan dilakukan dengan hati-hati serta denangan hati-hati serta dengan cara-cara yang adil dan bijaksana, segala sesuatunya sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-perundangan yang berlaku.” 
 
Dalam instrusi presiden ini telah di tentukan bawa pembangunan yang bersifat kepentingan umum, yaitu apabila kegiatan tersebut menyangkut: 
a) Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau 
b) Kepentingan masyarakat luas, dan/atau 
c) Kepentingan rakyat banyak, dan/atau 
d) Kepentingan pembangunan. Berkaitan dengan poin di atas, menyangkut kegiatan yang dapat dikategorikan sebagi kepentingan umum, maka dalam intruksi presiden tersebut telah di tetapkan bidang bangunan yang masuk dalam kategori sifat kepentingan umum sebagai berikut: a) Pertahanan; b) Pekerjaan umum; c) Jasa umum; d) Keagamaan; e) Ilmu pengetahaun dan seni budaya; f) Kesehatan; g) Olahraga; h) Perlengkapan umum; i) Keselamatan umum terhadap bencana; j) Kesejahteraan sosial; k) Makam/kuburan l) Pariwisata dan rekriasi; m) Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum
Suatu hal yang dapat di salut dari adanaya instruksi presiden ini menyangkut mengenai penghargaan terhadap pemegang hak atas tanah yang akan dicabut dengan alasan demi kepentingan umum, karena alasan sangat mendesak. Hal ini di atur dalam pasal 4 intruksi Presiden ini sebagai berikut: Dengan tetap memperhatikan kepentingan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, naka penguasaan atas tanah dalam keadaan yang sangat mendesak sebagai di maksud dalam pasal 6 UU Nomor 20 tahun 1961 (lembaran negara tahun 1961 nomor 288) hanya dapat dilakukan apabila kepentingan umum menghendaki keadaan sangat mendesak, di mana penundaan pelaksanaanya dapat menimbulkan bencana alam yang dapat menimbulkan bencana alam yang mengancam keselamatan umum; (b) penyediaan tanah tersebut sangat di perlukan dalam suatu suatu kegiatan pembangunan yang oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah maupun masyarakat luas pelaksanaanya di anggap tidak dapat di tunda-tunda lagi. Menelaah ketentuan dalam intruksi Presiden di atas, maka pencabutan hak atas tanah dengan alasan dalam keadaan yang sangat mendesak merupakan persyaratan yang sangat berat. Sebab dengan adanya persyaratan mengenai dapat dilakukan dengan alasan menimbulkan bencana alam akan mengancam keselamatan umum merupakan persyaratan kedua yang mensyaratkan agar pencabutan dapat dilakukan dengan dalih suatu pembangunan yang sangat sulit untuk di buktikan. Oleh kerena itu, kesimpulannya bahwa pelaksanaan yang sangat sulit di buktikan. Oleh karena itu, kesimpulannya bahwa pelaksanaan pencabutan hak atas tanah meruoakan instrumen hukum yang sangat melindungi kepentingan pemegang hak atas tanah. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut antara lain memuat tentang: a. Acara pencabutan hak atas tanah yaitu dalam pasal 2,3,5,6, dan pasal 7 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961. Dalam pasal tersebut ditetapkan 2 macam acara pencabutan hak atas tanah yaitu: (2) Dalam acara biasa Melalui acara ini yang berkepentingan atau si pemohon harus mengajukan permohonan pencabutan hak atas tanah kepada Presiden dengan perantaraan Menteri Agrari, (Kepala Badan Pertanahan Nasional) melalui Kepala Inspeksi Agraria (Kepala wilayah Badan Pertanahan Nasional) yang bersangkutan, surat permohonan tersebut dilengkapi dengan:  Rencana Peruntukan tanah dan alasan-alasannya, bahwa kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak atas tanah;  Keterangan tentang yang berhak atas tanah, letak, luas dan macam hak dari tanah yang akan dicabut serta benda-benda yang tumbuh atau berada di atasnya;  Rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut, penggarap atau orang yang menempati rumah di atas tanah yang dimaksud;  Pertimbangan Kepala Daerah (Bupati atau Walikota) yang bersangkutan;  Besar taksiran ganti kerugian dari panitia penaksiran. Surat permohonan tersebut bersama dengan pertimbangan Kepala Daerah dan taksiran ganti kerugian oleh Kepala Inspeksi Agraria (Kepala Wilayah Badan Pertanahan Nasional) diteruskan kepada Menteri Agraria (Kepala Badan Pertanahan Nasional) disertai pula dengan pertimbangannya. Selanjutnya oleh Menteri Agraria (Kepala Badan Pertanahan Nasional) surat permohonan dimaksud diajukan kepada Presiden untuk mendapat keputusan, disertai dengan pertimbangannya, pertimbangan Menteri Kehakiman dari segi hukumnya dan pertimbangan dari Menteri yang bidang tugasnya meliputi usaha yang meminta dilakukannya pencabutan hak itu. Berdasarkan pertimbangan dan data-data yang diajukan tersebut, Presiden memutuskan dapat atau tidaknya pelaksanaan pencabutan hak atas tanah serta berapa besar ganti kerugian yang harus diberikan kepada si pemilik tanah, penggarap atau orang-orang yang karena pencabutan hak atas tanah kehilangan tempat tinggal/sumber nafkahnya. Setelah adanya surat keputusan pencabutan hak dari Presiden dan telah pula dilakukan pembayaran ganti kerugian seperti yang telah ditetapkan oleh Presiden serta telah diselenggarakan pula penampungan orang-orang yang bersangkutan, maka penguasaan tanah/benda tersebut segera dapat dilaksanakan. (3) Dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan penguasaan atas tanah dan atau benda-benda yang bersangkutan dengan segera, maka pencabutan hak atas tanah dapat diselenggarakan melalui cara khusus yang lebih cepat. Keadaan yang mendesak itu misalnya jika terjadi bencana alam yang memerlukan penampungan para korbannya dengan segera. Dalam hal ini maka pemerintah untuk melakukan pencabutan hak diajukan oleh Inspeksi Agraria (Kepala Wilayah Badan Pertanahan Nasional) kepada Menteri Agraria (Kepala Badan Pertanahan Nasional) tanpa disertai taksiran ganti kerugian dari panitia penaksiran dan jika perlu dengan tidak menunggu diterimanya pertimbangan Kepala Daerah. Menteri Agraria (Kepala Badan Pertanahan Nasional) kemudian dapat memberikan perkenan kepada yang berkepentingan untuk segera menguasai tanah atau benda tersebut biarpun belum ada keputusan mengenai permintaan pencabutan haknya dan ganti kerugiannyapun belum dibayar. Namun demikian apabila permintaan pencabutan hak atas tanah tersebut kemudian tidak mendapat persetujuan dari Presiden, maka yang berkepentingan harus segera mengembalikan tanah tersebut dalam keadaan semula dan memberikan kerugian yang sepadan kepada yang mempunyai hak. Dengan adanya permasalahan tersebut, maka sebelum atau pada saat penguasaan tanah tersebut sebaiknya dilaksanakan pendataan terhadap tanam-tanaman, bangunan atau hak-hak lainnya yang melekat pada tanah tersebut. Hasil pendataan nantinya akan sangat berguna untuk menentukan jumlah ganti kerugian yang harus dibayarkan kepada yang berhak, bila pencabutan hak atas tanah tidak mendapat persetujuan dari Presiden. b. Wewenang pencabutan hak atas tanah Satu-satunya yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan pencabutan hak atas tanah dan atau benda-benda yang ada di atasnya adalah Presiden sebagai eksekutif tertinggi negara setelah mendengar pertimbangan Menteri Agraria (Kepala Badan Pertanahan Nasional) Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan. c. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan pencabutan hak atas tanah adalah: 1. Tanah yang bersangkutan bener-benar diperlukan untuk kepentingan umum. Sejauh mana pengertian kepentingan umum di dalam UU.No.20 Tahun 1961 tidak diberikan penjelasan lebih lanjut. Di dalam pasal 1 lampiran instruksi Presiden No.9 tahun 1973 tentang pelaksanaan Pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya hanya diberikan pedoman bahwa suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut:  Kepentingan Bangsa dan Negara;  Kepentingan masyarakat luas;  Kepentingan rakyat banyak atau kepentingan bersama;  Kepentingan pembangunan. Bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum adalah meliputi bidang-bidang:  Pertanahan;  Pekerjaan umum;  Perlengkapan umum;  Jasa umum;  Keagamaan;  Ilmu pengetahuan dan seni budaya;  Kesehatan;  Olahraga;  Keselamatan umum terhadap bencana alam;  Kesejahteraan sosial;  Makam/kuburan  Pariwisata dan rekreasi;  Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum dan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainnya yang menurut pertimbangan Presiden perlu bagi kepentingan umum. Menurut pasal 2 dari lampiran Instruksi Presiden No.9 Tahun 1973 ditetapkan bahwa suatu proyek pembangunan dinyatakan mempunyai sifat kepentingan umum adalah proyek-proyek yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:  Proyek tersebut sebelumnya sudah termasuk dalam rencana pembangunan yang telah diberitahukan kepada masyarakat yang bersangkutan.  Apabila proyek tersebut merupakan proyek pembangunan daerah, maka proyek tersebut sebelumnya harus sudah termasuk dalam rencana induk pembangunan dari daerah yang bersangkutan dan telah memdapat persetujuan dari DPRD setempat, serta rencana induk pembangunan tersebut harus bersifat terbuka untuk umum. Selain apa yang ditetapkan dalam Instruksi Presiden No.9 Tahun 1973, sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam menentukan kriterian tentang kepentingan umum, W.J.S Purwadarminta dalam bukunya Kamus Umum Bahasa Indonesia memberikan menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan kepentingan umum adalah:”Kepentingan orang banyak” dan John Salindeko memberika pengertian kepentingan umum adalah: “ Termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis, dan Hamkamnas atas dasar azas-azas pembangunan nasional dengan mengindahkan Ketahanan nasional serta wawasan nusantara”. Dari uraian diatas dikemukakan bahwa kepentingan umum pada dasarnya adalah segala kepentingan yang menyangkut kepentingan negara, kepentingan bangsa, kepentingan masyarakat luasdan kepentingan-kepentingan pembangunan yang sifatnya menurut pertimbangan Presiden perlu bagi kepentingan umum. 2. Pelaksanaan pencabutan hak atas tanah. Tindakan pencabutan hak atas tanah hanya dilakukan dalam keadaan memaksa atau merupakan langkah terakhir yang perlu dilakukan karena jalan musyawarah untuk mendapatkan tanah tersebut tidak membawa hasil yang diharapkan. 3. Ganti Kerugian untuk pencabutan hak atas tanah. a) Penaksiran ganti kerugian dilakukan oleh Panitia penaksiran dalam melaksanakan pencabutan hak atas tanah, kepada pemilik tanah dan atau benda yang haknya dicabut diberikan ganti kerugian yang layak. Ganti kerugian yang layak itu didasarkan atas nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang bersangkutan . Harga yang didasarkan atas nilai yang nyata/sebenarnya itu tidak mesti sama dengan harga umum, karena harga umum biasa merupakan harga catut. Tetapi sebaliknya harga tersebut tidak pula harga murah. Oleh karena itu untuk menentukan harga yang layak tersebut maka dibentuklah panitia penaksiran. Panitia penaksir ini menurut keputusan Menteri Agraria Nomor: SK XI/1/Ka/1962 susunan keanggotaannya adalah sebagai berikut: 1. Kepala inspeksi pendaftaran tanah sebagai ketua merangkap angota; 2. Kepala kantor pendaftaran dan pengawasan pendaftaran tanah sebagai wakil ketua merangkap anggota; 3. Seorang pejabat pamong praja yang ditunjuk oleh Gubernur sebagai anggota; 4. Seorang anggota dari unsur DPRD Tingkat 1; 5. Seorang pejabat dari inspeksi keuangan sebagai anggota; 6. Seorang anggota dari instansi lainnya yang terkait sehubungan dengan adanya pencabutan hak atas tanah, misalnya dari Departemen pertanian apabila tanah yang haknya dicabut itu adalah merupakan tanah pertanian. Panitia penaksir bertugas melakukan penaksiran tentang ganti kerugian mengenai tanah dan atau benda-benda yang haknya akan dicabut. Panitia penaksir didalam memutuskan harga taksirannya dilakukan dengan jalan musyawarah antara para anggotanya dan keputusan diambil melalui kata sepakat. Apabila tidak mungkin dicapai kata sepakat, maka keputusan diambil dengan membagi jumlah dari pada taksiran masing-masing anggota dengan banyaknya anggotayang hadir, dan kalau menurut pendapat ketua sidang perbedaan taksiran anggota-anggota yang satu dengan yang lainnya terlalu besar, maka keputusan tersebut disertai pula keterangan tentang taksiran para anggota masing-masing. Keputusan panitia penaksir ini kemudian disampaikan kepada Menteri Agraria ( Kepala badan pertanahan nasional) dengan perantaraan Kepala inspeksi agraria (Kepala wilayah badan pertanahan nasional). b). Pembayaran ganti rugi Pembayaran ganti rugi harus dilakukan secara tunai dan dibayar secara langsung kepada yang berhak, tanpa melalui perantaraan siapa pun. 4. Penampungan orang-orang yang hak atas tananhnya dicabut. Yang berkepentingan atas pencabutan hak atas tanah diharuskan memberikan penampungan atau mengusahakan sedemikian rupa dengan mereka yang diperintahkan itu tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya/mencari nafkah kehidupan yang layak seperti semula. 
 
PROSEDUR PENCABUTAN HAK ATAS TANAH  
Pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum sebagaimana diatur di dalam UU No. 20 tahun 1961 dapat dilakukan dengan baik acara biasa (pasal 2 sampai dengan 5 UU No. 20 tahun 1961) maupun dengan acara luar biasa (pasal 6 sampai dengan 8 UU No. 20 tahun1961) 1. Dengan acara biasa Dalam acara biasa pihak pemohon (instansi yang membutuhkan tanah) menyampaikan permohonan kepada Presiden RI denganperantara Menteri Dalam negeri /drijen Agraria setempat dengan disertai alasan-alasan dan syarat-syarat seperti ditentukan pasal 2 ayat 2 UU No. 20 tahun 1961 yaitu: a. rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu. b. keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda-benda yang bersangkutan. c. rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan kalau ada, juga orang-orang yang menggarap tanah atau menempati rumah yang bersangkutan. 2. Dengan acara luar biasa. Dalam keadaan mendesak pencabutan hak atas tanah dapat dilakuakan dengan acara luar biasa atau acara khusus yang memungkinkanya dilakukan secara lebih cepat. Keadaan mendesak ini misalnya dalam hal berjangkitnya wabah penyakit dan timbulnya alam dimana di perluakan tempat penampungan segera. (Lihat pasal 6 UU No. 20 tahun1961) a. Menyimpang dari ketentuan pasal 3, maka dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan penguasaan tanah dan/ atau benda-benda yang bersangkutan dengan segera, atas permintaan yang berkepentingan Kepala Inspeksi Agraria menyampaikan permintaan untuk melakukan pencabutan hak tersebut pada pasal 2 kepada Menteri Agraria, tanpa disertai taksiran gantn ikerugian Panitya Penaksir dan kalau perlu juga dengan tidak menunggu diterimanya pertimbangan Kepala Daerah. b. Dalam hal tersebut pada ayat 1 pasal ini, maka Menteri Agraria dapat mengeluarkan surat keputusan yang memberi perkenan kepada yang berkepentingan untuk menguasai tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan. Keputusan penguasaan tersebut akan segera diikuti dengan keputusan Presiden mengenai dikabulkan atau ditolaknya permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu. c. Jika telah dilakukan penguasaan atas dasar surat keputusan tersebut pada ayat 2 pasal ini,maka bilamana kemudian permintaan pencabutan haknya tidak dikabulkan, yang berkepentingan harus mengembalikan tanah dan/atau bendabenda yang bersangkutan dalam keadaan semula dan/atau memberi gantikerugian yang sepadan kepada yang mempunyai hak. Syarat-syarat dalam melakukan pencabutan hak: 1. Dilakukan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat dan kepentingan pembangunan; 2. Memberi ganti rugi yang layak kepada pemegang hak; 3. Dilakukan menurut cara yang diatur oleh undang-undang; 4. Pemindahan hak menurut jalan umum tidak mungkin lagi dilakukan (misalnya jual-beli atau pembebasan hak). d. Banding terhadap ketetapan ganti kerugian yang dianggap kurang layak. Jika yang berhak atas tanah, benda dan atau bangunan yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti kerugian karena besarnya dianggap kurang layak, maka ia atau wakil yang dikuasakannya secara sah dapat mengajukan banding kepada Pengadilan tinggi. Berdasarkan peraturan pemerintah No.39 Tahun 1973, tata cara penyelesaian banding tersebut adalah sebagai berikut: 1. Permintaan banding diajukan kepada Pengadilan tinggi yang daerah kuasaannya meliputi tanah dan atau benda-benda yang haknya dicabut. Permintaan banding tersebut dapat disampaikan dengan surat atau dengan lisan kepada Panitera pengadilan tinggi. Apabila permintaan banding itu disampaikan sengan lisan, maka Panitera pengadilan tinggi yang bersangkutan membuat catatan tentang permintaan banding tersebut. 2. Permintaan banding diajukan kepada Pengadilan tinggi, selambat lambatnya dalam waktu satu bulan terhitung sejak tanggal keputusan Presiden disampaikan kepada yang bersangkutan. Penentua jangka waktu selambat lambatnya satu bula tersebut adalah untuk lebih menjamin kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dan lebih mempercepat penyelesaiannya di Pengadilan tinggi. 3. Permintaan banding hanya dapat diterima apabila terlebih dahulu telah dibayar perkara yang ditetapkan oleh Ketua pengadilan tinggi. Apabila ternyata yang bersangkutan tidak mampu membayar biaya tersebut, maka Ketua pengadilan tinggi dapat mempertimbangkan dan membebaskan yang bersangkutan dari kewajiban tersebut. 4. Pengadilan tinggi harus sudah memeriksa perkara tersebut paling lambat sebulan setelah penerimaan banding . pemeriksaan dan putusan dijatuhkan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Untuk keperluan tersebut Pengadilan negeri dimana tanah dan atau benda-benda tersebut, semua pihak yang bersangkutan dengan pelaksanaan pencabutan hak atas tanah dan atau benda-benda yang ada di atasnya. 5. Putusan Pengadilan tinggi harus sudah disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah tanggal putusan perkara. Tujuan utama penyelesaian perkara ganti rugi ini adalah agar kedua belah pihak mendapat putusan secepat-cepatnya. Pencabutan hak atas tanah menurut UUPA adalah pengambil alihan tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh Negara secara paksa yang mengakibatkan hak atas tanah menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan sesuatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi sesuatu kewajiban hukum. Dengan demikian, pencabutan hak atas tanah merupakan cara terakhir untuk memperoleh tanah hak yang diperlukan bagi pembangunan untuk kepentingan umum setelah berbagai cara melalui musyawarah tidak berhasil.Dasar hukum pengaturan pencabutan hak atas tanah diatur oleh UUPA dalam Pasal 18 yang menyatakan bahwa: ”Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang” Tujuan pencabutan hak: 1. Untuk menyelenggarakan kepentingan umum; 2. Batasan kepentingan umum, diatur dalam Instruksi Presiden No. 9 Th. 1973 tentang Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak, menyebutkan: (1) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum apabila kegiatan tersebut menyangkut: a. Kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau b. Kepentingan masyarakat luas dan/atau c. Kepentingan rakyat banyak/bersama dan/atau d. Kepentingan Pembangunan. (2) Bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum, antara lain: a. Pertahanan; b. Pekerjaan umum; c. Perlengkapan umum; d. Jasa umum; e. Keagamaan. f. Ilmu pengetahuan sosial dan seni budaya; g. Kesehatan; h. Olahraga; i. Keselamatan umum terhadap bencana alam; j. Kesejahteraan sosial; k. Makam/kuburan; l.Pariwisata dan Rekreasi; m. Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum. (3) Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainya kecuali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, menurut pertimbangannya perlu bagi kepentingan umum. Objek Pencabutan hak Berdasarkan UU No. 20 Th. 1961: adalah tanah dan benda-benda yang ada di atasnya beserta hak-hak yang melekat padanya, yaitu barang-barang yang tergolong sebagai benda tak bergerak. Konfiskasi hak atas tanah ialah perampasan hak atas tanah yang dilakukan oleh negara karena tanah yang diperoleh dari perbuatan melanggar hukum (korupsi) 
 
Daftar Pustaka Suandra I Wayan, Hukum Pertanahan Indonesia, 1991, PT.Rineke Cipta, Jakarta, 
UU No. 20 tahun 1961, tentang pencabutan hak-hak tanah dan benda yang ada di atas nya. 
Peraturan menteri dalam negeri No. 15 tahun 1975, tentang ketentuan ketentuan tentang pembebasan tanah. 
UUPA No 5 tahun 1960 
Sf marbun dan Moh. Mahfud Md Pokok-pokok hukum administrasi negara, liberty yogyakarta 
Supardi SH, Mhum hukum agraria, sinar grafika, 2006 
palu. http://treasnada.blogspot.com/2011/11/prosedur-pencabutan-hak-atas-tanah_18.html 
http://rheyndiaz2.blogspot.com/2012/10/makalah-pengadaan-tanah-untuk.html 
herukuswanto.dosen.narotama.ac.id/.../Modul-Hukum-Agra... www.hukumonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar