Senin, 23 September 2013

Sejarah MUI dan DSN

c Majelis Ulama Indonesia Sistem kemasyarakatan dan kenegaraan di Indonesia tidak dapat lepas dari peran ulama, baik pada zaman sebelum kemerdekaan, semasa perjuangan kemerdekaan ataupun saat mengisi kemerdekaan. Ulama memainkan peran penting sebagai pemimpin dan pembimbing masyarakat dalam menanamkan nilai ajaran islam sebagai pegangan hidup. Pada zaman penjajahan di Indonesia, para ulama memiliki peran sangat besar dalam membantah keputusan kerajaan yang dianggap tidak adil dan menindas rakyat, bahkan para ulama berjuang untuk mencapai kemerdekaan karena ingin menegakkan syariat islam untuk melawan kebudayaan asing yang kian berkembang.[5] Sadar akan besarnya peran tersebut, pada 1969 diadakan seminar dakwah di Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam Negri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil dari pertemuan seminar tersebut, salah satunya adalah memutuskan untuk meningkatkan dan mengawasi kegiatan dakwah. Dari itu perlu didirikan satu organisasi yang bertujuan untuk merealisasikan tujuan tersebut. Keputusan inilah yang menjadi embrio lahirnya Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII) pada tanggal 8 September 1969.[6] Setelah empat tahun sejak berdirinya PDII, dalam suatu pertemuan yang diadakan pada 26 hingga 29 November 1974 oleh para pendakwah seluruh Indonesia, lahir satu kesepakatan untuk memelihara dan membina kerja sama umat islam terhadap perkembangan secara berkelanjutan. Maka dianggap perlu didirikan majelis ulama atau sejenisnya yang diharapkan berfungsi sebagai wahana yang dapat menjalankan mekanisme pembangunan secara efektif dan efisien. Keinginan untuk membentuk wadah ini diterima dan disambut baik oleh pihak pemerintah, sehingga terselenggaralah sebuah musyawarah pada tanggal 21 hingga 27 Juli 1975 yang pesertanya terdiri dari utusan-utusan daerah tingkat Provinsi dan dari unsur-unsur organisasi islam tingkat pusat. Selain itu, musyawarah tersebut juga turut dihadiri oleh dinas-dinas rohani islam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) serta undangan perorangan dari kalangan tokoh ulama yang berasal dari pusat dan daerah. Pada akhir musyawarah tersebut, terjadilah kesepakatan bersama untuk mendirikan MUI sebagai wadah bermusyawarahnya ulama, zua’ma dan cendikiawan muslim, yang ditandai dengan penandatanganan “Piagam Berdirinya MUI” dengan dipimpin 53 orang peserta, sekaligus melantik pengurus MUI dengan masa pengabdian dari tahun 1975-1980 yang dikteuai oleh Prof. Dr. Hamka.[7] Sebagai organisasi agama, MUI mempunyai tujuan dan peran yang menjurus kepada keagamaan. MUI mempunyai tujuan untuk turut serta mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur serta aman dan damai. Hal ini termaktub dalam Pedoman Dasar MUI yang disahkan pada musyawarah nasional pertama tersebut, yaitu Pasal 2 Pedoman Dasar MUI. Sedangkan peran MUI, tertuang dalam pasal 4, yaitu berperan untuk mengeluarkan fatwa dan nasihat kepada pemerintah dan umat islam dalam masalah berhubungan dengan masalah keagamaan dan kemaslahatan bangsa, menjaga kesatuan umat, institusi representasi umat islam dan sebagai perantara yang mengharmonisasikan hubungan antara umat beragama.[8] Sebagai upaya dalam pelaksanaan tugas, MUI membentuk komisi-komisi. Terkait tugas mengkaji masalah hukum yang timbul ditengah masayarakat, hal tersebut diserahkan pada komisi fatwa. Karena fatwa merupakan alternatif yang diperlukan untuk memberi jawaban tentang masalah kehidupan dari perspektif agama, baik untuk masyarakat maupun pemerintah. Dalam kegiatan perekonomian, pada tahun 1998, MUI membentuk lembaga yang khusus menangani fatwa tentang fiqih muamalah (ekonomi syariah). Lembaga inilah yang disebut dengan DSN-MUI. 1. 2. Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan[9] (UU Perbankan No. 10 Tahun 1998), kegiatan dan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah semakin giat dilaksanakan, bahkan dalam UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 telah memuat ketentuan tentang aktivitas ekonomi berdasarkan prinsip syariah. Hal inilah yang kemudian mempengaruhi pertumbuhan pesat aktivitas perekonomian yang berasaskan prinsip syariah. Termasuk yang mendorong berdirinya beberapa lembaga keuangan syariah. Perkembangan pesat lembaga keuangan syariah tersebut memerlukan regulasi yang berkaitan dengan kesesuaian oprasional lembaga keuangan syariah dengan prinsip-prinsip syariah. Persoalan muncul karena institusi regulator yang mempunyai otoritas mengatur dan mengawasi lembaga keuangan syariah, yaitu Bank Indonesia (BI) dan kementrian keuangan tidak dapat melaksanakan otoritasnya dibidang syariah. Ke dua lembaga pemerintahan tersebut tidak memiliki otoritas untuk merumuskan prinsip-prinsip syariah secara langsung dari teks-teks keagamaan dalam bentuk peraturan (regulasi) yang bersesuaian untuk setiap lembaga keuangan syariah. Selain itu, lembaga tersebut tidak dibekali peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otoritas dalam mengurus masalah syariah. Berdasarkan hal teresebut, muncullah gagasan untuk dibentuk DSN, yang jauh sebelumnya memang sudah diwacanakan, tepatnya pada tanggal 19-20 Agustus tahun 1990 ketika acara lokakarya dan pertemuan yang membahas tentang bunga bank serta pengembangan ekonomi rakyat yang akhirnya merekomendasikan kepada pihak pemerintah agar memfasilitasi pendirian bank berdasarkan prinsip syariah.[10] Sehingga pada 14 Oktober 1997 diselenggarakan lokakarya ulama tentang Reksadana Syariah, dan salah satu rekomendasinya adalah pembentukan DSN-MUI. Rekomendasi tersebut kemudian ditindak lanjuti sehingga tersusunlah DSN-MUI secara resmi pada tahun 1998. DSN-MUI adalah lembaga yang dibentuk oleh MUI yang secara struktural berada dibawah MUI dan bertugas menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi syariah, baik yang berhubungan langsung dengan lembaga keuangan syariah ataupun lainnya. Pada prinsipnya, pendirian DSN-MUI dimaksudkan sebagai usaha untuk efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi dan keuangan, selain itu DSN-MUI juga diharapkan dapat berperan sebagai pengawas, pengarah dan pendorong penerapan nilai-nilai prinsip ajaran islam dalam kehidupan ekonomi. Berkaitan dengan perkembangan lembaga keuangan syariah itulah, keberadaan DSN-MUI beserta produk hukumnya mendapat legitimasi dari BI yang merupakan lembaga negara pemegang otoritas dibidang perbankan, seperti tertuang dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/1999, di mana pada pasal 31 dinyatakan: “untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan usahanya, bank umum syariah diwajibkan memperhatikan fatwa DSN-MUI”, lebih lanjut, dalam Surat Keputusan tersebut juga dinyatakan: “”demikian pula dalam hal bank akan melakukan kegiatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28 dan Pasal 29, jika ternyata kegiata usaha yang dimaksudkan belum difatwakan oleh DSN, maka wajib meminta persetujuan DSN sebelum melakukan usaha kegiatan tersebut”. Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/2/PBI/2009 (PBI) lebih mempertegas lagi posisi Dewan Pengawas Syariah (DPS) bahwa setiap usaha Bank Umum yang membuka Unit Usaha Syariah diharuskan mengangkat DPS yang tugas utamanya adalah memberi nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kesesuaian syariah. Sedangkan dalam ketentuan UUPS No. 21 Tahun 2008 tegas dinyatakan bahwa DPS diangkat dalam rapat umum pemegang saham atas rekomendasi MUI. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa DSN-MUI merupakan lembaga satu-satunya yang diberi amanat oleh undang-undang untuk menetapkan fatwa tentang ekonomi dan keuangan syariah, juga merupakan lembaga yang didirikan untuk memberikan ketentuan hukum islam kepada lembaga keuangan syariah dalam menjalanan aktivitasnya. Ketentuan tersebut sangatlah penting dan menjadi dasar hukum utama dalam perjalanan operasinya. Tanpa adanya ketentuan hukum, termasuk hukum islam, maka lembaga keuangan syariah akan kesulitan dalam menjalankan aktivitasnya.[11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar