Pengertian klausula baku
Teori due care tentang kewajiban
perusahaan terhadap konsumen didasarkan pada gagasan, bahwa pembeli dan
konsumen tidak saling sejajar, dan bahwa kepentingan konsumen sangat rentan
terhadap tujuan perusahaan yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang tidak
dimiliki konsumen. Karena produsen berada pada posisi yang lebih menguntungkan,
maka mereka berkewajiban untuk menjamin kepentingan konsumen agar tidak
dirugikan.[1]
Klausula baku biasanya dibuat oleh pihak
yang kedudukannya lebih kuat, yang dalam kenyataan biasa dipegang oleh pelaku
usaha. Isi klausula baku sering kali merugikan pihak yang menerima klausula
baku tersebut, yaitu pihak konsumen karena dibuat secara sepihak.[2] Bila
konsumen menolak klausula baku tersebut ia tidak akan mendapatkan barang
ataupun jasa yang dibutuhkan, karena klausula baku serupa akan ditemuinya di
tempat lain. Hal tersebut menyebabkan konsumen lebih sering setuju terhadap isi
klausula baku walaupun memojokkan. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan
cara mencapai tujuan ekonomi efesien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele.
Tetapi bagi konsumen justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena
hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati.[3]
Istilah perjanjian baku merupakan
terjemahan dari standard contract, baku berarti patokan dan acuan.[4] Mariam
Darus mendefinisikan perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan
dan dituangkan dalam bentuk formulir.[5] Hondius
merumuskan perjanjian baku sebgai konsep janji-janji tertulis, yang disusun
tanpa membicarakan isi dan lazimnya dituangkan dalam perjanjian yang sifatnya
tertentu.[6]
Sudaryatmo mengungkapkan karakteristik
klausula baku sebagai berikut:[7]
1.
Perjanjian
dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat dari
konsumen
2.
Konsumen
sama sekali tiak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian
3.
Dibuat
dalam bentuk tertulis dan massal
4.
Konsumen
terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh faktor kebutuhan.
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen mendefinisikan, klausula baku adalah setiap atauran atau
ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih
dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen
dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.[8]
Adapun
klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian,
dimana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti
rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan
melawan hukum.[9]
Perjanjian
baku dengan klausula eksonerasinya pada prinsipnya hanya menguntungkan pelaku
usaha dan merugikan konsumen , karena klausulanya tidak seimbang dan tidak
mencerminkan keadilan. Dominasi pengusaha lebih besar dibandingkan dengan
dominasi konsumen, dan konsumen hanya menerima perjanjian dengan klausula baku
tersebut begitu saja karena dorongan kepentingan dan kebutuhan. Beban yang
seharusnya dipikul oleh pelaku usaha, menjadi beban konsumen karena adanya
klausula eksonerasi tersebut.
Perjanjian
eksonerasi yang membebaskan tanggung jawab seseorang pada akibat-akibat hukum
yang terjadi karena kurangnya pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang diharuskan
oleh perundang-undangan, antara lain tentang masalah ganti rugi dalam hal
perbuatan ingkar janji. Ganti rugi tidak dijalankan apabila dalam persyaratan
eksonerasi tercantum hal itu.
Akibat
kedudukan para pihak yang tidak seimbang, maka pihak lemah biasanya tidak
berada dalam keadaan yang betul-betul beabs untuk menentukan apa yang
diinginkannya dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki posisi
lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan
klausula-klausula tertaentu dalam perjanjian baku karena format dan isi
perjanjian telah dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.
Oleh
karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak yang memiliki
kedudukan yang lebih kuat, tentu saja dapat dipastikan bahwa perjanjian
tersebuat memuat klausula-klausula yang menguntungkannya. Serta bukan tidak
mungkin juga meringankan atau menghapuskan beban dan kewajiban tertentu yang
seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
[1] John Pieris dan Wiwik Sri
Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan
Kadaluwarsa, (Jakarta: Pelangi Cendekia, 2007), h. 54
[2] Zulham, Hukum Perlindungan
Konsumen, (Jakarta:Kencana, 2013), h. 66
[3] Abdulkadir Muhammad, Perjanjian
Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1992), h. 6
[4] Zulham, Op.cit, h. 66
[5] Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian
Kredit Bank, (Bandung: Alumni, 1978), h. 48
[6] Ibid.
[7] Sudaryatmo, Hukum dan
Advokasi Konsumen, ( Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1999), h. 93
[8] Pasal 1 angka 10 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
[9] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka
Hukum Bisinis, (Bandung: Alumni, 1994), h. 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar