Jumat, 20 Juni 2014

Klausula Baku



Pengertian klausula baku
Teori due care tentang kewajiban perusahaan terhadap konsumen didasarkan pada gagasan, bahwa pembeli dan konsumen tidak saling sejajar, dan bahwa kepentingan konsumen sangat rentan terhadap tujuan perusahaan yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang tidak dimiliki konsumen. Karena produsen berada pada posisi yang lebih menguntungkan, maka mereka berkewajiban untuk menjamin kepentingan konsumen agar tidak dirugikan.[1]
Klausula baku biasanya dibuat oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat, yang dalam kenyataan biasa dipegang oleh pelaku usaha. Isi klausula baku sering kali merugikan pihak yang menerima klausula baku tersebut, yaitu pihak konsumen karena dibuat secara sepihak.[2] Bila konsumen menolak klausula baku tersebut ia tidak akan mendapatkan barang ataupun jasa yang dibutuhkan, karena klausula baku serupa akan ditemuinya di tempat lain. Hal tersebut menyebabkan konsumen lebih sering setuju terhadap isi klausula baku walaupun memojokkan. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan ekonomi efesien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati.[3]
Istilah perjanjian baku merupakan terjemahan dari standard contract, baku berarti patokan dan acuan.[4] Mariam Darus mendefinisikan perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.[5] Hondius merumuskan perjanjian baku sebgai konsep janji-janji tertulis, yang disusun tanpa membicarakan isi dan lazimnya dituangkan dalam perjanjian yang sifatnya tertentu.[6]
Sudaryatmo mengungkapkan karakteristik klausula baku sebagai berikut:[7]
1.      Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat dari konsumen
2.      Konsumen sama sekali tiak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian
3.      Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal
4.      Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh faktor kebutuhan.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan, klausula baku adalah setiap atauran atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.[8]
Adapun klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian, dimana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.[9]
Perjanjian baku dengan klausula eksonerasinya pada prinsipnya hanya menguntungkan pelaku usaha dan merugikan konsumen , karena klausulanya tidak seimbang dan tidak mencerminkan keadilan. Dominasi pengusaha lebih besar dibandingkan dengan dominasi konsumen, dan konsumen hanya menerima perjanjian dengan klausula baku tersebut begitu saja karena dorongan kepentingan dan kebutuhan. Beban yang seharusnya dipikul oleh pelaku usaha, menjadi beban konsumen karena adanya klausula eksonerasi tersebut.
Perjanjian eksonerasi yang membebaskan tanggung jawab seseorang pada akibat-akibat hukum yang terjadi karena kurangnya pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh perundang-undangan, antara lain tentang masalah ganti rugi dalam hal perbuatan ingkar janji. Ganti rugi tidak dijalankan apabila dalam persyaratan eksonerasi tercantum hal itu.
Akibat kedudukan para pihak yang tidak seimbang, maka pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul beabs untuk menentukan apa yang diinginkannya dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki posisi lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-klausula tertaentu dalam perjanjian baku karena format dan isi perjanjian telah dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.
Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak yang memiliki kedudukan yang lebih kuat, tentu saja dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebuat memuat klausula-klausula yang menguntungkannya. Serta bukan tidak mungkin juga meringankan atau menghapuskan beban dan kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.



[1] John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Kadaluwarsa, (Jakarta: Pelangi Cendekia, 2007), h. 54

[2] Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:Kencana, 2013), h. 66

[3] Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), h. 6

[4] Zulham,  Op.cit, h. 66

[5] Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Alumni, 1978), h. 48

[6] Ibid.

[7] Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, ( Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1999), h. 93

[8] Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
[9] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisinis, (Bandung: Alumni, 1994), h. 47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar