Pengertian Konsumen
Pengertian konsumen menurut aphilip kotler (2000)
dalam bukunya principles of marketing adalah semua individu dan rumah tangga
yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi.[1]
Konsumen
itu sendiri dibedakan menjadi dua :
1.
Konsumen Akhir adalah
Konsumen yang mengkonsumsi secara langsung produk yang diperolehnya.
a. Menurut BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) :“Pemakai akhir dari barang,
digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan tidak diperjualbelikan”.
b. Menurut YLKI
(Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia): “Pemakai Barang atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain
dan tidak untuk diperdagangkan kembali”.
c. Menurut KUH Perdata Baru Belanda : “orang alamiah yang mengadakan
perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi atau
perusahaan”.
2.
Konsumen Antara adalah
konsumen yang memperoleh produk untuk memproduksi produk lainnya. Contoh:
distributor, agen dan pengecer. [2]
Ada dua
cara untuk memperoleh barang, yakni :
a. Membeli. Bagi orang yang memperoleh suatu barang dengan cara membeli, tentu
ia terlibat dengan suatu perjanjian dengan pelaku usaha, dan konsumen
memperoleh perlindungan hukum melalui perjanjian tersebut.
b. Cara lain selain membeli, yakni hadiah, hibah dan warisan. Untuk cara yang
kedua ini, konsumen tidak terlibat dalam suatu hubungan kontraktual dengan
pelaku usaha. Sehingga konsumen tidak mendapatkan perlindungan hukum dari suatu
perjanjian. Untuk itu diperlukan perlindungan dari negara dalam bentuk
peraturan yang melindungi keberadaan konsumen, dalam hal ini UUPK.[3]
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, Konsumen didefinisikan sebagai “Setiap
orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk yang lain dan
tidak untuk diperdagangkan”. Tampaknya definisi ini mengandung kelemahan karena
banyak hal yang tidak tercakup sebagai konsumen, padahal seharusnya ia juga
dilindungi, seperti badan hukum,
badan usaha, barang yang tidak ditawarkan dalam masyarakat dan adanya
batasan-batasan yang samar. Jika sekiranya badan usaha yang memperdagangkan
sebuah produk tidak masuk ke dalam kategori pengertian konsumen rasanya kurang
tepat, karena bagaimananapun badan ini adalah ‘konsumen antara’ yang
menjembatani antara produsen dengan masyarakat selaku konsumen akhir. Justru
karena itu agar badan usaha tidak terjebak dari perilaku produsen yang melawan
hokum, seyogianyadimasukkan pula ke dalam lingkup pengertian konsumen, sehingga
mereka juga patut mendapat perlindungan hukum.
Pendapat lain
merumuskan, bahwa konsumen adalah setiap individu atau kelompok yang menjadi
pembeli atau pemakai akhir dari kepemilikan khusus, produk, atau pelayanan dan
kegiatan, tanpa memperhatikan apabila ia berasal dari pedagang, pemasok,
produsen pribadi atau public, atau apakah ia berbuat sendiri ataukah secara
kolektif.
Dalam Islam tampaknya belum di konkretkan secara
definitive, siapakah sebenarnya konsumen itu? Mengutip pendapat M. Abdul Mannan
secara sempit menyinggung bahwa konsumen dalam suatu masyarakat Islam hanya dituntun
secara ketat dengan sederetan
larangan (yakni: makan daging babi, minum minuman keras, mengenakan pakaian
sutera dan cincin emas untuk pria, dan seterusnya).
Apa yang dikemukakan Mannan di atas jelas bukanlah
sebuah rumusan pengertian dari sebuah difinisi konsumen. Tetapi hanya
menggambarkan secara sederhana mengenai perilaku yang harus dipatuhi oleh
seorang Konsumen Muslim. Oleh karena itu sebagian gambaran, yang dimaksud
Konsumen menurut penulis adalah “setiap orang atau badan pengguna produk, baik
berupa barang maupun jasa dengan berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan yang
berlaku.” Bagi Konsumen Muslim dalam mengkonsumsi sebuah produk bagaimanapun
harus yang halal, baik, dan aman. Karena itu disinilah arti pentingnya produsen
melindungi kepentingan konsumen sesuai dengan ketentuan yang bersumber dari
ajaran agama yang mereka anut tanpa mengabaikan aturan perundangan Negara yang
berlaku.
Hak dan Kewajiban
Konsumen
Pada era globalisasi dan perdagangan bebas dewasa ini,
sebagai dampak kemajuan teknologi dan informasi, memberdayakan konsumen semakin
penting. Untuk pemberdayaan itu di Negara kita telah dibuat Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam hal ini ada dua pasal yang perlu diperhatikan,
yaitu yang mengatur hak-hak konsumen, disamping kewajiban yang harus dilakukan.
1.
Hak Konsumen (Pasal 4)
a.
Hak atas kenyamanan, keamanan dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang, atau jasa
b.
Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar kondisi serta jaminan yang dijanjikan
c.
Hak atas informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jamina barang atau jasa
d.
Hak untuk didengar
pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan
e.
Hak untuk mendapatkan
advokasi, perlindungan, dan upaya penyelasain sengketa perlindungan konsumen
secara patut
f.
Hak untuk pembinaan dan pendidikan konsumen
g.
Hak untuk diperlakukan
atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
h.
Hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi atau penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
i.
Hak-hak yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
2.
Kewajiban Konsumen (Pasal 5)
a.
Membaca atau mengikuti
petunjuk informasi dan prosedur pemakain atau pemanfaatan barang atau jasa demi
keamanan dan keselamatan
b.
Beritikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang atau jasa
c.
Membayar sesuia dengan nilai tukar yang disepakati
d.
Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa
perlindungan konsumen.
Dengan
terbitnya undang-undang tersebut maka diharapkan kepada para pelaku bisnis
untuk melakukan peningkatan dan pelayanan sehingga konsumen tidak merasa
dirugikan. Yang penting dalam hal ini adalah bagaimana sikap produsen agar
memberikan hak-hak konsumen yang seyogianya pantas diperoleh. Di samping agar
juga konsumen juga menyadari apa yang menjadi kewajibannya. Di sini dimaksudkan
agar kedua belah pihak saling memperhatikan hak dan kewajibannya masing-masing.
Apa yang menjadi hak konsumen merupakan kewajiban bagi produsen. Sebaliknya apa
yang menjadi kewajiban konsumen merupakan hak bagi produsen. Dengan saling
menghormati apa yang menjadi hak maupun kewajiban masing-masing, maka akan
terjadilah keseimbangan (tawazun)
sebagaimana yang di ajarkan dalam ekonomi islam. Dengan prinsip keseimbangan
akan menyadarkan kepada setiap pelaku bisnis agar segala aktivitasnya tidak
hanya mementingkan dirinya sendiri, namun juga harus memperhatikan kepentingan
orang lain.
Salah satu wujud perlindungan pada orang lain, kepada
produsen dituntut agar setiap produk yang akan dihasilkan aman bahan bakunya,
benar prosesnya dan halal zatnya sehingga dengan demikian bisa menjawab
pertanyaan Mannan sebagaimana dikutip sebelum ini, yakni untuk siapakah barang
dan jasa dihasilkan, barang dan jasa apa yang akan dihasilkan, dan bagaimana
cara menghasilkannya ?. Mampu menjawab dan mempraktikkan pertyaan-pertayaan
ini maka berarti para pelaku bisnis (produsen) telah melindungi kepentingan
konsumen sesuai yang di inginkan dalam syariat Islam.
Hak untuk
memilih barang yang didalam Islam dikenal dengan istilah khiyar, disini dimaksudkan agar konsumen diberi kebebesan
mendapatkan barang atau jasa sesuai dengan selera (keinginannya). Selain itu
juga perlu mendapat kualitas barang sesuai dengan harga yang ditetapkan dan
disepakati. Perlu dihindari adanya penipuan oleh pelaku bisnis terhadap
konsumen Karena bisa jadi barang yang telah diperoleh tidak sesuai dengan harga
yang dibayar. Contoh misalnya dalam hal timbangan (ukuran), Islam melarang dengan
ancaman keras sebagaimana firman Allah swt:
1. kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, 2. (yaitu) orang-orang
yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, 3. dan
apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.[4][4]
Azas dan
Tujuan Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang
seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang
dibeli dari produsen atau pelaku usaha.
1.
Azas Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 2 UU No. 8/ 1999, tentang Asas
Perlindungan Konsumen : “Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.
Azas
Perlindungan Konsumen:
a. Asas Manfaat
mengamanatkan
bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan,
b. Asas Keadilan
partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil,
c. Asas Keseimbangan
memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen,
pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
d. Asas
Keamanan dan Keselamatan Konsumen
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau
jasa yang dikonsumsi atau digunakan,
e. Asas
Kepastian Hukum
baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
2.
Tujuan Perlindungan Konsumen
Sedangkan
Pasal 3 UU No. 8/ 1999, tentang Tujuan Perlindungan Konsumen :
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
akses negatif pemakai barang dan/ atau jasa;
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut
hak-haknya sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. meningkatkan
kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.[5]
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
Pasal 8
Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :
a. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
1) Tidak sesuai dengan :
a) standar yang dipersyaratkan;
b) peraturan yang berlaku;
c) ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya
2) Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain
mengenai barang dan/atau jasa yang menyangkut :
a) berat bersih;
b) isi bersih dan jumlah dalam hitungan;
c) kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran;
d) mutu,
tingkatan, komposisi;
e) proses
pengolahan;
f) gaya,
mode atau penggunaan tertentu;
g) janji
yang diberikan;
3) Tidak mencantumkan :
a) tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan paling baik atas
barang tertentu;
b) informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa indonesia sesuai dengan
ketentuan yang berlaku
4) Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label.
5) Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat:
a) Nama barang;
b) Ukuran, berat/isi bersih, komposisi;
c) Tanggal
pembuatan;
d) Aturan
pakai;
e) Akibat sampingan;
f) Nama dan alamat pelaku usaha;
g) Keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau
dibuat
6) Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan),
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
b. Dilarang
menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa :
1) Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut :
a) Telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan harga/harga khusus,
gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu.
b) Dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah
tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
2) Secara tidak benar dan seolah-olah barang dan/atau
jasa tersebut :
a) Telah mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu,
keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.
b) Dibuat
perusahaan yangmempunyai sponsor, persetujuan/afiliasi.
c) Telah
tersedia bagi konsumen.
3) Langsung/tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
4) Menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap.
5) Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
6) Dengan
harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika bermaksud tidak
dilaksanakan.
7) Dengan
menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan
tetapi tidak sesuai dengan janji.
8) Dengan
menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional,
suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.
c. Dalam menawarkan
barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang
mempromosikan,mengiklankan atau membuat pernyataan tidak benar atau
menyesatkan mengenai :
1) Harga/tarifdan
potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
2) Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang dan/atau jasa.
3) Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa.
d. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dengan
memberikan hadiah dengan cara undian dilarang :
1) Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.
2) Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
3) Memberikan
hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak
setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
e. Dalam menawarkan
barang dan/atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang
dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis.
f. Dalam hal
penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui
konsumen dengan :
1) Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu
tertentu dan tidak mengandung cacat tersembunyi.
2) Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual barang
lain.
3) Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah tertentu/cukup dengan
maksud menjual barang lain.
Di
samping itu, pelaku usaha bisa saja mempermainkan harga dengan jalan
menaikkannya (mark up) dari harga
normal yang kadangkala tidak ketahui oleh calon pembeli, berapakah harga yang
sebenarnya. Permainan harga semacam ini pada prinsipnya merupakan bagian dari
permainan penjual yang memanfaatkan keawaman calon pembeli tentang harga barang
yang akan dibeli. justru krena itu Nabi saw dalam sebuah haditsnya secara umum
telah melarang mempermainkan harga:
“Barang siapa
yang melakukan sesuatu untuk mempengaruhi harga-harga barang kaum Muslimin
dengan tujuan untuk menaikkan harga tersebut, maka sudah menjadi hak Allah
untuk menempatkannya di ‘Uzm (tempat besar) dalam neraka pada hari kiamat (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah) ”.
Factor
yang mempengaruhi terjadinya harga yang tidak normal di masyarakat,
diantaranya:
a. permainan harga yang disebabkan oleh praktik monopoli dan persaingan tidak
sehat (al ikhtikar),
b. penyalahgunaan
kelemahan konsumen seperti karena keluguannya-istirsal¸karena tidak terpelajar, atau karena keadaan konsumen yang
sedang terdesak untuk memenuhi kebutuhannya-dharurah,
c.
karena penipuan dan informasi yang tidak akurat/informative-ghurur.
Untuk mengantisipasi permainan harga yang tidak
wajar dalam pasar, fikih Islam telah menawarkan beberapa solusi, antara lain
larangan praktik ribawi, larangan
monopoli dan persaingan tidak sehat, pemberlakuan al-tas’ir (fixing price),
pemberlakuan khiyar al-ghubn al-fahisy (perbedaan
nilai tukar menyolok), pemberlakuan khiyar
al-mustarsil (karena tidak tau harga sehingga ia membeli atas kepercayaan
pada pedagang), larangan jual beli an-najasy.
Larangan jual beli talaqi rukban dan
jual beli al-hadhir li bad.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, sanksi yang dikenakan pada pelaku
usaha secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu administrative dan pidana.
1.
Sanksi Administratif
(pasal 60)
1)
Badan Penyelesain Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi
administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat
(3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26;
2)
Sanksi administrative berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
3)
Tata cara penetapan sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
2.
Sanksi Pidana
Pasal 61, berkaitan dengan sanksi pidana menegaskan
bahwa penuntututan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau
pengurusnya. Selanjutnya dalam pasal 62 secara eksplisit dipertegas apa saja
bentuk sanksi pidana tersebut.
1)
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a,
huruf b, hruf c, huruf e, ayat (2), Pasal 18dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah)
2)
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13 (1), Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, ayat (1) huruf d dan
huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
3)
Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
tetap, atau kematian, diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Berikut pasal 63, dikatakan :
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat
dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :
a.
Perampasan barang tertentu
b.
Pengumuman keputusan hakim
c.
Pembayaran ganti rugi
d.
Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen
e.
Kewajiban penarikan barang dari peredaran
f. Pencabutan izin usaha
Demikianlah sanksi yang dijatuhkan oleh kedua
hukum, baik hokum syariah maupun hokum positif (perundangan nasional), pada
dasarnya sama-sama berkomitmen untuk melindungi hak atau kepentingan
konsumen. Perlakuan perlindungan
terhadap konsumen tidaklah berarti untuk merugikan pelaku usaha, namun yang
menjadi tujuan poko adalah ingin menciptakan keadilan antara kedua belah pihak
dengan prinsip saling menguntungkan. Itulah idealitas setiap peraturan perundangan yang
ingin mewujudkan keadilan, kearifan, kenyamanan, keamanan, dan lain sebagainya.
Bahkan yang lebih penting lagi adalah menciptakan kepastian hokum bagi
masyarakat dalam kehidupan.
Prinsip Konsumsi dalam Islam
Ada lima
prinsip konsumsi dalam Islam sebagaimana yang dikemukakan M. Abdul Mannan
sebagai berikut:
1. Prinsip Keadilan
Prinsip
ini mengandung arti yang mendasar sekali yang maksudnya, dalam mencari rezeki
seseorang harus dengan cara yang halal dan tidak dilarang hokum, sebagaimana
ditegaskan dalam al-Qur’an:
168. “Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Kata “Halal” dimaksudkan bahwa cara
perolehannya harus sah secara hukum, memperhatikan prinsip keadilan, dalam arti
tidak menipu dan merampas hak orang lain, karena apabila tidak, maka harta yang
diperoleh dan dimakan tidak lebih dari bangkai yang diharamkan.
2. Prinsip Kebersihan
Kata “bersih” disini
dimaksudkan dalam arti lahir (fisik). Factor kebersihan memang sangat di
utamakan dalam ajaran Islam. Sedemikian pentingnya, sampai-sampai kita di
ingatkan bahwa memperhatikan kebersihan itu merupakan cermin kualitas keimanan
seorang hamba. Oleh karena itu arahan al-Qur’an dan Sunnah yang berkaitan
dengan makanan, hendaknya makanan itu harus yang baik dan layak untuk dimakan,
tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Secara tegas Nabi saw
menyatakan bahwa kebersihan dalam segala hal adalah sebagian dari iman. Selain
itu Rasullah saw mengatakan “makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum
dan sudah memakannya” (HR. Tirmizi). Namun demikian sisi lain yang perlu
disadari bahwa memelihara kebersihan merupakan sebuah keniscayaan sebagai
prakondisi yang harus diciptakan menuju tubuh yang sehat yang sangat dianjurkan
dalam ilmu medis.
3. Prinsip kesederhanaan
Menekankan agar dalam mengkonsumsi makanan dan minuman
tidak berlebih-lebihan, sesuai dengan firman-Nya:
31. Hai anak
Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
“Israf” yang berarti
berlebihan, merupakan symbol keserakahan dalam segala hal di dunia ini.
Berlebihan dalam hal apapun, berarti seseorang berada dalam titik ekstrem yang
seringkali menimbulkan kesenjangan di tengah kehidupan.
4. Prinsip Kemurahan hati
Dengan mentaati perintah Islam, maka
tidak aka nada bahaya maupun dosa dalam mengonsumsi makanan dan minuman halal
yang dikaruniakan Tuhan karena kemurahan-Nya. Tetapi jika dalam keadaan
terpaksa diluar batas kemampuan manusia (darurat-emergency) ketentuan itu bisa saja disimpangi sesuai dengan
firman-Nya:
173. Sesungguhnya Allah
hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi Barangsiapa dalam
Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
5. Prinsip moralitas
Berakhlak dalam Islam tidak hanya di alamatkan pada
sesama manusia, tetapi juga kepada diri sendiri, lingkungan (alam) sekitar, dan
bahkan terhadap Tuhan sekalipun.
Bagi para pelaku bisnis yang berpegang teguh pada
prinsip moralitas merupakan prakondisi ketaatan mereka pada hukum yang berlaku.
Sebagai konsekuensinya, mereka akan selalu melisendungi segala hak konsumen
sebagai bagian dari ajaran hukum apapun secara universal.
Gerakan Konsumen
Latar belakang lahirnya gerakan
konsumen sebagaimana dikemukakan A. Sonny Keraf sebagai berikut :
a. Banyaknya produsen berhati emas dan punya kesadaran moral yang tinggi,
namun hati dan kesadaran moralnya itu sering dibungkam oleh keinginan untuk
mendapatkan keuntungan atau uang dalam waktu singkat dari pada mempedulikan hak
konsumen.
b. Di banyak Negara sedang
berkembang, termasuk Indonesia, para produsen lebih dilindungi oleh pemerintah
karena mereka di anggap punya jasa besar dalam menopang perekonomian Negara
tersebut. Akibatnya, kepentingan mereka lebih diamankan pemerintah dari pada
kepentingan konsumen.
c. Dalam system social
politik dimana kepastian hokum tidak jalan, pihak produsen akan dengan mudah
membeli kekuasaan untuk melindungi kepentingannya terhadap tuntutan konsumen.
Kalaupun konsumen menuntut, pihak prosusen selalu merasa diri di atas angin.
d. Konsumen, (individual
khususnya) merasa rugi kalau harus menuntut produsen dank arena itu ia selalu
berada dalam posisi yang lemah. Masih beruntung bahwa kini media massa
benar-benar digunakan sebagai kekuatan konsumen dimana keluhan mereka melalui
rubric surat pembaca punya dampak efektif mempengaruhi produsen.
Menurut Keraf, salah satu syarat
bagi terpenuhi dan terjaminnya hak-hak konsumen adalah perlunya pasar dibuka
dan dibebaskan bagi semua pelaku ekonomi, termasuk produsen dan konsumen.
Selanjutnya, gerakan konsumen di Barat lahir karena
berbagai tertimbang, yaitu:
a. Kebutuhan akan informasi
dan pedoman yang akurat tentang berbagai produk yang beredar di masyarakat.
b. Kebutuhan akan informasi dari produk jasa yang semakin terspesialisasi
untuk membantu konsumen agar bisa mengambil keputusan mana yang benar-benar
dibutuhkan oleh mereka.
c. Adanya pengaruh iklan yang seringkali membuat konsumen kebingungan dan
tidak jarang menipu atau merugikan mereka.
d. Kurang perhatiannya keamanan produk secara serius oleh produsen.
e. Kebutuhan konsumen akan wadah konsultasi, advokasi, dan perlindungan untuk
menuntut hak dan kepentingannya sesuai dengan prinsip kontrak jual beli yang
adil.
Dari kenyataan di atas dapat dipahami
bagaimanapun kehadiran sebuah institusi semacam lembaga konsumen ini tetap
dibutuhkan guna melindungi pihak yang selalu diposisikan ditempat marjinal. Kehadiran institusi ini antara lain untuk
menyeimbangkan antara hak dan kewajiban produsen dan konsumen. Jika sekiranya
keseimbangan itu mulai terwujud maka dapat dikatakan bahwa supremasi hukum
sudah mulai terbangun ditengah maraknya distorsi hukum yang semakin
memprihatinkan di era globalisasi seperti sekarang ini. [7]
Contoh
kasusnya : Prita Mulyasari, Hak Konsumen Di Perlakukan Tidak Adil
Berbagai
kasus tentang perlindungan konsumen selalu menjadi perhatian, dalam kasus ini
biasanya pemenangnya dari pihak produsen. Contohnya kasus prita, prita dari
sekian banyaknya korban yang memperjuangkan haknya sebagai konsumen yang
menuntut pertanggungjawabannya dari penyedia jasa. Sebagai konsumen yang
merasakan ketidakpuasan atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional.
Seharusnya Prita wajar untuk mengajukan keluhan. Prita “bukan tanpa hak” untuk
menyampaikan keluhannya. Prita menyampaikankeluh kesahnya pada jejaring sosial
di internet, justru malah mendapatkan tuntutan penghinaan dan atau pencemaran
nama baik.
Muasalnya
adalah tulisan Prita dalam e-mail pribadi kepada rekan-rekannya yang berisi
keluhan terhadap pelayanan RS yang berlokasi di Serpong, Tangerang tersebut.
Prita awalnya memeriksakan diri pada 7 Agustus 2008 dengan keluhan panas tinggi
dan sakit kepala. Ia ditangani dr. Hengky dan dr. Indah, diagnosanya adalah
Demam Berdarah (DB) dan disarankan rawat-inap. Semasa rawat inap, Prita
merasakan berbagai kejanggalan seperti terus diberikan berbagai suntikan tanpa
penjelasan apa pun. Bahkan, tangan, leher dan daerah sekitar mata mengalami
pembengkakan. Ketika Prita memutuskan untuk pindah rumah sakit, ia kesulitan
mendapatkan data medis dirinya. Yang dipermasalahkannya adalah mengapa diagnosa
awal 27.000 trombosit bisa berubah mendadak menjadi 181.000 trombosit.
Prita mempertanyakan perbedaan yang signifikan itu.
Analisis
kasus :
Dalam
kasus di atas prita menyampaikan keluhan pelayanan RS yang berlokasi di
Serpong, Tangerang tersebut melalui email pribadinya, dengantindakan itu prita
malah mendapatkan tuntutan penghinaan dan atau pencemaran nama baik,
pasal 27 ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Karena ancaman
hukuman maksimalnya disebutkan dalam pasal 45 ayat 1 UU yang sama lebih dari 5
tahun penjara atau tepatnya 6 tahun penjara, maka tersangka bisa ditahan.
Padahal
prita hanya menyampaikan keluhan yang dikemukakan Prita pada internet atas
layanan rumah sakit Omni Internasional yang tidak memuaskan konsumen dan itupun
dijamin oleh undang-undang. Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, yang berlaku sejak 20 April 2000.
Dari kasus di atas akan membuat konsumen lainnya
takut untuk menyuarakan keluhannya yang pada akhirnya akan selalu menjadi
obyek semena-mena pelaku usaha produk barang atau jasa. keputusan yang kurang
berpihak pada keadilan seperti itu tidak bisa diterima,karna merugikan
konsumen.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka kami menyimpulkan
bahwa hingga saat ini perlindungan konsumen masih menjadi hal yang harus
diperhatikan. Konsumen sering kali dirugikan dengan pelanggaran-pelanggaran
oleh produsen atau penjual. Pelanggaran- pelanggaran yang terjadi saat ini
bukan hanya pelanggaran dalam skala kecil, namun sudah tergolong kedalam skala
besar. Dalam hal ini seharusnya pemerintah lebih siap dalam mengambil tindakan.
Pemerintah harus segera menangani masalah ini sebelum akhirnya semua konsumen
harus menanggung kerugian yang lebih berat akibat efek samping dari tidak
adanya perlindungan konsumen atau jaminan terhadap konsumen.
DAFTAR
PUSTAKA
Djakfar,
Muhammad. (2009). Hukum Bisnis, Malang:
UIN-Malang Press.
Nasution, A.Z, Konsumen dan Hukum,
cet.I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
Kotler,
Philip. (2000). Principles Of Marketing. Jakarta:
Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar