BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi yang sangat pesat menjadikan dunia seolah tanpa batas (borderless). Manusia kini dapat terhubung satu sama lain dengan jangkauan dan daya jelajah yang luas (wide spread) dengan kecepatan tinggi (high speed) dan tanpa membutuhkan media komunikasi konvensional, seperti, kertas (paperless).
Teknologi menjadi paradigma baru untuk menentukan kualitas suatu bangsa. Ungkapan bahwa “siapa yang menguasai teknologi akan menggenggam dunia ditangannya”, karenanya tidak dapat diragukan lagi walau harus disikapi secara bijaksana. Teknologi terkait dengan industrialisasi telah menjadi tolak ukur pertumbuhan ekonomi yang mencerminkan keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Namun kenyataannya ada kesenjangan penguasaan teknologi antara negara maju dengan negara berkembang, seperti Indonesia. Oleh karana itu masalah alih teknologi antara neghara maju dan negara berkembang menjadi isu sentral dalam beberapa dasawarsa, lebih-lebih setelah tercapainya kesepakatan masyarakat internasional dalam World Trade Organization (WTO)
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Istilah alih teknologi harus dipahami dari pihak yang memiliki teknologi kepada pihak lain yang membutuhkan teknologi tersebut, yang dalam hal ini dapat dilakukan dengan sell; share ataupun transfer[1] . Di Indonesia alih teknologi lazimnya dipahami dari pihak asing, sebagaimana ungkapan Pameo Satirikal[2] “Technology was invented in Europe and developed in USA but produced as made in Japan”.
Istilah alih teknologi (transfer of technology) didefinisikan United Nation Centre on Transnational Corporation (UNTC)[3]
UNCTC[4] mempergunakan istilah teknologi dalam dua pengertian yaitu dalam pengertian sempit dan dalam pengertian luas. Dalam arti sempit, teknologi adalah “ technical knowledge or know-how that is knowledge related to the methods and techniques of production of goods and services.” Sedangkan istilah teknologi diartikan oleh UNCTAD sebagai:[5]
Technology is an essential input of production, and as such it is bought and sold in the world market as a commodity embodied in one of the following forms (i) in capital goods and sometimes intermediary goods which are bought and sold in markets, particulary in connection with investment decision; (ii) in human labour usually qualified and sometimes highly qualified and specialized manpower, with capacity to make correct use of the equipments and techniques and to master a problem solving and information producing apparats; (iii) in information, whether of a technical or commercial nature, which is provided in market, or kept secret as part of monopolistic practice.
Hukum adalah bagian dari teknologi karena teknologi terkait dengan masalah konstitusi[6]dan fungsinya sebagai legal structure yang fundamental. Didalam konstitusi suatu negara tercakup berbagai pertimbangan dan keputusan manusia yang berposisi sebagai teknokat, birokrat dan politikus[7]. Hukum menentukan teknologi canggih, teknologi menengah atau teknologi merakyat[8]
B. Peranan Hukum Dalam Alih Teknologi
Teknologi jika dikaitkan dengan ilmu pengetahuan mencakup[9] (a)Produk ; (b)Proses dan (c) Paradigma Etika. Teknologi sebagai ‘The application of science’ berinduk pada ilmu pengetahuan (science) yang merupakan ‘the enlarging international pool of knowledge equally valid every where[10] Ilmu pengetahuan semula berawal dari pengetahuan (knowledge) yang lambat laun menjadi disiplin ilmu yang mandiri manakala cabang-cabang ilmu melepaskan diri dari ‘batang’ filsafatnya dan berkembang sesuai metodologinya.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 diletakkan dasar dan arah pembangunan ekonomi yang tentu didalamnya tercakup masalah alih teknologi. Dalam Pasal 33 ditetapkan bahwa : “Perekonomian Indonesia di susun oleh … Cabang-cabang produksi …Bumi, air dan kekayaan alam…dipergunakan sebesar-sebesar kemakmuran rakyat”. Pembangunan ekonomi dimaksudkan untuk mencapai Tujuan Nasional, disadari bahwa bangsa Indonesia memiliki kekurangan dari segi modal, keahlian dan teknologi. Untuk itu diperlukan serangkaian kebijakan dan aturan yang dapat memenuhi kebutuhan itu, antara lain, melalui kebijakan alih teknologi.
Kebijakan alih teknologi diletakkan oleh UU No. 1/1967 Tentang Penanaman Modal Asing.[11].Dalam Pasal 2 UU No. 1/1976 dinyatakan bahwa “…modal asing meliputi … penemuan-penemuan milik orang asing …”. Lebih lanjut dalam Pasal 12 UU No. 1/1976 ditetapkan : “Perusahaan-perusahaan modal asing wajib menyediakan fasilitas dan pendidikan … bagi warga negara Indonesia”. Tujuan ketentuan ini agar berangsur-angsur tenaga kerja asing dapat digantikan oleh tenaga kerja Indonesia.
Komitmen awal Pemerintah mengundang investor asing melalui UU No. 1/1967 bahwa modal asing tersebut akan dijadikan pelengkap dalam pembiayaan pembangunan, disamping pajak,tabungan masyarakat (public saving) dan lain-lain. Hal ini tercermin dalam asas-asas yang terdapat dalam UU tersebut antara lain : (a) asas manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, (b) asas ketidak-tergantungan dan (c) asas jaminan dan insentif[12]
Setahun berikutnya diundangkan UU No. 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Pasal 1 UU No. 6/1968 menetapkan : “Modal dalam negeri ialah bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia, termasuk hak-hak benda-benda, baik yang dimiliki negara… swasta asing …” Pasal 3 menetapkan “Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 51% modal dalam negeri …, perusahaan PMDN juga dimungkinkan terdapat unsur mitra asing, walaupun tidak dalam posisi mayoritas”.
Selanjutnya dengan tercapainya kesepakatan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Establishing the World Trade Organization – WTO) yang telah disahkan melalui UU No. 7/1994[13],maka Indonesia berkewajiban menyempurnakan seluruh peraturan perundang-undangannya dengan WTO.Di bidang investasi, ketentuan Trade Related Investment Measures menjadi tolok ukurnya.
Selain UU No. 1/1967 dan UU No. 6/1968, masalah teknologi dan pengalihannya ditetapkan dalam undang-undang Paten. Pengaturan paten di Indonesia diawali dengan OctrooiWet 1912. Namun sebagai undang-undang produk Belanda, terdapat kebijakan yang tidak menguntungkan bagi Indonesia bahwa pendaftaran paten di Indonesia (Hindia Belanda) harus diteruskan ke Negeri Belanda untuk perolehan haknya. Tentu saja pengaturan ini dirasakan bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara. Oleh karena itu sambil menunggu undang-undang Paten nasional terbentuk, dikeluarkan pengumuman Menteri Kehakiman No. J-S-5/41/4 tanggal 12 Agustus 1953 yang dimuat dalam Berita Negara No. 65 tanggal 28 Agustus 1953 dan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J-G-1/2/17 tanggal 29 Oktober 1953 yang dimuat dalam Berita Negara No. 91 tanggal 13 November 1953. Kedua pengumuman tersebut mengatur penerimaan pendaftaran sementara atas permintaan paten.
Octrooi Wet digantikan dengan UU No. 6/1989 Tentang Paten sebagai undang-undang produk nasional. Dalam masalah paten terkait ketentuan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights-IPR, Including Trade in Counterfeit goods(TRIPs) Sejalan dengan Persetujuan TRIPS dilakukan penyempurnaan UU No. 6/1989 dengan UU No.13/1997. No. 13/1997. Saat ini kedua peraturan tersebut telah dihapus digantikan dengan UU No. 14/2001 tentang Paten.
B. Pengaturan Hukum Tentang Alih Teknologi di Indonesia
GBHN 1994 – 2004, Bab 1 A dinyatakan bahwa Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai dengan kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komperatif ,sebagai negara maritim dan agraris sesuai kompetensi dan produk unggulan di setiap daerah , terutama pertanian dalam arti luas , kehutanan , kelautan , pertambangan , pariwisata ,serta industri kecil dan kerajinan rakyat. Dan untuk mewujudkan hal tersebut maka pemanfaatan alih teknologi atas kekayaan intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan mampu memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi guna kepentingan masyarakat dan negara.
Untuk itu perangkat hukum sebagai sarana pembaharuan sosial harus mampu untuk memberikan pengaturan terhadap perkembangan baru khususnya dalam pemanfaatan alih teknologi tersebut . untuk itu alih teknologi harus dapat diatur secara hukum Indonesia, sebagai negara berkembang menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai peranan penting dalam mempercepat pembangunan sosio ekonomi nasional dan khususnya dalam memperlancar peningkatan produksi dan memasukkan teknologi asing yang cocok yang tepat dari luar negeri kedalam negeri dengan ketentuan-ketentuan, syarat-syarat yang menguntungkan bagi kepentingan nasional berarti akan memperbesar peranan tersebut Indonesia dalam upaya mensejahtrakan masyarakatnya .
Pengaturan tentang alih teknologi perlu diperhatikan dalam kerangka untuk masuknya teknologi baru di Indonesia, apakah melalui kerjasama lisensi, pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi[14]. Pembangunan industri untuk Indonesia sangat diperlukan terutama dalam kaitan dengan penemuan baru. Suatu penemuan baru harus dapat direaksir segera dimana paten atau penemuan tersebut didaftarkan.Pihak-pihak dapat memulainya pada pengadilan negeri untuk menggunakan paten tersebut dan kepada pihak yang menggunakan lisensi wajib tersebut harus memberikan royalti yang wajar kepada pihak pemegang paten tersebut.
Berdasarkan kategori di atas jelas terlihat bahwa penggunaan teknologi baru atau alih teknologi harus mendapat pengaturan yang memadai sehingga dunia usaha akan terhindar dari peniruan teknologi lain, dan hal ini sejalan dengan persetujuan Pemindahan Teknologi Dalam Aspek-aspek Hukum Dari Pengaruh Teknologi, umumnya tentang tarif dan perdagangan yang merupakan perjanjian perdagangan yang pada dasarnya bertujuan menciptakan perdagangan bebas.yang diharapkan membantu menciptakan pertumbuhan ekonomi danpembangunan guna mewujudkan kesejahteraan manusia.
Persetujuan TRIP’s memuat norma-norma dan standard perlindungan bagi kekayaan intelektual manusia dan menempatkan perjanjian Internasional di bidang hak atas kekayaan intelektual sebagai dasar pengaturan hukum dalam bidang alih teknologi baik yang berkaitan dengan lisensi .Untuk itu perlu menjabarkan dengan tegas dan harus bagaimana mekanisme pengalihan teknologi dari pemilik teknologi asing kepada teknologi Indonesia,sehinga produksi suatu teknologi akan lebih meluas ke negera-negara berkembang..
Hukum sebagai sarana pembaharuan sosial harus mampu untuk memberikan pengaturan terhadap perkembangan baru, untuk itu alih teknologi harus dapat diatur secara hukum Indonesia, sebagai negara berkembang menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai peranan penting dalam mempercepat pembangunan sosio ekonomi nasional dan khususnya dalam memperlancar peningkatan produksi dari barang dan jasa dalam sektor industri dan memasukkarl teknologi asing yang cocok yang tepat dari luar negeri kedalam negeri dengan ketentuan-ketentuan, syarat-syarat dan harga yang menguntungkan bagi kepentingan nasional berarti akan memperbesar peranan tersebut.[15]
Pengaturan tentang alih teknologi perlu diperhatikan dalam kerangka untuk masuknya teknologi baru di Indonesia, apakah melalui kerjasama lisensi atau melalui penanaman modal asing, pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi.[16]
Pembangunan industri untuk Indonesia sangat diperlukan terutama dalam kaitan dengan penemuan baru. Suatu penemuan baru harus dapat direaksir segera dimana paten atau penemuan tersebut didaftarkan. Pihak-pihak dapat memula pengadilan negeri untuk menggunakan paten tersebut dan kepada pihak yang menggunakan lisensi wajib tersebut harus memberikan royalti yang wajar kepada pihak pemegang paten tersebut. Berdasarkan kategori di atas jelas terlihat bahwa penggunaan teknologi baru atau alih teknologi harus mendapat pengaturan yang memadai sehingga dunia usaha akan terhindar dari peniruan teknologi lain, dan Kalau ini sejalan dengan persetujuan
C. Bentuk Hukum Alih Teknologi : Direct Investment, Indirect Investment
Dalam kaitan ini UNCTC menetapkan ada 9 (sembilan)[17]bentuk perjanjian yang terkait dengan alih teknologi yakni :
(1) Foreign direct invesment
(2) Joint venture
(3) Licensing
(4) Franchising
(5) Management contracts
(6) Marketing contacts
(7) Technical services contracts
(8) Turn key contracts
(9) International sub contracting
Sedangkan Rudi Prasetya menyatakan masuknya teknologi (termasuk peralihannya) melalui :[18]
a) direct investment
- PMA Penuh atau joint venture (patungan)
- PMDN
b) Indirect investment khususnya lisensi (termasuk franschising).
a.‘Direct Investment’
UU No. 1/1967 mengatur masalah ‘direct investment’ dimana investor harus menanamkan modalnya dalam bentuk pendirian perusahaan (Perseroan Terbatas, mengelola dan melakukan kontrol langsung atas usahanya serta langsung menanggung resiko atas investasinya (pasal 1). Umumnya investor berasal dari perusahaan transnasional atau multinasional dari negara maju[19]. Ada beberapa motivasi mengapa mereka mau menanamkan modal diluar negaranya :
- Adanya kejenuhan pasar dinegaranya, sehingga menimbulkan iklim kompetisi yang ketat dan cenderung tidak sehat.
- Adanya peluang pasar dinegara tujuan investasi atau sekitarnya dan hal itu dilakukan untuk ekspansi pasar.
- Adanya ‘cost of production’ yang tinggi disebabkan oleh mahalnya faktor-faktor produksi, misalnya upah tenaga kerja tinggi; sumber daya alam yang terbatasyang menyebabkan harga bahan baku menjadi mahal, sementara sumber daya alam di negara tujuan investasi sangat signifikan.
- Pendayagunaan kembali mesin-mesin atau teknologi yang dinegaranya sendiri mungkin sudah usang dan dilarang untuk dipakai, misalnya, karena damapak negatif yang signifikan ini (ini harus diwaspadai).
Dalam kaitan dengan alih teknologi , Pasal 2 UU No. 1/1967 menetapkan bahwa :
” alat-alat perusahaan dan penemuan-penemuan (Invention) baru milik orang asing termasuk kategori modal asing”. Dalam arti bahwa alat-alat dan penemuan tersebut dapat dianggap sebagai inbreng (pemasukan yang bernilai ekonomis dan dikonversi sebagai saham). Untuk itu perlu diwaspadai agar tidak terjadi mark up harga dan penilaian teknologi secara berlebihan. Alat-alat dan penemuan-penemuan baru tersebut seyogyanya sudah di nilai inclusive sebagai inbreng pada perusahaan. Namun di dalam praktek, para investor dengan kepiawiannya masih dapat menuntut royatly di luar interest selaku pemegang saham, dengan dalih bahwa keahlian atau know how untuk mengoperasikan alat-alat terebut adalah diluar kesepakatan yang ada dan oleh karena itu harus dihargai; hal yang sama terjadi manakala invensi atau penemua-penemuan tersebut membutuhkan know-how untuk mengaplikasikannya. Satu hal lagi yang penting untuk diwaspadai jangan sampai alat-alat perusahaan atau penemuan-penemuan baru tersebut ‘sesuatu’ yang sebenarnya dinegaranya sendiri (house country) sudah usang (obsolote) atau bahkan dilarang karena mencemarkan lingkungan, namun dengan perhitungan agar investasinya dalam menhasilkan alat tersebut dapat kembali , maka alat-alat perusahaan tersebut dibawa serta dalam rangka investasinya di negara tujuan investasi (host country) yang relatif memiliki bargaining position lebih lemah. Masih berkenaan dengan alat-alat perusahaan dan penemuan-penemuan, seringkali investor asing melarang partner lokal untuk melakukan perbaikan yang sifatnya pengembangan. Hal inilah yang sering dikritisi bahwa sekian tahun perusahaanPMA di Indonesia “ Bangsa kita hanya memiliki kemampuan sebatas‘tukang”.
Dalam UU No. 1/1967 sebenarnya diatur alih teknologi dalam 3 (tiga) pengertian :
- a. Transfer of knowledge or skill
- b. Transfre of share (divestasi)
- c. Transfer of employee
Berkaitan dengan transfer of knowledge, Pasal 12 UU No. 1/1967 mewajibkan investor untuk mendidik tenaga kerja Indonesia sebagai upaya pengembangan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan inilah yang idealnya, menjadi sarana alih teknologi. Namun harus diwaspadai manakala mengikuti pendidikan yang diselenggarakan pihak asing, jangan sampai kita terkecoh, maksud hati memperoleh pengetahuan atau teknologi dari mereka, kenyataannya justru kita yang dijadikan obyek penelitian guna mengembangkan pengetahuan atau teknologi mereka agar dapat mempertahankan posisi determinan dan dominannya terhadap negara berkembang.
Transfer of share atau Indonesianisasi saham (divestasi) tujuannya adalah untuk percepatan penguasaan kendali perusahaan (berikut perangkat lunaknya, informasi dan teknologi). Dalam upaya pencapaian tujuan tersebut sebelum berlakunya PP No. 20/1994 Tentang Kepemilikan Saham Asing Pada Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman modal, kebijakan Pemerintah menetapkan bahwa dalam tempo 15 (lima belas) atau 20 (dua puluh) tahun sejak produksi komersil posisi partner Indonesia harus menjadi mayoritas 51% : 49% dalam kepemilikan saham pada suatu perusahaan PMA. Kenyataannya meski partner Indonesia sudah dalam posisi mayoritas yang asumsinya akan mengendalikan perusahaan, toh kita harus tetap mengakui keunggulan partner asing yang sangat piawai dalam ‘bermain’ di celah-celah hukum, misalnya, kendali tetap mereka pegang melalui berbagai perjanjian seperti technical assistant agreement, management agreement[20]dan lain-lain. Adanya kenyataan itu sebenarnya bertentangan dengan prinsip National Treatment dan Most Favoured Nation yang menjadi prinsip dasar WTO.
Transfer of employee ditetapkan dasar pada Pasal 11 yang menetapkan bahwa “ Tenaga kerja asing dapat dipakai di perusahaan, PMA, sepanjang jabatan tersebut belum dapat diisi oleh pengusaha Indonesia”. Ada catatan disini dalam praktek tenaga kerja asing untuk jabatan yang sama dapat memperoleh upah 10 (sepuluh) kali bahkan lebih dari tenaga kerja Indonesia. Berdasarkan kenyataan tersebut nampak bahwa yang terjadi adalah sell bukan share apalagi transfer of technology yang dapat digunakan sebagai sarana alih teknologi. Memang dalam asal 11 dimungkinkan memperkerjakan tenaga kerja asing, tetapi keahliannya harus ditransfer kepada tenaga kerja Indonesia.
Secara psikologis UU No. 1/1967 tentang PMA dengan UU No. 6/1968 memiliki keterkaitan yakni mengatur suatu badan usaha (berbentuk Perseroan Terbatas) dengan fasilitas tertentu. Perbedaannya, jika UU No. 1/1967 dimaksudkan untuk mengundang investor asing ke Indonesia, sedangkan UU No. 6/196 8untuk melindungi investor dalam negeri. Dalam pengalamannya ada ‘sedikit’ kontradiksi. Hal ini dapat dilihat UU No. 1/1967 dalam Pasal 18 menetapkan perusahaan PMA dibatasi jangka waktu berusahanya selama 30 tahun, sedangkan Pasal 6 UU No. 1/1968 membatasi jangka waktu perusahaan asing,
- dibidang perdagangan berakhir pada tanggal 30 Desember 1997
- dibidang industri berakhir pada tanggal 31 Desember 1997
- dibidang lainya akan ditentukan lebih lanjut oleh Pemerintah daam batas waktu 10 s/d 30 tahun.
Ketentuan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan PP No. 36/1997 Jo PP No. 19/1988 Tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam bidang Perdagangan dan Kemudian diikuti dengan SK Menteri Perdagangan No. 77/KP/III/78 Jo SK No.376/KP/XI/88 Tentang Kegiatan Perdagangan Terbatas Pengusahaan Produksi Dalam Rangka Penanaman Modal yang menetapkan bahwa “Perusahaan asing tidak di izinkan menjual produknya kepada konsumen dan untuk itu harus bekerja sama dengan perusahaan nasional selaku distributor”.
Adanya ketentuan tersebut dianggap sebagai tindakan pembatasan (Business Restriction) yang bertentangan dengan Trade Related Investment Measures (TRIMS) sebagai salah satu agenda WTO. Adanya ketentuan tersebut disikapi oleh investor asing dengan jalan mengalihkan aktivitasnya dalam bentuk ‘indirect investment’, misalnya, dengan cara membuat perjanjian lisensi.
b. Indirect Investment : Perjanjian Lisensi Paten
UU No. 14/2001 menetapkann bahwa : “Paten adalah hak eklusif yang diberikan oleh negara kepada investor (penemu) atas hasil invensi (penemuannya) dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya”. (Pasal 1 Angka 1). Invensi (penemuan) adalah ide inventor (penemu) yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik dibidang teknologi dapat berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses (Pasal 1 Angka 2).
Berdasarkan ketentuan tersebut, hakekat paten adalah suatu hak ‘monopoli’ yang diberikan negara kepada investor sebagai reward atau incentive baginya atas pengungkapan invensi tersebut kepada masyarakat (pada saat pengumuman) melalui patent description / spesification. Tujuannya adalah agar masyarakat memperoleh pengetahuan baru dalam mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan. Sebaliknya bagi bagi inventor, paten memberikan hak ekonomis untuk mengeksploitasi penemuannya, antara lain, melalui perjanjian lisensi dengan imbalan royalty. Disamping itu inventor memiliki hak moral agar namanya selaku inventor tetap di cantumkan dalam sertifikat paten, meski patennya telah dialihkan kepada pihak lain, misalnya perusahaan sebagai pemegang paten. Dan kondisi ini askan memacu proses industrialisasi suatu negara.
substantif / materiil agar suatu teknologi dapat dipatenkan adalah
- novelty (kebaruan)
- Inventive step (langkah inventif)
- Industrially applicable (dapat diterapkan dalam industri)
Suatu teknologi dianggap baru jika teknologi tersebut tidak sama dengan ‘prior art’ (teknologi paling mutakhir saat itu yang menjadi pembanding). ‘Prior art’ dalam bahasa undang-undang disebut “teknologi yag telah diungkapkan atau diumumkan sebelumnya”. Dalam hal ini pengumuman dimaksudkan dapat berupa suatu tulisan; uraian lisan atau melalui peragaan atau cara-cara lain yang mengakibatkan seorang ahli (meniru) melaksanakan invensi yang sama. Ukuran kebaruan juga didasarkan pada jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah adanya invensi harus segera didaftarkan, jika tidak maka nilai noveltynya akan gugur.
Suatu invensi dianggap mengandung langkah infentif. Jika invensi tersebut bagi seseorang yang memiliki keahlian tertentu di bidang teknik bersifat ‘non obvious’ (tidak dapat diduga sebelumnya). Invensi dapat diterapkan dalam industri jika invensi dapat dilaksanakan sesuai uraian dalam permohoman.
Selain ketiga syarat tersebut diatas yang sifatnya ‘world wide’, untuk permintaan paten di Indonesia harus memperhatikan Pasal 7 UU No. 14/2001 bahwa paten tidak dapat diberikan untuk invensi tentang :
- Proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum atau kesusialaan.
- Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan atau pembedahan yang diterapkan terhadap terhadap manusia dan atau hewan.
- Teori dari metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika, atau
- i. Semua makhluk hidup kecuali jasad renik
Pasal 7 ini terkandung muatan aksiologi[21] yang dalam sebagai pertimbangan kebijakan pemberian paten. Hukum dalam hal ini tidak hanya sekedar memberikan hak monopoli tanpa batas, namun ada norma-norma tertentu yang harus ditaati. Sebagai contoh jika tidak ada ketentuan Pasal 7 butir (a) dapat dibayangkan bagaimana ekses yang ditimbulkan, perkembangan teknologi akan semakin meningkatkan sifat materialisme manusia; jika ketentuan dalam huruf (b) tidak ada, maka biaya perolehan teknologi yang sangat besar akan meningkatkan biaya pelayanan kesehatan selain hal tersebut diatas sebenarnya UU paten ini juga harus disinkronkan dengan aturan mengenai ‘Bio diversity’ dan aspek sumber daya lainnya.
Pada prinsipnya “Pemegang paten wajib membuat produk atau menggunakan proses yang diberi paten di Indonesia, kecuali jika hal itu hanya layak dilakukan secara regional, asalkan disertai permohonan tertulis kepada yang berwenang (Pasal 17). Ketentuan ini dimaksudkan agar terjadi alih teknologi (lebih-lebih jika pemegang paten adalah inventor asing).
Perjanjian lisensi merupakan hal yang krusial untuk dikaji. Kata lisensi (Licence) pada dasarnya meliputi : a) lisensi sukarela (valuntary licensing) dan (b) lisensi wajib (Compulsory licensing). Lisensi diartikan sebagai : [22] “a personal prevelege to do some particular act … and is ordonary receable at the will of lecensor and is not assignable”.
Dalam pasal 71 UU No. 14 / 2001 dinyatakan bahwa perjanjian lisensi dilarang (a) memuat ketentuan yang baik langsung maupun tidak langsung dapat merugikan perekonomian Indonesia atau (b) memuat pembatasan-pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan inovasi yang diberi paten pada khususnya. Termasuk dalam perbuatan yang dilarang oleh Pasal 71 ini antara lain : (a) tie-in restriction (b) restrictive business practices (rbp) dan (c) grant back provison). Perbuatan yang mewajibkan lisensi untuk membeli bahan baku pada pihak yang ditunjuk licensor dengan dalih menjaga kualitas produk adalah tie-in restriction. Klausula -klausula rbp ada pada price restriction; teritorial restriction; field of use and customer restriction; output restriction; packaging licensing. Sedangkan lisensi yang mengandung grant back provision adalah memuat ketentuan bahwa :” setiap perbaikan, inovasi atau pengembangan terhadap invensi yang dilisensikan oleh licensee memberikan hak bagi licensor untuk menggunakan invensi tersebut”.
Lebih lanjut dalam Pasal 72 ditetapkan: ”Setiap perjanjian lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya. Dalam hal perjanjian lisensi tidak dicatat di Dirjen HKI, tidak mempunyai akibat hukum bagi pihak ketiga”. Pencatatan perjanjian lisensi adalah wujud campur tangan yang diperkenankan dalam Pasal 40 Persetujuan TRIPs guna melindungi posisi licensee yang umumnya ditengarai memiliki posisi yang lemah. Ketentuan ini mencegah penyalahgunaan hak paten oleh licensor ( terlebih foreign licensor) dan kesemua itu untuk kontribusi perekonomian nasional. Selain itu pencatatan berfungsi untuk mengetahui jumlah dan bentuk invensi yang telah di lisensikan agar dapat diproyeksikan oleh teknologi masa depan[23]
Selain lisensi sukarela, masalah alih teknologi dapat juga melalui perjanjian lisensi wajib yang tertuang dalam Pasal 74 sampai dengan 87 UU No. 14 / 2001. Alasan lisensi wajib ada 2 (dua) :
- Jika paten atas suatu invensi tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh pemegang paten dalam waktu 36 (tiga puluh enam bulan) terhitung sejak tanggal pemberian paten (Pasal 75)
- Jika sewaktu-waktu ternyata pelaksanaan paten suatu pihak ternyata tidak mungkin dapat dilakukan tanpa melanggar paten lain yang telah ada.
Alasan (a): terkait dengan ketentuan kewajiban pelaksanaan paten di Indonesia sebagaimana diatur pada Pasal 17 tersebut diatas. Sedangkan alasan (b) Memungkinkan terjadinya cross licensing yang saling menguntungkan antara pemilik paten dengan penerima lisensi wajib. Permohonan lisensi wajib diajukan kepada Dirjen HKI disertai bukti :
- pemohon mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri patennya secara penuh
- mempunyai fasilitas untuk melaksanakan paten tersebut
- telah mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu yang cukup untuk mendapat lisensi (sukarela) dari pemegang paten atas dasar persyaratan dengan kondisi yang wajar tetapi tidak memperoleh hasil. Lisensi wajib akan diberikan jika paten tersebut dapat dilaksanakan dalam skala yang layak dan memberikan manfaat kepada sebagian besar masyarakat.
D.Cara Alih Tehnologi
Alih teknologi dari suatu negara kenegara lain, umumnya dari negara maju berkembang dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada macamnya bantuan teknologi yang dibutuhkan untuk suatu proyek. Teknologi dapat dipindahkan melalui cara sebagai berikut.
Alih teknologi dari suatu negara kenegara lain, umumnya dari negara maju berkembang dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada macamnya bantuan teknologi yang dibutuhkan untuk suatu proyek. Teknologi dapat dipindahkan melalui cara sebagai berikut.
1. Memperkerjakan tenaga-tenaga ahli aging perorangan. Dengan cara ini negara berkembang bisa dengan mudah mendapatkan teknologi, yang berupa teknik dan proses manufacturing yang tidak dipatenkan. Cara ini hanya cocok untuk industri kecil dan menengah.
2. Menyelenggarakan suplai dari mesin-mesin dan alat equipment lainnya. Suplai ini dapat dilakukan dengan kontrak tersendiri.
3. Perjanjian lisensi dalam teknologi sipemilik teknologi dapat memudahkan teknologi dengan memeberikan hak kepada setiap orang/badan untuk melaksanakan teknologi dengan suatu lisensi.
4. Expertisi dan bantuan, teknologi. Keahlian dan bantuan dapat berupa:
o Studi pre-investasi.
o Basic pre-ingeenering.
o Spesifikasi masin-mesin.
o Pemasangan dan menja1ankan mesin-mesin.
o Manajemen.
Kebijaksanaan pemerintah menerbitkan UU NO. 1/1967 tentang PMA merupakan langkah awal bagi Indonesia untuk melakukan kerjasama dengan pihak asing yang termasuk didalamnya pengalihan teknologi. Alih tehnologi pada kenyataannya harus dibeli dengan harga tinggi. Teknologi pada hakekatnya telah menjadi komoditi yang mahal dan langka karena banyak diminta keadaan tersebut makin tertampilkan karena alih teknologi PMA selalu dikaitkan dengan bidang yang menjadi otoritas IPR (Intelektual Property Right). IPR telah larut dalam tahap pemilihan teknologi yang digunakan, pada tahap produksi dan begitu pula pada saat produk dipasarkan. Bahkan disinyalir IPR telah menjadi komoditi dagang itu sendiri.
Kita dapat melihat bahwa alih teknologi bukan merupakan hal yang mudah dan murah tapi sesuatu yang mahal. Membutuhkan perhitungan yang matang dalam kerangka memajukan teknologi dalam era globalisasi. Indonesia dalam menghadapi era globalisasi mau tidak mau harus berani menerapkan perjanjian alih teknologi dalam kerangka menghindarkan ketertinggalan dengan negara lain pada era globalisasi. Penciptaan hukum perlu diciptakan kaedah hukum baru di Indonesia. Dalam penciptaan hukum tersebut terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan :
1. Masaalah yang bersifat teknis yuridis.
2. Masaalah substansi aturan hukum yang akan diciptakan.
3. Masaalah arah politik hukum nasional.
ad.1. Masalah teknis yuridis, menyangkut hal-hal yang berupa tata cara dalam pembentukan, pengundangan dan pemberlakuan aturan hukum.
ad.2. Masaalah substansi aturan hukum berfokus dan berpersoalan materi yang menjadi muatan aturan yang akan diciptakan.
ad.3. Pembentukan aturan hukum bersandar pada kebijaksanaan Nasional yang lazim dituangkan keberbagai peraturan perundangan peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi peringkatnya .
Globalisasi akan merupakan peluang bila mana kita siap dan dapat memanpaatkannya dengan baik serta berusaha mengatasi bahaya-bahayanya bagi kehidupan nasional. Sebaiknya akan menimbulkan musabab apabila kita tidak siap dengan global vision dan hanyut bersama sisi-sisi berbahaya bagi kehidupan nasional tersebut antara lain adalah saling ketergantungan antara bangsa semakin meningkat berlakunya standar-standar baku antara nasional diberbagai kehidupan kecenderungan melemahnya ikatan-ikatan etponosentrik dan ikatan-ikatan nasional, dominasi modal asing dan peran serta yang paling kuat, berkembangnya konsep kesejahteraan regional dan global serta perobahan sosial yang sangat cepat (pandangan lotge) untuk itu perlu diperhatikan pengembangan peraturan akhir teknologi dengan memperhatikan peringkat hukum nasional, regional dan internasional.
Penerapan peraturan,tersebut sangat penting artinya dalam usaha memajukan produksi negara berkembang yang akan di pasarkan kepasar regional dan global untuk itu maka Indonesia harus segera menerapkan ahli teknologi dalam bidang penerimaan modal asing, paten dan merek. Lisensi merupakan cara untuk ahli teknologi perjanjian lisensi merupakan perjanjian antara pemilik teknologi dengan negara berkembang dalam memproduksi suatu produk.
[1] Hermien Hediati Koeswadj., Kuliah Hukum dan Alih Teknologi (Transparantsheet), PPS Unair, Surabaya, Desember 2001
[2] Abdoel Gani , Kuliah Hukum dan Alih Teknologi (Transparantsheet),PPS Unair, September, 2001
[3] United Nation Centre on Transnational Corporations (UNCTC), Transnational Corporations in World Development, Third Survey, New York, 1983, (UNCTC I), h. 2.
[4] UNCTC, Transnational Corporations and Technology Transfer : Effects and Policy Issues, UN, New York, 1987 (UNCTC II), h.
[5] UNCTC I, Op. Cit.,h.. 2.
[6] Hermien Hadiati Koeswadji, Kuliah, Hukum dan Alih Teknologi, PPS Unair, Surabaya, September 2001
[7] Ibid
[8] Abdoel Gani , Kuliah Hukum dan Alih Teknologi (Transparantsheet),PPS Unair, September, 2001
[9] Abdoel Gani, loc.cit
[10] Ibid.
[11] Peter Mahmud Mz,
[12] Rudhi Prasetya, Kuliah Hukum Investasi, FH. Unair, September 2001
[13] Hermien Hediati Koeswadj., Kuliah Hukum dan Alih Teknologi (Transparantsheet), PPS Unair, Surabaya, Desember 2001
[14] Pasal 21 ayat (1) PP No.20 Tahun 2005 Tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual Serta Hasil Kegiatan Penelitian Dan Pengembangan Oleh Perguruan Tinggi Dan Lembaga Penelitian Dan Pengembangan
[15] Ita Gembiro, Pemindahan Teknologi dan Pengaturannya Dalam Peraturan Perundang Kompilasi Dalam Aspek-aspek Hukum Dari Pengaruh Teknologi, Menado, 1978, hal.1
[16] UU No.13/1997 Tentang Perubahan UU No.6/1982 Tentang Hak Cipta
[18] UNCTC I, Op. Cit.,h.. 2.
[20] UNCTC, Arrangement Between Joint Venture Partners in Developing Countries, UN, New York, 1987 (UNCTC III), Hal. 4
[21] Abdoel Gani, Loc.Cit.
[22] Henry Cambell Black, Black’s Law Dictionary , West Publicshing St. Blue Minn, 1990.
[23] Rahmi Jened, Perlindungan Hak Cipta Pasca Persetujuan TRIPs Yuridika, 2000 hal : 76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar