Kamis, 17 November 2011

FATWA ULAMA MENGADAKAN PERAYAAN HARI ULANG TAHUN ANAK

FATWA ULAMA
MENGADAKAN PERAYAAN HARI ULANG TAHUN ANAK

Ditanyakan kepada Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin tentang memperingati hari ulang tahun. Pertanyaannya adalah sebagai berikut. "Apakah mengadakan perayaan untuk memperingati hari ulang tahun anak dianggap sebagai bentuk menyerupai orang-orang Barat yang kafir, ataukah dianggap menghibur jiwa dan mendatangkan rasa bahagia dalam hati anak dan keluarganya?"

Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjawab sebagai berikut.

"Mengadakan perayaan untuk memperingati hari ulang tahun anak tidak terlepas dari dua hal. Bisa jadi hal itu sebagai ibadah, dan bisa jadi sebagai adat istiadat. Jika digolongkan sebagai ibadah, termasuk mengadakan bidah (perkara agama yang tidak ada contohnya) dalam agama. Nabi saw. telah melarang dari mengadakan perbuatan bidah, karena bidah termasuk dari kesesatan. Beliau saw. bersabda (yang artinya red.), "Hati-hatilah kalian dari mengadakan perkara-perkara yang baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap bidah adalah sesat, dan setiap kesesatan dalam api neraka." (HR Abu Dawud, Tirmizi, Ibnu Majah). Jika perayaan itu dianggap sebagai adat istiadat, ada dua larangan padanya. Pertama, menganggap suatu hari yang bukan hari raya sebagai hari raya, hal ini termasuk melancangi Allah dan Rasul-Nya, yaitu (jika kita mengadakan perayaan ulang tahun itu) kita telah menetapkan suatu hari perayaan dalam Islam yang Allah dan Rasul-Nya tidak menetapkannya.

Tatkala datang ke kota Madinah, Rasulullah saw. mendapati pada kaum Ansar ada dua hari perayaan. Mereka bermain-main pada dua hari raya itu, dan mereka menganggap dua hari raya itu sebagai hari perayaan. Lalu, Nabi saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mengganti bagi kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari raya Idulfitri dan hari raya Iduladha." (HR Nasai).

Adapun larangan kedua adalah perayaan hari ulang tahun itu menyerupai musuh-musuh Allah SWT, karena adat istiadat ini bukan termasuk adat istiadat kaum muslimin, tetapi adat istiadat yang diwarisi dari orang selain mereka. Dan, Nabi saw. telah bersabda, "Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan darinya." (HR Abu Dawud).

Kemudian, bertambahnya umur seseorang bukanlah suatu hal yang terpuji, melainkan dalam keridaan Allah dan ketaatan kepada-Nya. Maka, sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya, dan sejelek-jelek manusia adalah yang panjang umurnya dan jelek amal perbuatannya.

Oleh karena itu, sebagian ahli ilmu memakruhkan berdoa untuk tetap berumur panjang secara mutlah, dan mereka memakruhkan seseorang untuk mengatakan, "Semoga Allah mengekalkanmu." Juga, dalam bentuk tidak secara mutlak, seperti seseorang yang berkata, "Semoga Allah mengekalkanmu dalam kebaikan," atau yang serupa dengan kalimat itu.

Yang demikian itu dikarenakan terkadang umur panjang adalah suatu hal yang buruk bagi seseorang, karena panjang umur disertai dengan amal yang jelek (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu) adalah jelek bagi manusia, dan menambah azabnya dan kerugian baginya. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui." (Al-A'raf: 183).

"Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan." (Ali Imran: 178).

Sumber: Majalah Info Al-Irsyad Edisi 79, Tahun Ke-8, April 2005, Menukil dari Fatawa Manarul Islam, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar