BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia bisnis telah memasuki masa kebebasan dan keterbukaan di akhir abad ke-20. Tidak ada lagi jarak atau halangan yang selama ini membatasi semua aktivitas bisnis, khususnya aktivitas antar-daerah dan antar-negara. Perubahan signifikan dalam lingkungan bisnis seperti globalisasi, deregulasi, kemajuan teknologi serta fragmentasi pasar telah menciptakan persaingan yang sangat ketat (fierce competition). Respon perusahaan-perusahaan terhadap meningkatnya persaingan sangat beragam. Sebagian perusahaan memilih untuk memfokuskan sumber daya ekonomi yang dimiliki pada segmen tertentu yang lebih kecil, sebagian tetap bertahan dengan strategi usaha yang dilakukan sebelumnya dan sebagian menggabungkan diri dengan perusahaan lainnya menjadi satu perusahaan yang lebih besar di dalam pasar. Strategi yang dipilih terakhir ini merupakan bagian upaya restrukturisasi untuk menciptakan sinergi[1].Restrukturisasi usaha seperti penggabungan/merger,dan akuisisi merupakan pilihan-pilihan strategi restrukturisasi kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh suatu Perseroan Terbatas.
Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) adalah pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT lama) yang merupakan tonggak sejarah tentang hukum merger. Walaupun sebelumnya pengaturan tentang penggabungan perusahaan merger sudah ada, namun hal tersebut masih bersifat sektoral dan level pengaturannya pun masih di bawah tingkat undang-undang. Sejarah hukum tentang merger dari perusahaan-perusahaan di Indonesia dibagidalam dua periode sebagai berikut:
1. Periode Pra UUPT
Sejarah hukum di Indonesia masih terbilang baru. Dalam tingkat undang-undang, pengaturan tentang merger di Indonesia baru dimulai sejak berlakunya undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT lama) Tantang Perseroan, namun demikian tidak berarti bahwa sebelum adanya undang-undang tersebut merger tidak dilakukan di Indonesia karena dalam kenyataannya praktek merger di Indonesia sudah dimulai sejak lama.
2. Periode Pasca UUPT
UUPT mengatur tentang merger lebih komprehensif di banding Undang-undang No.1tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT lama).
Salah satu andalan dari undang-undang Perseroan terbatas yang tidak dimiliki oleh pasal-pasal tentang perseroan terbatas dalam KUHD adalah diaturnya mengenai penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) dan pengambilalihan perusahaan (akuisisi).
Penggabungan dua buah atau lebih perusahaan menjadi satu, sering kali menimbulkan
berbagai titik kelemahan apabila salah satu pihak yang bergabung atau lebih berada pada posisi yang tidak seimbang sehingga perlu diberikan perlindungan hukum.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGGABUNGAN PERUSAHAAN (MERGER)
A. Pengertian Merger
Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia memberikan pengertian atau definisi merger dengan rumusan kalimat yang hamper seragam. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) menggunakan istilah “Penggabungan” sebagai pengganti terminologi “Merger”. UUPT memberikan pengertian penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih Karen ahukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Pengertian penggabungan tersebut kemudian secara khusus dalam disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tanggal 24 Pebruari 1998 mengenai Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas, yang bunyi lengkapnya dikutip sebagai berikut:
“Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar.”[2]
Merger berasal dari kata “merger”, “fusion”, atau “absorption”, yang berarti “menggabungkan”.Merger yang berasal dari akar kata kerja ‘to merge’, secara luas dipahami sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada, yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri tersebut beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum[3]. Sedangkan akuisisi saham atau “shares acquisition” yang berarti “mengambilalih” adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut[4].
Meskipun berbeda dari segi prosesnya, namun tindakan merger dan akuisisi Perseroan Terbatas pada intinya tidak berbeda yaitu tindakan dua atau lebih perusahaan untuk merestrukturisasi perusahaan. Oleh karena itu dipakai istilah merger dan akusisi untuk mengacu pada semua pengertian tersebut.
Merger diharapkan dapat memberikan kontribusi positif berupa efisiensi dan peningkatanproduktifitas bagi perusahaan yang melaksanakannya, bahkan dapat menjadi jalan keluar dari berbagai permasalahan yang dihadapi perusahaan, seperti untuk mengatasi kesulitan keuangan atau bahkan sudah terancam bangkrut (failing firm reasoning). Perusahaan dapat lebih efisien dengan merger karena merger dapat lebih meningkatkan utilisasi kapasitas berlebih (idle capacity), menekan biaya transportasi, mengganti manajer yang berkinerja buruk dengan manager yang lebih baik dan tidak tersedia secara internal[5].
Khusus bagi perseroan terbatas yang bergerak dalam lapangan usaha perbankan, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank, istilah yang digunakan adalah merger, dengan pengertian sebagai berikut:
“Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya tanpa
melikuidasi terlebih dahulu”[6].
Penggabungan pasar modal sendiri memakai istilah penggabungan usaha, dimana peraturan tentang penggabungan usaha atau peleburan usaha perusahaan public atau emiten yang termaktub dalam keputusan Bapepam Nomor Kep-52/PM/1997 tanggal 26 Desember 1997 memberikan pengertian penggabungan sebagai berikut:
“Penggabungan usaha adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri denga perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar”.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan tentang elemen/unsur dalam merger:
1. Adanya perbuatan hukum;
2. Adanya dua perseroan atau lebih;
3. Adanya tujuan yang sama, yaitu salah satu perseroan akan menggabungkan diri kedalam perseroan yang menerima penggabungan; dan
4. Adanya keputusan yang sama, yaitu perseroan yang menggabungkan diri akan bubar.
B. Dasar Hukum Merger Yang Utama
Setiap tindakan yang dilakukan di Negara hukum haruslah mempunyai dasar hukumnya. Apalagi tindakan hukum berupa merger perusahaan yang begitu penting kedudukannya dalam bidang hukum perusahaan tersebut. Secara yuridis, yang merupakan dasar hukum bagi tindakan merger tersebut adalah sebagai berikut:[7]
1. Dasar Hukum Utama (UUPT dan PP);
2. Dasar Hukum Kontraktual;
3. Dasar Hukum Status Perusahaan (Pasar Modal, PMA, BUMN);
4. Dasar Hukum Konsekuensi Merger;
5. Dasar Hukum Pembidangan Usaha.
Yang menjadi dasar hukum utama bagi suatu merger perusahaan adalah UUPT dan Peraturan pelaksanaannya. UUPT tersebut mengatur tentang merger, akuisisi dan konsolidasi mulai dari Pasal 26, 62, 122, 123, 126, 127, 128, 129, 132, 133 dan 152. Sebagaimana diketahui bahwa UUPT menggunakan istilah “Penggabungan” untuk merger, “Pengambilalihan” untuk akuisisi, dan “Peleburan” untuk konsolidasi. Disamping UUPT, pada tanggal 24 Februari 1998 telah pula diterbitkan PP No. 27 Tahun 1998 yang mengejawantahkan ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT lama) Tentang Pereseroan (UUPT lama).
Syarat-syarat merger, akuisisi dan konsolodasi dari perusahaan menurut PP no. 27, tersebut terdapat dalam Pasal 4 yang berbunyi:
(1) penggabungan, peleburan dan pengambilalihan hanya dapat dilakukan degan memperhatikan:
a. kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, dan karyawan perseroan yang bersangkutan;
b. kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha;
(2) Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan tidak mengurangi hak pemegang saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga saham yang wajar;
(3) Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan rapat umum pemegang saham mengenai penggabungan, peleburan dan pengambilalihan hanya dapat menggunakan haknya agar saham yang dimiliknya dibeli dengan harga yang wajar sesuai dengan ketentuan Pasal 62 UUPT.
(4) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak menghentikan proses pelaksanaan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan.
Selanjutnya dalam Pasal 6 dinyatakan:
(1) Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan rapat umum pemegang saham;
(2) Penggabungan peleburan dan pengambilalihan dilakukan berdasarkan keputusan rapat umum pemegang saham yang dihadiri oleh ¾ bagian dari jumlah seluruh saham dengan hal suara yang sah dan disetujui oleh paling sedikit ¾ bagian dari jumlah suara tersebut;
(3) Bagi Perseroan Terbuka, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka syarat kehadiran dan pengambil keputusan ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Sedangkan Menurut Pasal 26 UUPT perubahan anggaran dasar yang dilakukan dalam rangka Penggabungan atau Pengambilalihan berlaku sejak:
1. persetujuan Menteri
2. kemudian yang ditetapkan dalam persetujuan Menteri, atau
3. pemberitahuan perubahan anggaran dasar diterima Menteri, atau tanggal kemudian yang ditetapkan dalam akta Penggabungan atau akta Pengambilalihan
menurut UUPT, Direksi Perseroan yang berencana untuk menggabungkan diri dan
meneriman Penggabungan harus menyusun rancangan penggabungan sesuai dengan
Pasal 123 ayat (2) UUPT yang memuat sekurang-kurangnya:
a. nama dan tempat kedudukan dari setiap Perseroan yang akan melakukan penggabungan;
b. alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan dan persyaratan penggabungan;
c. tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan yang menggabungkan diri terhadap sahan Perseroan yang menerima Penggabungan;
d. rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan yang menerima penggabungan apabila;
e. laporan keuangan ssebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf (a) yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan
f. rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
g. neraca proforma Perseroan yang menerima Penggabungan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
h. cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan diri;
i. cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap pihak ketiga;
j. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Penggabungan Perseroan;
k. nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan yang menerima Penggabungan;
l. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan;
m. laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
n. kegiatan utama setiap Perseroan yang melakukan Penggabungan dan perubahan yang terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; dan
o. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan.
Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris dari setiap Perseroan diajukan kepada RUPS masing-masing untuk mendapat persetujuan.
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK LEMAH
DALAM PENGGABUNGAN (MERGER)
A. Perlindungan Secara Struktural
Dalam hal ini dimaksudkan bahwa kedudukan pihak tersebut dalam struktur pembagian wewenang dari suatu perusahaan sangat lemah dibandingkan dengan kedudukan pihak lainnya[8].
Sebagai contoh menurut sistem hukum positif kita, dari segi Corporate law, kedudukan para pekerja di perusahaan lebih lemah dari kedudukan pihak lain seperti pemegang saham, direktur atau komisaris. Para pekerja tidak dilibatkan dalam penentuan policy maupun operasional perusahaan. Para pekerja dalam perusahaan yang akan merger merupakan salah satu pihak yang mesti sangat diperhatikan dan dipertimbangkan sebelum merger dilakukan. Beberapa hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan para pekerja ini dalam hubungan dengan merger adalah sebagai berikut:
1. Prinsip-prinsip umum mengenai kebijaksanaan kesejahteraan social yang akan diterapkan setelah merger;
2. Waktu yang pantas untuk berkonsultasi dengan organisasi pekerja;
3. Cara dan saat untuk menginformasikan merger kepada pekerja;
4. cara-cara untuk mencegah atau setidak-tidaknya mengelominir kemungkinan meteriil kepada pihak pekerja, termasuk memberikan kompensasi yang bersifat materiil;
5. Aktifitas khusus dari organisasi pekerja dalam perusahaan’
6. Suatu garansi terhadap keamanan dan ketersediaan pekerjaan setelah merger.
Dalam kasus merger dan akuisisi, seringkali dengan alasan peningkatan efisiensi
dan perampingan usaha, setelah merger dan akuisis sebagian pekerja diputuskan untuk di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Pihak pekerja menurut system hukum kita hamper-hampir tidak mempunyai uapaya hukum apapun untuk meolak PHK tersebut. Karena itu, alasan PHK tersebut dilaksanakan sesuai denan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka PHK tersebut sudah sah. Sungguhpun UUPT mensyaratkan perlindungan terhadap pihak karyawan perusahaan, disamping perlindungan pihak-pihak lainnya, dalam hal terjadinya merger, akuisisi dan konsolidasi.
Untuk hal tersebut, Pasal 126 UUPT selanjutnya berbunyi:
(1) Perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib memperhatikan kepentingan:
a. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
b. kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
c. masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
(2) Pemegang saham yang tidak setuju terhadap keputusan RUPS mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh menggunakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62.
(3) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghentikan proses pelaksanaan Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.
B. Perlindungan Secara Finansial
Ada juga pihak tertentu yang sebenarnya dalam struktur keduudkannya kuat secara yuridis, misalnya para pemegang saham. Tetapi karena ikatan financial yang lemah antara yang bersangkutan dengan perusahaan, misalnya karena sahamnya minoritas, maka konsekuensinya posisi yang bersangkutan juga akhirnya menjadi lemah. Dalam hal ini kembali sektor hukum dimintakan perannya untuk menjaga keadilan dan sebandingan hukum dengan memberi perlindungan kepada pemegang saham minoritas sampai batas tertentu. Perlindungan terhadap pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas sangat penting terhadap hukum merger, disamping perlindungan pihak-pihak lainnya seperti pihak karyawa perusahaan.
Sitem pengaturan Undang-Undang No. 4 Tahun 1971, yang mengubah ketentuan Pasal 54 KUHD, memberlakukan prinsip one share one vote, suatu prinsip yang menetapkan pihak pemegang saham minoritas sebagai pihak yang rawan eksploitasi. Hanya dalam hal-hal tertentu saja, yakni dalam hal-hal yang termasuk ke dalam dangerous area, diberikan perhatian khusus oleh hukum untuk melindungi pihak pemegang saham minoritas. Perlindungan pemegangs saham minoritas dalam hal ini dilakukan denan memperkenalkan prinsip special vote, yang operasionalisasinya minimal dilakukan dengan dua cara sebagai berikut:
(1) Prinsip Silent Majority
Dalam hal ini pemegang saham mayoritas diwajibkan absatain dalam voting. Salah satu sistem dari prinsip silent majority adalah system pemilihan berlapis, yang diperkenalkan oleh Keputusan Ketuan Bapepam No. Kep-01/PM/1993, tanggal 29 Januari 1993, yang telah diganti dengan Peraturan Bapepam No.04/PM/1994, tanggal 7 Januari 1994.
Prinsip pemilihan berlapis ini dioperasionalisasikan dengan cara pelaksanaan dua kali voting. Pada voting pertama hanya pemegang saham tidak berbenturan kepentingan pemegang saham minoritas yang boleh melakukan voting, sementara pemegang saham yang berbenturan kepentingan/pemegang saham minoritas menerima usulan yang bersangkutan, yaitu usulan untuk melakukan transaksi yang berbenturan kepentingan. Contoh dari transaksi yang berbenturan kepentingan adalah apa yang popular dengan istilah akuisisi internal.
(2) Prinsip Super Majority
Dalam hal ini voting dilakukan dalam RUPS mensyaratkan lebih dari sekedar simple majority (51%) untuk dapat memenagkan voting. Keputusan dari rapat tidak dapat diambil jika suara yang setuju kurang dari jumlah presentase tersebut. Dalam praktek, anggaran dasar Perseroan Terbatas yang standar pada umumnya memberlakukan prinsip super majority dalam hal-hal tertentu yang mungkin menjadi krusial bagi seluruh pemegang saham, termasuk minoritas.
UUPT memberlakukan prinsip super majority, baik terhadap hal-hal yang ditentukan sendiri dalam anggaran dasar perseroan, ataupun terhadap kegiatan-kegiatan yang ditentukan sendiri oleh undang-undnag, misalnya jika perseroan melakukan perubahan anggaran dasar, merger, akuisisi, konsolidasi, kepailitan, likuidasi atau pembelian kembali saham.
C. Perlindungan Secara Lokalisasi
Ada juga para pihak yang tersangkut dengan perusahaan tetapi mempunyai kedudukan yang lemah secara lokalisasi. Maksudnya, pihak tersebut berada jauh dari perusahaan atau bahkan orang luar perusahaan itu sendiri, tetapi mempunyai hubungan dengan perusahaan. Hubungan tersebut dapat berupa:
(1) Hubungan Kontraktual, yaitu antara kreditur dengan perusahaan yang bersangkutan;
(2) Hubungan non kontraktual, misalnya dengan si tersaing secara tidak fair.
Jadi kreditur merupakan salah satu dangerous party yang harus selalu diwaspadai jika suatu perusahaan melakukan merger atau akuisisi. Akan lebih aman bagi bagi kreditur dari suatu perusahaan publik, mengingat adanya kewajiban melaporkan kepada Bapepam dam mengumumkan kepada publik terhadap transaksi-transaksi spesial seperti merger dan akuisisi ini.
Krusialnya kedudukan pihak kreditur, karena dengan merger dan akuisisi antara lain dapat terjadi dua hal sebagai berikut:
(1) Peralihan Aset
Jika terjadi peralihan asset perushaaan yang melakukan merger, yang dalam hal mempunyai kedudukan sebagai debitur, maka hutangnya kepada kreditur dapat menjadi hutang tanpa dukungan asset yang merupakan jaminan pelunasan hutang.
(2) Non Eksistensi Legal Entity
Jika eksistensi dari debitur justru bubar setelah melakukan merger, lalu siapa yang harus bertanggung jawab terhadap hutang-hutangnya kepada kreditur?
Dalam hal peralihan asset karena merger dan akuisisi, upaya hukum bagi kreditur hanya terhadap special case saja. Upaya hukum tersebut dapat berupa:
(a) Actio Paulina
Jika debitur melakukan pengalihan asset untuk mengelak pembayaran hutang-hutangnya, maka jika terpenuhi syarat-syarat tertentu seperti tersebut dalam Pasal 1341 KUHPerdata, pengalihan asset tersebut dapat dibatalkan lewat konstruksi hukum yang popular dengan sebutan Actio Paulina, karena dengan merger ada asset perusahaan yang beralih. Sedangkan dengan transaksi akuisisi, saham yang dialihkan tersebut merupakan asetnya pihak pemegang saham, karena itu action paulinan dapat diberlakukan
(b) Negative Convenant
Jika ada negative covenant dalam perjanjian kredit yang melarang atau harus minta izin kreditur jika asset ingin dialihkan. Dalam hal inipun, jika dilanggar oleh debitur, hanya menyebabkan debitur default terhadap perjanjian kredit yang bersangkutan. Jadi tidak sampai batalnya transaksi pengalihan asset, yang kemungkinan telah sah dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga.
D. Penerapan Appraisal Rights
Apabila ada pihak pemegang saham yang tidak setuju dengan merger, padahal RUPS dengan suara mayoritas tertentu telah memutuskan untuk merger, padahal RUPS dengan suara mayoritas tertentu telah memutuskan untuk merger, maka kepada pihakyang kalah suara ini oleh hukum diberikan suatu hak khusus yang disebut appraisal rights.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar