Jumat, 15 Februari 2013

Hukum Zakat dan UU Zakat



Catatan Sekitar UU.No.23 Thn 2011 tentang pengelolaa zakat

A. Pengertian
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun ketiga dari rukun Islam, sehingga keberadaannya dianggap sebagai (ma’luum minad-diin bidh-dharuurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari Islaman seseorang).
Dalam pasal 1 ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dijelaskan
Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam1
Di dalam al Qur’an terdapat 27 ayat yang menyejajarkan kewajiban shalat berfungsinya zakat sebagai instrument pemerataan dan belum terkumpulnya zakat secara optimal di lembaga pengumpul zakat, karena pengetahuan masyarakat terhadap harta yang wajib dikeluarkan zakatnya masih terbatas.
Berdasarkan hasil survey PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) mengatakan potensi dana zakat di Indonesia yang populasinya sekitar 87 persen muslim, sangat besar hingga mencapai 9,09 triliun rupiah pada tahun 2007. Potensi ini meningkat 4,67 triliun dibandingkan tahun 2004 yang potensinya hanya sebesar 4,45 triliun. Berbeda dengan PIRAC, Alfath mengatakan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp. 20 Triliun per tahun. Namun dari jumlah itu, yang tergali baru Rp. 500 milyar per tahun (berdasarkan asumsi tahun 2006[1]
Zakat mengandung beberapa arti seperti membersihkan, bertumbuh dan berkah. Digunakan kata “zaka” dengan arti membersihkan itu, untuk ibadah pokok rukun Islam dan hikmahnya untuk mebersihkan jiwa dan harta orang yang berzakat. Dalam terminologi hukum (Syara’) zakat diartikan “ pemberian tertentu dari harta tertentu kepada orang tertentu menurut syarat-syarat yang ditentukan”[2]
Hukum zakat adalah wajib ‘aini dalam arti kewajiban yang ditetapkan untuk diri pribadi dan tidak mungkin dibebankan kepada orang lain, walaupun dalam pelaksanaannya dapat diwakilkan kepada orang lain.
Tujuan disyariatkan zakat diantaranya adalah untuk jangan harta itu hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Rukun zakat yaitu orang yang berzakat, harta yang dizakatkan dan orang yang menerima zakat. Syarat harta yang dizakatkan adalah harta yang baik, milik yang sempurna dari yang berzakat, berjumlah satu nisab atau lebih dan telah tersimpan selama satu tahun qamariyah atau haul.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Penunaian zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam. Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan.
Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat.
Selama ini pengelolaan zakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti. Pengelolaan zakat yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi kegiatan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan.
Dalam upaya mencapai tujuan pengelolaan zakat, dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang berkedudukan di ibu kota negara, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota. BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. LAZ wajib melaporkan secara berkala kepada BAZNAS atas pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit syariat dan keuangan.
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam. Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan oleh pemberi dan harus dilakukan pencatatan dalam pembukuan tersendiri.
Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak Amil. Sedangkan BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil, serta juga dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Perbedaan antara UU No.38 Thn 1999 dengan UU No.23 Thn 2011
Perbedaan cukup mendasar antara UU Nomor 38 Tahun 1999 dan UU Nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat :
1. Pada pasal 6 ayat 1 UU Nomor 38 tahun 1999 dijelaskan bahwa Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah. Kemudian dalam pasal 6 ayat 2 huruf ( c ) dijelaskan bahwa di daerah dapat dibentuk Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten (BAZDA). Namun, dalam pasal 15 ayat 3 UU Nomor 23 Tahun 2011 tidak dikenal lagi dengan BAZDA, namun disebutkan adalah BAZNAS Kabupaten. Jadi ada perubahan penyebutan, artinya mesti ada perubahan nama dari BAZDA Kabupaten menjadi BAZNAS Kabupaten.
2. Mengenai masalah pembentukan juga terdapat perbedaan. Dalam pasal 6 ayat 1 UU Nomor 38 Tahun 1999 dijelaskan bahwa pembentukan BAZDA Kabupaten adalah oleh Bupati atau Walikota atas usul Departemen Agama Kabupaten atau Kota. Namun dalam pasal 15 ayat 3 UU Nomor 23 Tahun 2011 dijelaskan bahwa BAZNAS Kabupaten dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul Bupati/Walikota setelah mendapat pertimbangan ke BAZNAS. Artinya UU Nomor 23 Tahun 2011menjelaskan bahwa pembentukan BAZNAS Kabupaten dan Kota mesti dibentuk oleh Menteri atas usul Bupati dan Walikota. Kalau dalam UU Nomor 38 Tahun 1999 dijelaskan bahwa BAZDA Kabupaten dan Kota dibentuk oleh Bupati dan Walikota. Artinya pengelolaan zakat ada peningkatan dalam UU Nomor 23 Tahun 2011, karena mesti dibentuk oleh Menteri.
3. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 tidak dikenal lagi Badan Amil Zakat (BAZ) Kecamatan, padahal dalam pasal 6 ayat 2 huruf ( c ) UU Nomor 38 Tahun 1999 dikenal Badan Amil Zakat Kecamatan.

Kemudin jika terjadi sengketa masalah zakat, maka menurut pasal 49 huruf ( f ) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, maka mesti diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan Agama.





[1]Lihat di http://www.elzawa-uinmaliki.org/zakat-profesi-menurut-fatwa-ulama-kontemporer/, terakhir diakses 30 Agustus 2012 jam 15.00 WIB.
[2]Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta : Prenada Media : 2003, hal : 37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar