Catatan Sekitar
UU.No.23 Thn 2011 tentang pengelolaa zakat
A. Pengertian
Zakat adalah
ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi yang sangat penting,
strategis dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi
pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk
salah satu rukun ketiga dari rukun Islam, sehingga keberadaannya dianggap
sebagai (ma’luum minad-diin bidh-dharuurah atau diketahui secara otomatis
adanya dan merupakan bagian mutlak dari Islaman seseorang).
Dalam pasal
1 ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dijelaskan
“ Zakat adalah
harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk
diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam” 1
Di dalam al
Qur’an terdapat 27 ayat yang menyejajarkan kewajiban shalat berfungsinya zakat
sebagai instrument pemerataan dan belum terkumpulnya zakat secara optimal di
lembaga pengumpul zakat, karena pengetahuan masyarakat terhadap harta yang
wajib dikeluarkan zakatnya masih terbatas.
Berdasarkan hasil survey PIRAC
(Public Interest Research and Advocacy Center) mengatakan potensi dana zakat di
Indonesia yang populasinya sekitar 87 persen muslim, sangat besar hingga
mencapai 9,09 triliun rupiah pada tahun 2007. Potensi ini meningkat 4,67
triliun dibandingkan tahun 2004 yang potensinya hanya sebesar 4,45 triliun.
Berbeda dengan PIRAC, Alfath mengatakan bahwa potensi zakat di Indonesia
mencapai Rp. 20 Triliun per tahun. Namun dari jumlah itu, yang tergali baru Rp.
500 milyar per tahun (berdasarkan asumsi tahun 2006[1]
Zakat
mengandung beberapa arti seperti membersihkan, bertumbuh dan berkah. Digunakan
kata “zaka” dengan arti membersihkan itu, untuk ibadah pokok rukun Islam dan
hikmahnya untuk mebersihkan jiwa dan harta orang yang berzakat. Dalam
terminologi hukum (Syara’) zakat diartikan “ pemberian tertentu dari harta
tertentu kepada orang tertentu menurut syarat-syarat yang ditentukan”[2]
Hukum zakat
adalah wajib ‘aini dalam arti kewajiban yang ditetapkan untuk diri pribadi dan
tidak mungkin dibebankan kepada orang lain, walaupun dalam pelaksanaannya dapat
diwakilkan kepada orang lain.
Tujuan
disyariatkan zakat diantaranya adalah untuk jangan harta itu hanya beredar di
kalangan orang-orang kaya saja. Rukun zakat yaitu orang yang berzakat, harta
yang dizakatkan dan orang yang menerima zakat. Syarat harta yang dizakatkan
adalah harta yang baik, milik yang sempurna dari yang berzakat, berjumlah satu
nisab atau lebih dan telah tersimpan selama satu tahun qamariyah atau haul.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu. Penunaian zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai
dengan syariat Islam. Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk
meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan.
Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola
secara melembaga sesuai dengan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan,
kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat.
Selama
ini pengelolaan zakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan
hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti. Pengelolaan zakat yang diatur
dalam Undang-Undang ini meliputi kegiatan perencanaan, pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan.
Dalam upaya mencapai tujuan pengelolaan zakat, dibentuk Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS) yang berkedudukan di ibu kota negara, BAZNAS provinsi, dan
BAZNAS kabupaten/kota. BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang
bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. BAZNAS
merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara
nasional.
Untuk
membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri. LAZ wajib melaporkan secara berkala kepada BAZNAS atas pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit
syariat dan keuangan.
Zakat
wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam.
Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan
prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Zakat dapat didayagunakan untuk
usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas
umat apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
Selain
menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana
sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan
dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan
dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan oleh pemberi dan harus
dilakukan pencatatan dalam pembukuan tersendiri.
Untuk
melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan Hak Amil. Sedangkan BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota
dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil, serta juga
dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Perbedaan
antara UU No.38 Thn 1999 dengan UU No.23 Thn 2011
Perbedaan cukup mendasar antara UU Nomor 38 Tahun 1999 dan UU Nomor 23 tahun
2011 tentang pengelolaan zakat :
1. Pada pasal 6 ayat 1 UU Nomor 38 tahun 1999
dijelaskan bahwa Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang
dibentuk oleh pemerintah. Kemudian dalam pasal 6
ayat 2 huruf ( c ) dijelaskan bahwa di daerah dapat dibentuk Badan Amil Zakat
Daerah Kabupaten (BAZDA). Namun, dalam pasal 15 ayat 3 UU Nomor 23 Tahun 2011
tidak dikenal lagi dengan BAZDA, namun disebutkan adalah BAZNAS Kabupaten. Jadi
ada perubahan penyebutan, artinya mesti ada perubahan nama dari BAZDA Kabupaten
menjadi BAZNAS Kabupaten.
2. Mengenai masalah pembentukan juga terdapat perbedaan. Dalam pasal 6 ayat
1 UU Nomor 38 Tahun 1999 dijelaskan bahwa pembentukan BAZDA Kabupaten adalah
oleh Bupati atau Walikota atas usul Departemen Agama Kabupaten atau Kota. Namun
dalam pasal 15 ayat 3 UU Nomor 23 Tahun 2011 dijelaskan bahwa BAZNAS Kabupaten
dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul Bupati/Walikota
setelah mendapat pertimbangan ke BAZNAS. Artinya UU Nomor 23 Tahun
2011menjelaskan bahwa pembentukan BAZNAS Kabupaten dan Kota mesti dibentuk oleh
Menteri atas usul Bupati dan Walikota. Kalau dalam UU Nomor 38 Tahun 1999
dijelaskan bahwa BAZDA Kabupaten dan Kota dibentuk oleh Bupati dan Walikota.
Artinya pengelolaan zakat ada peningkatan dalam UU Nomor 23 Tahun 2011, karena
mesti dibentuk oleh Menteri.
3. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 tidak dikenal lagi Badan Amil Zakat (BAZ)
Kecamatan, padahal dalam pasal 6 ayat 2 huruf ( c ) UU Nomor 38 Tahun 1999
dikenal Badan Amil Zakat Kecamatan.
Kemudin jika terjadi
sengketa masalah zakat, maka menurut pasal 49 huruf ( f ) Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, maka mesti diselesaikan dan diputus oleh
Pengadilan Agama.
[1]Lihat
di http://www.elzawa-uinmaliki.org/zakat-profesi-menurut-fatwa-ulama-kontemporer/,
terakhir diakses 30 Agustus 2012 jam 15.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar