Selasa, 15 Maret 2022

Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam

 

A.    Pengertian Perkawinan, Agama dan Perkawinan Beda Agama

Di dalam Undang-Undang no 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun pengertian Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Sedangkan pengertian Perkawinan beda agama adalah perkawinan antara pria dan wanita yang keduanya memiliki perbedaan agama atau kepercayaan satu sama lain. Perkawinan beda agama bisa terjadi antar sesama Warga Negara Indonesia (WNI) yaitu pria WNI dan wanita WNI yang keduanya memiliki perbedaan agama/ kepercayaan juga bisa antar beda kewarganegaraan yaitu pria dan wanita yang salah satunya berkewarganegaraan asing dan juga salah satunya memiliki perbedaan agama atau kepercayaan.

 

B.     Pandangan Beberapa Agama Terhadap Perkawinan Beda Agama

1.      Agama Islam

Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi :

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ

Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran”.  (Al-Baqarah :221)

Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.

2.      Agama Kristen Protestan

Pada prinsipnya perkawinan beda agama menurut agama Kristen protestan juga sangat tidak dibolehkan dan menghendaki agar penganut agama Kristen protestan untuk tetap menikah dengan pasangan yang seagama. Karena bagi Kristen, tujuan dari perkawinan adalah untuk mencapai kebahagiaan antara suami, isteri dan anak- anak dalam lingkup rumah tangga yang abadi dan kekal. Untuk itu, apabila mereka yang menikah dengan berlainan agama maka rumah tangga mereka akan sulit untuk mencapai kebahagiaan. Hal tersebut terdapat juga di dalam Alkitab yang tercantum dalam 2 Korintus pasal. (6) ayatnya ke -14 yang berbunyi: “ janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap ?”.

Pada prinsipnya Kristen protestan  mengajarkan umatnya untuk saling menyayangi dengan cinta kasih dan mengajarkan untuk menjaga kekudusan Allah dengan tidak kawin dengan berbeda agama melainkan kawin dengan seagama, walaupun demikian dalam Alkitab juga tidak menghalangi adanya perkawinan beda agama disebabkan karena ada beberapa kisah para tokoh besar yang juga melangsungkan perkawinan beda agama, misalnya : Yusuf, Musa, Esau, Simeon dan Yehuda. Yaitu yang terdapat dalam Alkitab, pada Kejadian 38:1- 2 (Yehuda menikah dengan Syua, wanita Kanaan), Kejadian 46: 10 (Simeon juga menikah dengan wanita Kanaan), Kejadian 41:45 (Yusuf denganAsnat, anak.Potijera, imam di On-Mesir), Kejadian 26:34 (Esau dengan Yudit, anak Becri orang HeI). Bilangan 12:1 (Musa - sang pemimpin Israel menikah dengan seorang perempuan Kusy).[1]

3.      Agama Katolik

Pada prinsipnya perkawinan beda agama menurut katholik tidak dapat dilakukan. dikarenakan agama Katholik memandang perkawinan sebagai sakramen. Dan Sakramen adalah suatu kesepakatan antara manusia dengan Tuhan Allah. Sehingga dengan menerima Sakramen, seseorang berjanji untuk hidup setia kepada Yesus Kristus.

Pernikahan beda agama merujuk ke kanon 1086 § 1, yang dimaksud adalah pernikahan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya dan yang lain tidak dibaptis. Yang dimaksud orang yang tidak dibaptis berarti orang yang beragama selain Kristen/Katolik, termasuk mereka yang mengikuti aliran kepercayaan dan juga yang menyatakan diri tidak beragama. Pada dasarnya, pernikahan ini dilarang, meski, sesuai kanon 1086 §2, dimungkinkan adanya dispensasi, setelah memenuhi beberapa persyaratan. Menurut kanon 1059  “Perkawinan orang-orang katolik, meskipun hanya satu pihak yang Katolik, diatur tidak hanya oleh hukum ilahi, melainkan juga oleh hukum Kanonik, dengan tetap berlaku kewenangan kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang sifatnya semata-mata sipil dari perkawinan itu.”[2]

Maka dari itu, untuk sahnya perkawinan dengan orang yang beda iman yaitu Katholik dengan non-Katholik, perlu ijin atau dispensasi beda agama dari uskup, dan yang bersangkutan harus menerima azas perkawinan Kristen Katholik yakni monogami yaitu tidak adanya pasangan lain dan tidak cerai serta proses pemberkatannya harus di gereja katolik, tanpa yang non-Katholik harus menjadi katolik akan tetapi pihak non-Katholik harus bersedia mengizinkan anaknya dibaptis Katholik. Serta mengerti atau paham akan dua hal yang sangat sakral bagi Katholik yaitu Cinta dan Perkawinan. Cinta yaitu saling mencintai satu sama lain dalam keadaan apapun itu dan Perkawinan yaitu mengandung asaz monogami atau sekali seumur hidup. Dengan demikian, perkawinan beda agama menurut Katholik boleh diberkati dan dianggap sah.[3]

4.      Agama Hindu

Menurut Hukum Hindu, perkawinan (wiwaha) adalah ikatan antara  seorang pria dan wanita sebagai suami isteri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orangtuanya dari neraka, yang dilangsungkan dengan upacara ritual menurut agama Hindu Weda Smrti. Jika perkawinan tidak dilangsungkan dengan upacara menurut Hukum Hindu maka perkawinan itu tidak sah (perhatikan G. Pudja, 1974:9).

Pada agama Hindu, perkawinan beda agama tidak dibolehkan. Sesuai dengan Kitab Manawa Dharmasastra, Buku ke-III (Tritiyo ‘dhyayah) pasal 27 menyatakan bahwa suatu perkawinan Hindu itu, pertamanya harus dirias dan setelah itu menghormati orangtua dihadapan ahli weda yang berbudi Bahasa baik.

5.      Agama Budha

Menurut hukum Perkawinan Agama Budha keputusan Sangha Agung tanggal 1 Januari 1977 pasal (1) dikatakan : Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai suami, dan seorang wanita sebagai isteri yang berlskan Cinta Kasih (Metta), Kasih sayang (Karuna) dan Rasa Sepenanggungan (Mudita) dengan tujuan untuk membentuk satu keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkahi oleh Sanghyang Adi Budha/ Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan para Bodhisatwa-Mahasatwa.

Bagi Umat Budha, perkawinan beda agama tidaklah menjadi masalah. Asalkan yang non-Budha mau mengikuti adat perkawinan budha tanpa menganut agama Budha. Karena menurut keputusan Sangah Agung Indonesia, Perkawinan beda agama dimana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, diperbolehkan asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut tatacara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak beragama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam acara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan “atas nama sang budha, dharma dan sangka”yang merupakan dewa-dewa umat Budha. Jadi walaupun yang non-Budha tidak menganut agama Budha, tapi dalam pelaksanaanya yang non-Budha harus bersedia mengikuti syarat- syarat dalam pelaksanaan perkawinan seperti mengucapkan janji-janji atas nama sang Budha, Dharman dan Sangka. Karena bagi umat Budha, dengan mengucapkan kata-kata tersebut, maka secara tidak langsung yang non-Budha telah dianggap menganut agama Budha tanpa mengharuskan non Budha untuk meyakini agama Budha walaupun sebenarnya hanya menundukkan diri pada kaidah agama budha dalam pelaksanaan perkawinan tersebut.[4]

A.    Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Negara Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam

Hukum perkawinan termasuk dalam hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur tentang hubungan-hubungan antara anggota keluarga. Hubungan ini meliputi hubungan antara suami dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak-anaknya dan hubungan antara keluarga dan pemerintah. Maka, cakupannya adalah peraturan tentang perkawinan, perceraian, hak-hak kebendaan dari pasangan, pengasuhan anak, kepatuhan anak terhadap orang tua dan intervensi pemerintah terhadap hubungan anak dan orang tua, serta penyelenggaraan hubungan orang tua dan anak melalui adopsi. Paling tidak, ada tiga fungsi hukum keluarga yaitu perlindungan terhadap individu dari kekerasan dalam keluarga, untuk menyediakan penyelesaian jika hubungan antara anggota keluarga putus, dan untuk memberikan dukungan masyarakat tempat keluarga itu berada.

 

1.      Indonesia

Sebelum berlakunya Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat dengan UU Perkawinan), perkawinan campur diatur pada masa  pemerintah Hindia Belanda yang mengeluarkan Penetapan Raja tanggal 29 Desember 1896 No. (Stb. 1898 No. 158) yang merupakan peraturan tentang Perkawinan Campuran atau Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR). Dalam Pasal 1 GHR ini disebutkan bahwa perkawinan campur adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Dengan kata lain, perkawinan campur pada masa Hindia Belanda diatur dalam GHR tersebut dan meliputi perkawinan antar golongan dan antar agama (perkawinan beda agama).

 Menurut Sudargo Gautama, pasal tersebut mempunyai pengertian sebagai perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan, yang di dalamnya antara lain disebabkan oleh perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam religi, golongan rakyat, tempat kediaman atau agama.[1]  Dalam Pasal 7 ayat (2) GHR dinyatakan bahwa dalam perkawinan campuran ini, perbedaan agama, bangsa, atau asal, sama sekali tidak menjadi halangan untuk melangsungkan perkawinan. Berdasarkan paparan tersebut, maka perkawinan beda agama sebelum berlakunya UU Perkawinan, termasuk dalam perkawinan campuran yang diatur dalam GHR, dan pelaksanaannya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.

Di sisi lain, perkawinan beda agama juga merupakan polemik tersendiri. UU Perkawinan, yang tidak mengatur secara jelas tentang perkawinan beda agama, membuat pelaksanaan perkawinan beda agama tersebut menjadi relatif sulit. Dalam Pasal 2 UU perkawinan hanya disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Dari pasal ini dapat dinyatakan bahwa perkawinan di Indonesia adalah perkawinan berdasarkan hukum agama, sehingga perkawinan yang dilaksanakan dilaksanakan tidak berdasarkan atau menyalahi hukum agama dianggap tidak sah. Dari pasal tersebut juga, biasanya ditarik pengertian bahwa perkawinan beda agama yang tidak diperbolehkan oleh suatu hukum agama, menjadi tidak sah pula.

Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawian dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Kedua produk perundang-undangan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan antar agama.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Hal senada diterangkan beberapa pasal dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut: Pasal 4: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”.[2] Prof. Dr. Hazairin SH, secara tegas dan jelas memberikan penafsiran pasal 2 tersebut  bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar ̳hukum  agamanya sendiri‘. Demikian juga bagi orang Kristen, dan bagi orang Hindu. Karena itu, hal  ini menjadi  jalan buntu bagi para calon mempelai yang berbeda agama untuk melaksanakan perkawinan antar agama. Hal itu karena, di samping peraturan dalam Pasal 2 ini, mereka juga tidak mungkin menggunakan peraturan perkawinan campuran dalam Bab XII pasal 57 UU Perkawinan, yang tidak mengatur tentang perkawinan antara agama.[3]  Berdasarkan Pasal 2 ini juga perkawinan harus dilaksanakan menurut hukum agama. Perkawinan bukan sekedar hubungan keperdataan antara dua orang secara sekular, melainkan diperkuat dengan nilai-nilai agama. Keabsahan perkawinan juga didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan pasangan tersebut sehingga menyulitkan pasangan yang berbeda agama. Klausul Pasal 2 (1) ini juga dapat diartikan sebagai suatu pelarangan secara formal terhadap hubungan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Di sisi lain, Pasal 2 (1) tersebut tidak dapat dipahami sebagai pelarangan perkawinan beda agama karena secara eksplisit tidak melarangnya, dan karena itu, hukum perkawinan ini tidak mengatur perkawinan beda agama. Pasal 2 (1) hanya menyatakan bahwa perkawinan harus dilaksanakan menurut hukum agama sehingga, menurut sebagian orang, mengkaitkan masalah perkawinan beda agama dengan Pasal 2 (1) ini tidaklah tepat.[4] Adapun Pasal 66 UU Perkawinan menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, ketentuan- ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers, S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campur (Regeling op de Gemengde Huwelijk S. 158 tahun 1898) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Dari ketentuan Pasal 66 tersebut, dapat dinyatakan bahwa ketentuan perkawinan beda agama dalam GHR tidak berlaku lagi, sedangkan perkawian campur dalam UU Perkawinan memiliki rumusan yang berbeda. Dari Pasal 66 tersebut, terdapat beberapa ahli hukum yang mengatakan bahwa terdapat kekosongan hukum tentang perkawinan campuran beda agama, karena UU Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan campuran beda agama, sedangkan bunyi pasal 66 menyatakan bahwa peraturan perkawinan lama tidak berlaku selama telah diatur oleh UU Perkawinan ini. Tentang adanya kekosongan hukum ini, sebagaimana dinyatakan oleh beberapa sarjana diantaranya Purwanto S. Ganda Sybrata bahwa “perkawinan campuran antara agama selama belum diatur secara langsung dalam UU Perkawinan dapat dilangsungkan menurut ketentuan GHR dengan disesuaikan dengan asas-asas dalam UU Perkawinan.”[5] Maria Ulfa Subadio juga menyatakan, “meskipun perkawinan warga Negara Indonesia yang berlainan agama tidak diatur dalam UU Perkawinan, akan tetapi berdasarkan Pasal 66, ketentuan dalam GHR masih dapat dipergunakan dalam perkawinan antar agama.[6] Dengan tidak adanya ketentuan tentang perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan juga menimbulkan ketidakpastian mengenai ketentuan hukum yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaannya. Di satu sisi dinyatakan perkawinan beda agama tidak boleh, tetapi disisi lain ada yang menyatakan terdapat kekosongan hukum tentang perkawinan beda agama, sehingga GHR masih tetap berlaku.

 Pasal 40 KHI: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:

a.       Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;

b.      Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

c.       seorang wanita yang tidak beragam Islam.

Pasal 44 KHI: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”

Pasal 61 KHI: “ Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien”

Dengan demikian, menurut penjelasan pasal-pasal tersebut bahwa setiap perkawinan yang dilaksanakan dalam wilayah hukum Indonesia harus dilaksanakan dalam satu jalur agama, tidak boleh dilangsungkan perkawinan masing-masing agama.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)  Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang PERKAWINAN BEDA AGAMA menyebutkan, bahwa “(1) Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. (2) Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.”  Fatwa ini diputuskan setelah merujuk sejumlah firman Allah SWT yaitu  An Nisa ayat 3, Surat Ar Ruma ayat 21, surat At Tahrim ayat 6, surat Al Baqarah ayat 221, dan surat Al Mumtahanah ayat 10.

Selain itu, terdapat sejumlah hadits Rasulullah SAW yang menegaskan pentingnya agama sebagai unsur utama pernikahan.   

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لاِرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal: (1) karena hartanya (2) karena (asal-usul) keturunannya (3) karena kecantikannya (4) karena agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam; (jika tidak), akan binasalah kedua tanganmu.” (HR Muttafaq ‘alaih dari Abi Hurairah RA)

Di Indonesia terdapat dua lembaga yang mencatat perkawinan, yakni Kantor Urusan Agama (KUA), terhadap masyarakat yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS), terhadap masyarakat yang beragama non Islam. Perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu serta telah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun bagaimana dengan perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama bukanlah perkawinan campuran dalam pengertian hukum nasional kita karena perkawinan campuran menurut Undang-Undang Perkawinan disebut sebagai perkawinan yang terjadi antara Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA), bukan beda agama.

Pernikahan antara dua mempelai yang berbeda bukanlah hal yang sederhana di Indonesia. Selain harus melewati gesekan sosial dan budaya, birokrasi yang harus dilewati pun berbelit. Tak heran jika banyak pasangan dengan perbedaan keyakinan akhirnya memilih menikah di luar negeri. Pasangan yang memutuskan menikah di luar negeri nantinya akan mendapatkan akta perkawinan dari negara bersangkutan atau dari perwakilan Republik Indonesia setempat (KBRI). Sepulangnya ke Indonesia, mereka dapat mencatatkan perkawinannya di kantor catatan sipil untuk mendapatkan Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri. Beberapa diantara mereka yang mempunyai kelimpahan materi mungkin tidak terlampau pusing karena bisa menikah di negara lain, namun bagaimana yang kondisi ekonominya serba paspasan tentu ini menimbulkan suatu masalah hukum.

Ada dua cara dalam menyikapi perkawinan beda agama ini: Pertama, salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun ini dapat berarti penyelundupan hukum, karena yang terjadi adalah hanya menyiasati secara hukum ketentuan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun setelah perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing. Cara ini sangat tidak disarankan.

Kedua, berdasarkan Putusan MA No 1400 K/Pdt/1986, Kantor catatan sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh Ani Vonny Gani P (perempuan/Islam) dengan Petrus Hendrik Nelwan (laki-laki/Kristen). Dalam putusannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan perkawinan di kantor catatan sipil maka Vonny telah tidak menghiraukan peraturan agama Islam tentang Perkawinan dan karenanya harus dianggap bahwa ia menginginkan agar perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam. Yurisprudensi tersebut menyatakan bahwa kantor catatan sipil boleh melangsungkan perkawinan beda agama, sebab tugas kantor catatan sipil adalah mencatat, bukan mengesahkan. Hanya saja, tidak semua kantor catatan sipil mau menerima pernikahan beda agama. Kantor catatan sipil yang bersedia menerima pernikahan beda agama pun nantinya akan mencatat perkawinan tersebut sebagai perkawinan non-Islam. Pasangan tetap dapat memilih menikah dengan ketentuan agama masing-masing. Caranya, mencari pemuka agama yang memiliki persepsi berbeda dan bersedia menikahkan pasangan sesuai ajaran agamanya, misalnya akad nikah ala Islam dan pemberkatan Kristen. Namun, cara ini juga tak mudah karena jarang pemuka agama dan kantor catatan sipil yang mau menikahkan pasangan beda keyakinan.

Akhirnya, jalan terakhir yang sering dipakai pasangan beda agama di Indonesia untuk melegalkan pernikahannya adalah tunduk sementara pada salah satu hukum agama. Biasanya, masalah yang muncul adalah gesekan antar-keluarga ihwal keyakinan siapa yang dipakai untuk pengesahan

Dengan demikian, dari semula pasangan yang berbeda agama tidak perlu melakukan penyelundupan hukum dengan mengganti agama untuk sementara, namun bisa melangsungkan perkawinan tanpa berpindah agama.

 

2.      Malaysia

Pada tahun 1880, pemerintahan Inggris di Malaysia mengakui eksistensi hukum perkawinan dan perceraian Islam melalui “Mohammedan Marriage Ordinance[7] No.V Tahun 1880” dan diberlakukan di negara-negara selat “Pulau Pinang, Malaka, dan Singapore” terdiri dari:[8]

“BAB I : Pendaftaran Perkawinan dan perceraian (Pasal 1 sd 23)”

“BAB II : Pelantikan Qadi (pasal 24 s.d 26)”

“BAB III : Harta Benda dalam Perkawinan (Pasal 27)”

“BAB IV : Ketentuan Umum (Pasal 28 s,d 33)”

Sedangkan untuk negara bagian Selangor, Perak, Pahang dan Negerisembilan berlaku “Registration of Muhammadan Marriages and Divorces Enactment 1885”. Sementara itu negara bagian Peris, Kelantan, Terengganu, Johor dan Kedah berlaku “The Divorce Regulation tahun 1907”.[9] Aturan hukum yang tertuang dalam Undang-undang yang disahkan Inggris tersebut hanya mengatur pendaftaran perkawinan dan perceraian. Sehingga setelah Malaysia merdeka dari penjajahan Inggris mereka melakukan pembaharuan secara menyeluruh di bidang perkawinan dan perceraian. Pembaharuan ini oleh Kelantan, Negeri Sembilan dan Malaka telah diupayakan sejak tahun 1982.

Adapun Undang-Undang perkawinan yang saat ini berlaku di negara Malaysia ialah diantaranya “UU Keluarga Islam Malaka 1983”, “UU Kelantan 1983”, “UU Negeri Sembilan 1983”, “UU Wilayah Persekutuan 1984”, “UU Perak 1984 (No.1)”, “UU kedah 1979”, “UU Pulau Pinang 1985”, “UU Trengganu 1985”, “UU Pahang 1987”, “UU Selangor 1989”, “UU johor 1990”, “UU Serawak 1991”, “UU Perlis 1992”, dan “UU Sabah 1992”.[10]

Ada beberapa hal yang diatur dalam hukum keluarga di Malaysia, yaitu:

a. Poligami

b. Pencatatan Perkawinan

c. Wali dalam Perkawinan

d. Batas Usia Perkawinan

e. Perceraian

f. Perkawinan Beda Agama

g. Pidana dalam Undang-Undang Perkawinan Malaysia

Hukum Perkawinan di Malaysia juga mengharuskan adanya pendaftaran atau pencatatan perkawinan. Proses pencatatan secara prinsip dilakukan setelah Akad Nikah. Proses pencatatan ada tiga jenis diantaranya :

Pertama, orang asli Malaysia yang tinggal di dalam negeri pada dasarnya pencatatan dilakukan segera setelah selesai akad nikah, kecuali Kelantan yang menetapkan tujuh hari setelah akad nikah dan pencatatan tersebut disaksikan oleh wali, dua orang saksi dan pendaftar. Sebagaimana dalam Undang-undang Pulau Pinang Pasal 22 Ayat 1 dinyatakan : “Selepas sahaja akad nikah sesuatu perkahwinan dilakukan, pendaftar hendaklah mencatat butir-butir yang ditetapkan dan ta'liq yang ditetapkan atau ta'liq lain bagi perkahwinan didalam daftar perkahwinan.”

Kedua,orang asli Malaysia yang melakukan perkawinan dikedutaan Malaysia yang ada diluar negeri. Proses pencatatan secara prinsip sama dengan proses orang Malaysia yang melakukan perkawinan di negaranya. Perbedaanya adalah hanya pada petugas pendaftar, yakni bukan oleh pendaftar asli yang diangkat oleh negara, tetapi pendaftar yang diangkat di kedutaan atau konsul Malaysia di Negara yang bersangkutan. Sebagaimana dalam Undang-undang Pulau Pinang Pasal 24 Ayat 1 dinyakatakan : (1) Tertakluk kepada subsyeksen. (2) perkahwinan boleh diakadkan mengikuti hukum syara oleh pendaftar yang dilantik dibawah seksyen. Dalam Pasal 28 Ayat 3 dinyatakan : “Dikedutaan Suruhanjaya Tinggi atau pejabat konsul Malaysia dimana-mana Negara yang telah memberitahu kerajaan Malaysia tentang bentahannya terhadap pengakad nikahan perkahwinan di kedutaan Suruhanjaya Tinggi atau pejabat konsul itu.”

Ketiga : Orang Malaysia yang tinggal di luar negeri dan melakukan perkawinan tidak di kedutaan atau konsul Malaysia yang ada di Negara bersangkutan. Prosesnya pria yang melakukan perkawinan dalam masa enam bulan setelah akad nikah, mendaftarkan kepada pendaftar yang diangkat oleh kedutaan dan konsul terdekat. Apabila yang bersangkutan pulang ke Malaysia sebelum habis masa enam bulan maka boleh juga mendaftar di Malaysia. Ketentuan ini berdasarkan Undang-undang Serawak pasal 29 ayat 1, Undang-undang Kelantan dan Undang-undang Negerisembilan.

Malaysia merupakan salah satu negara yang melarang perkawinan beda agama. Larangan perkawinan beda Agama di Malaysia didasarkan pada ketentuan yang termuat dalam seksyen 51 Akta pembaharuan Undang-undang Perkawinan dan Perceraian 1976 sebagaimana disebutkan : “Jika salah satu pihak kepada suatu perkahwinan telah masuk Islam, pihak yang satu tidak masuk Islam boleh untuk perceraian. Dengan syarat bahwa tiada suatu permohonan dibawah syeksen boleh diserahkan sebelum tamat tempo tiga bulan dari tarikh masuk Islam itu.”

Walaupun Malaysia adalah masyarakat multi-agama, namun Islam adalah sebagai agama resmi. Negara menjamin bahwa setiap kelompok agama berhak mengurusi masalahnya sendiri. Apabila orang non-Islam dilindungi secara konstitusional dan legal, maka muslim berada dibawah hukum Islam, dimana Sultan yang mengurus kepentingan mereka dan pengadilan agama digunakan untuk mengawasi agama tersebut.

 

3.      Brunei Darussalam

Islam merupakan agama kerajaan Brunei Darussalam. Kesultanan Brunei telah mengislamkan wilayah – wilayah kekuasaannya. [11]

Brunei mengalami proses islamisasi ketika kerajaannya telah berdiri. Kenyataan ini tidak jauh berbeda dengan patani atau malaka, tidak saja melihat ke pedealaman tetapi juga keseberangan lautan,dalam menjalankan peranannya sebagai “jembatan penyebrangan” Islam. Keluarga Kerajaan Brunei mendirikan suatu organisasi kekuasaan supradesa di Teluk Manila (luson). “Kesultanan” yang baru pada tahap pertumbuhan inilah yang dihadapi oleh spanyol ketika mereka mendarat di Manila pada tahun 1570.[12]

Brunei, yang menolak bergabung dengan Malaysia, memperoleh kemeredekaan penuh pada 1 januari 1984. Sistem politik tradisional diberlakukan kembali dalam bentuk modern dengan keluarga raja sebagai pemegang kepemimpinan kerajaan bernama kerajaan Brunei Darussalam.

Komposisi masyarakat Brunei Darussalam terdiri dari Melayu 65.7%, Tionghoa 10.3%, lain-lain 24% (2016), dengan agama yang dianut yaitu Muslim sebagai agama resmi  78.8%, Kristen 8.7%, Budha 7.8%, dan 4.7% lain-lain (termasuk kepercayaan lama). Oleh sebab itu, sistem kebudayaan di Negara Brunei berkiblat pada Islam dengan pengaruh dari budaya Melayu. Budaya Penikahan kebanyakan diatur oleh orang tua mempelai wanita dengan memiliki calon menantu dengan sesama penganut agama[13]

Undang-Undang Malaka, semula terdiri dari 19 pasal, kemudian berubah menjadi 20 pasal dan terakhir menjadi 44 pasal, setidak-tidaknya 18 pasalnya diaturmenurut ketentuan hukum Islam, misalnya :

 

-        pasal 5 : jinayah berlaku qisas

-        pasal 7 : pencurian, bisa denda, bisa juga potong tangan

-        pasal 12 : perzinaan ; tidak dirajam, tapi bisa ganti rugi dan mengawini, jika istri orang minta maaf di depan khalayak ramai dan denda

-        pasal 25 : syarat ijab qabul

-        pasal 26 : syarat saksi

-        pasal 27 : talak dan rujuk

-        pasal 28 : " Cina buta"

-        pasal 30 : bungan, riba dan jual beli

-        pasal 37 : kesaksian untuk penetapan had ; mabuk, mencuri, membunuh, qisas dsb

-        pasal 32 : sulhu

-        pasal 34 : hukum amanah

-        pasal 36 : shalat

-        pasal 38 : pembuktian (sumpah, pengakuan dll).

 

Sedangkan Kanun Brunei terdiri dari 47 pasal dan sekurang-kurangnya 29 pasal mengandung unsur-unsur Islam, diantaranya:

-        pasal 4 : jinayah, bunuh, menikam, memukul, merampas, mencuri, menuduh dsb.

-        pasal 5, 8 dan 41 : qishas

-        pasal 7 dan 11 : pencurian

-        pasal 12 dan 42 : perzinaan

-        pasal 15 : pinjam meminjam

-        pasal 18 : pinang meminang

-        pasal 20 : tanah

-        pasal 25 : perkawinan

-        pasal 26 dan 27 : saksi

-        pasal 28 : khiar dan pasakh nikah

-        pasal 29 : thalak

-        pasal 31 : jual beli

-        pasal 33 : utang piutang

-        pasal 34 : muflis dan sulhu

-        pasal 36 : ikrar

-        pasal 38 : murtad

-        pasal 39 : syarat saksi

-        pasal 44 : minuman keras dan mabuk

 

Undang-undang Keluarga Islam Brunei Darussalam diatur pada Undang-Undang Majlis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi No. 20 Tahun 1956, dimana Undang-Undang Keluarga Islam secara khusus diatur dalam 29 bab (pasal) saja, yaitu di bawah judul Marriage and Divorce pada bagian VI, yakni pasal 134-154. Sedang judul Maitenance of Dependants pada bagaian VII, mulai dari bab 157-163. Selain itu Hukum perkawinan di Negara Brunei Darussalam juga diatur di dalam Perlembagaan Negara Brunei Darussalam (perintah di bawah bab 83 (3) ) perintah darurat (Undang-Undang Keluarga Islam)  1999.

Dalam hal perkawinan beda agama, Negara Brunei Darussalam melarang praktik tersebut di negaranya sebagaimana yang telah diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan dan perceraian (Bagian VI pasal 134-156), menjelaskan bahwa Undang-Undang perkawinan Negara Brunei Darussalam Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-mahkamah Kadi, haruslah dilangsungkan oleh orang-orang yang beragama Islam. Selain itu, proses pernikahan yang dijalani juga menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh syara’. Sebagaimana bunyi pasal 134 Undang-Undang Negara Brunei Darussalam Penggal 77 Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-Mahkamah Kadi : “Peruntukan dari bahagian ini hendaklah digunakan hanya kepada penikahan-pernikahan, kedua-dua pihak yang berugama Islam, dan yang diakadkan menurut hukum syarak”.

Sebagian besar penduduk Brunei Darussalam beragama Islam dengan menganut madzab Imam Syafi’i.  Dengan demikian, yang dimaksud dengan syara’ adalah pernikahan haruslah dilakukan dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh fiqih sebagaimana yang telah diijtihadkan oleh imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya.

Dalam Undang-Undang Brunei, orang yang biasa  menjadi pendaftar nikah  selain Kadi Besar dan Kadi-kai adalah imam-imam setiap masjid. Orang yang biasa melangsungkan sebuah pernikahan adalah  yang diberi kuasa (tauliah) oleh Sultan atau yang diberi kuasa oleh hukum untuk orang lain, tetapi dalam hal ini kehadiran dan kebenaran  pendaftaran juga diperlukan. Walaupun demikian pernikahan yang tidak mengikuti aturan ini tetap dilangsungkan (sah), tetapi menurut aturan hukum muslim dianggap sah dan  hendaknya didaftarkan. Sedangkan dinamakan perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan  yang tidak mengikuti hukum mazhab yang dianut oleh kedua belah pihak. sebagaimana pasal 138 Undang-Undang Negara Brunei Darussalam Penggal 77 Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-Mahkamah Kadi: “suatu pernikahan adalah tidak sah dan tidak boleh di daftarkan di bawah sayarat-syarat Akta ini kecuali jikalau semua syarat-syarat yang diperlukan bagi sahnya pernikahan tersebut, menurut mazhab masing-masing pihak yang menikah itu, telah dipenuhi”. 

Menurut Prof. Wahyono Darmabrata ada 4 (empat) solusi pernikahan beda agama yang bisa dilakukan yaitu:[14]

1. Menikah di luar negeri

Solusi pernikahan beda agama yang pertama adalah dengan menikah di luar negeri. Agar bisa menikah secara sah, maka perlu mengikuti aturan hukum pernikahan di suatu negara. Sedangkan di Indonesia sendiri, pernikahan hanya dianggap sah jika dilaksanakan berdasarkan kepercayaan yang sama.

Jadi jika tetap ingin menikah beda agama dengan sah, maka  bisa menikah di luar negeri yang memang melegalkan pernikahan beda agama. Akan tetapi pasangan yang menikah tersebut harus melaporkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil Indonesia.

2. Perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama masing-masing

Dalam hal ini solusi pernikahan beda agama adalah dengan melakukan pernikahan berdasarkan agama pasangan masing-masing. Misalnya melakukan akad nikah dan juga pemberkatan berdasarkan syarat pernikahan beda agama.

3. Meminta penetapan pengadilan

Pasangan yang beda agama bisa meminta untuk dilakukan penetapan pengadilan pasangan dengan meminta permohonan ke pengadilan supaya disetujui permohonan pencatatan sipil.

4. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama

Penundukan sementara ini berarti salah satu pasangan mengikuti hukum agama pasangan yang lainnya namun hanya sementara saja.

Berdasarkan yurisprudensi MA, mengenai pencatatan atas pernikahan beda agama yang dilakukan berdasarkan solusi pernikahan beda agama, maka kantor pencatatan sipil diperbolehkan untuk melakukan pernikahan beda agama.

Dalam hal ini, pernikahan yang diajukan di kantor catatan sipil sudah memilih untuk pernikahan yang tidak dilakukan secara Islam. Dalam kata lain sudah tidak menghiraukan status agama yang dilakukan.

Sehingga bisa dikatakan bahwa solusi pernikahan beda agama jika ingin melakukan pencatatan di kantor catatan sipil, maka  bisa memilih untuk menikah tidak secara Islam dan menundukkan diri.


[1] Octavianus Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Sri Gunting, 1996), hlm. 9.

[2] Departemen Agama Republik Indonesia, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), hlm. 15.

[3] K. Watjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia, 1992), hlm. 15.

[4] Ratno Lukito, “Trapped Between Legal Unification and Pluralism”, dalam Gavin W. Jones dkk (eds.), Muslim-nonmuslim Marriage: Political and Cultural Contestation in Southeast Asia, (Singapore: ISEAS, 2009), hlm. 34-35.

[5] Djaya S. Melida, Masalah Perkawinan Antar Agama dan Kepercayaan di Indonesia Dalam Perspektif Hukum, (Jakarta: Vrana Widya Darma, 1988), hlm. 79

[6] Maria Ulfa Subadio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan, (Jakarta: Idaya, 1981), hlm. 23

[7] Isi dari Moohamed Marriage ialah mengharuskan pencatatan perkawinan dan perceraian bagi Muslim dan pgawai yang berhak melakukan pencatatan adalah qadi  

[8] Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS, 2002), h.62-65. 

[9] M. Atho Mudzhar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.20. 

[10] Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, h.22.

 

[11] Undang – undang Brunei secara eksplisit menyatakan bahwa islam merupakan agama Negara. Lihat Ajid Thohir STUDI KAWASAN DUNIA ISLAM (Jakarta : 2009) hlm. 352.

[12] Ibid hlm 352.

[14]https://blog.justika.com/keluarga/solusi-pernikahan-beda-agama/ diakses pada tanggal 08/03/2022 Jam 16:25 WITA


[1] Jane Marlen Makalew, Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama di Indonesia, Lex Privatum, vol. I/No.2/Apr-Jun/2013 hlm. 134

[3] Op. Cit. hlm. 135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar