BAB II
PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM
SEBUAH PERJANJIAN
MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN HUKUM ISLAM
A. RUANG LINGKUP PERJANJIAN
1. Pengertian Perjanjian
Sebelum membahas
masalah sumber suatu perjanjian maka nampaknya penting untuk dipaparkan
terlebih dahulu terkait dengan masalah definisi perjanjian itu sendiri. Dalam
literatur hukum, terdapat berbagai istilah yang sering dipakai sebagai rujukan
untuk menggambarkan ketentuan hukum yang mengatur transaksi dalam
masyarakat. Ada yang menggunakan istilah
“hukum perutangan”, “hukum perjanjian” ataupun “hukum kontrak”. Masing- masing
istilah tersebut mempunyai artikulasi yang berbeda satu dengan yang lainnya.[1]
Perjanjian secara
etimologi adalah ikatan, sedangkan menurut terminologi perjanjian adalah suatu
perbuatan dimana seseorang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa
lain.[2]
Hukum perjanjian
digunakan apabila melihat bentuk nyata dari transaksi. Hal ini mengacu pada
pengertian perjanjian menurut Salim H S yaitu hubungan hukum antara subjek
hukum yang satu dengan subjek hukum yang
lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas
prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan
prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya. [3]
Salim H S mengartikan
hukum kontrak sebagai keseluruhan dari kaidah- kaidah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum.[4]
Sementara dalam Pasal
1313 KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melakukan suatu hal. [5]
Sedangkan dalam hukum
Islam akad atau kontrak berasal dari bahasa arab yang berarti ikatan atau
simpulan baik ikatan yang nampak (hissy) maupun tidak nampak (ma’nawi).[6]
Adapun yang dimaksud dengan hukum kontrak syari’ah adalah keseluruhan kaidah-
kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum di bidang muamalah khususnya perilaku
dalam menjalankan hubungan ekonomi antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum secara tertulis berdasarkan hukum Islam.[7]
Secara
etimologi perjanjian dalam bahasa arab diistilahkan dengan Mu’ahadah Ittifa’,
atau akad. Dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan kontrak, perjanjian atau persetujuan yang artinya adalah suatu
perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang
lain atau lebih.[8]
Dalam al-Qur’an sendiri setidaknya ada dua istilah yang berkaitan dengan
perjanjian, yaitu kata akad (al-‘aqdu) dan kata ‘ahd (al-‘ahdu).[9]
al-Qur’an memakai kata al-‘aqdu dalam arti perikatan atau perjanjian,
sedangkan kata al-‘ahdu dalam al-Qur’an berarti masa, pesan,
penyempurnaan, dan janji atau perjanjian. [10] Dengan
demikian istilah akad dapat disamakan dengan istilah perikatan, sedangkan kata al-‘ahdu
dapat dikatakan sama dengan istilah perjanjian, yang dapat diartikan sebagai
sesuatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan
sesuatu , dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan pihak lain. Janji hanya
mengikat bagi orang yang bersangkutan, sebagaimana yang telah diisyaratkan
dalam al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 76 sebagai berikut [11]
4n?t/ ô`tB 4nû÷rr& ¾ÍnÏôgyèÎ/ 4s+¨?$#ur ¨bÎ*sù ©!$# =Åsã tûüÉ)GßJø9$# ÇÐÏÈ
Artinya:
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan
bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”[12]
Dalam
istilah fuqaha perjanjian atau perikatan dikemukakan sebagai berikut :
اِرْتِبَاطُ
الْاِيْجَابُ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهِ مَشْرُوْعٍ يُثَبِّتُ التَّرَا ضِى
“Perikatan antara ijab
dengan kabul secara yang dibenarkan syara’, yang menetapkan persetujuan kedua
belah pihak”.[13]
Hendi
Suhendi, menyebutkan dalam bukunya fiqih
Muamalah bahwa perjanjian
adalah :
ربط الجزاء
التصرف بالايجاب والقبول شرعا
”Ikatan atas bagian-bagian
tasharruf menurut syara’ dengan cara serah terima.”[14]
Selain itu, ada pengertian
lain yang memberikan gambaran lebih luas cakupannya dari pengertian yang
tersebut di atas, yakni memasukkan pengertian akad sebagai tindakan orang yang
berkehendak kuat dalam hati, meskipun dilakukan secara sepihak, seperti hibah,
wasiat, wakaf dan sebagainya. Sementara itu Ahmad Azhar Basyir, memberikan
definisi akad sebagai berikut, akad adalah suatu perikatan antara ījab
dan qabūl dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan
adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. ījab adalah pernyataan pihak pertama
mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedang qabūl adalah pernyataan
pihak kedua untuk menerimanya. [15]
Akad seperti yang disampaikan definisi di atas
merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum atau disebut dengan tasharruf. Musthafa
az-Zarqa mendefinisiskan taṣarruf adalah segala sesuatu (perbuatan )
yang bersumber dari kehendak seseorang dan hukum Islam menetapkan atasnya
sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban).[16]
Perjanjian menurut hukum Islam wajib dipenuhi, sesuai
dengan Firman Allah surah al-Maidah ayat 1:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î 4.....
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah olehmu aqad-aqad (perjanjian) itu......[17]
Menurut Zaid Bin Aslam berpendapat yang dikutip oleh Ibnu
Katsir dalam tafsirnya, bahwa aufū bil ‘uqūd ada lima, yaitu:
1. ‘Abdullah (perintah dan larangan Allah)
2. ‘Aqdul hilf (perjanjian persekutuan suku)
3. ‘Aqdul bai’ (perjanjian jual beli)
4. ‘Aqdun nikah (perjanjian perkawinan atau aqad perkawinan)
Dalam surah al-Maidah
ayat 1 (satu) ada lafadz أوفو yang artinya “penuhilah” dimana dalam bahas Arab disebut
fi’il amr (kata-kata perintah) yang implikasinya jika lafaz yang khusus
dalam suatu naṣ yang di dalamnya mengandung arti perintah maka menunjukan hukumnya adalah wajib. [19]
Pada saat dua kelompok mengadakan perjanjian, yakni
ikatan untuk memberi dan menerima bersama-sama dalam satu waktu. Kewajiban yang
timbul akibat perjanjian itu disebut al-‘uqūd.[20]
2. Rukun Dan Syarat Perjanjian
Di dalam
KUH Perdata disebutkan bahwa supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu
dipenuhi 4 (empat) syarat yaitu:
a.
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c.
Suatu pokok persoalan tertentu;
d.
Suatu sebab yang tidak terlarang/halal.[21]
Dalam
hukum Islam melaksanakan suatu
perjanjian, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun adalah suatu unsur yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang
menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya
sesuatu itu.[22]
Sedangkan syarat adalah sesuatu yang tergantung padanya
keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang
ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.[23] Berikut di jelaskan
rukun-rukun dan syarat-syarat akad.
- Rukun akad
Rukun adalah
unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya
unsur-unsur tersebut yang membentuknya. Akad juga terbentuk karena adanya
unsur-unsur atau rukun-rukun yang membentuknya. Rukun akad secara khusus adalah
ījab dan qabūl, ījab dan qabūl dinamakan ṣigatul
‘aqdi atau perkataan yang menunjukkan kepada kehendak kedua belah pihak.[24]
Ṣigat dalam
hukum Islam memiliki tiga syarat: a. Harus terang pengertiannya, b. Harus
bersesuaian antara ijab dan kabul, c. Memperlihatkan kesungguhan dari pihak
yang bersangkutan.[25]
Menurut
jumhur ulama rukun akad adalah al-‘aqidain, mahallul ‘aqd, sigat al-‘aqd. Menurut ahli hukum
Islam kontemporer rukun yang membentuk akad ada empat yaitu:
1) Para pihak yang membuat
akad (al-‘aqidan)
2) Penyertaan kehendak
para pihak (ṣigatul ‘aqd)
3) Objek akad (mahallul
‘aqd)
4) Tujuan akad (mauḍu’ul
‘aqd). [26]
Menurut Hasbi
Ash-Shiddiqy, keempat hal tersebut merupakan komponen-komponen yang harus
dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad.[27]
b.
Syarat-syarat akad
Para ulama fikih
menetapkan ada beberapa syarat umum yang harus dipenuhi dalam suatu akad,
adapun syarat-syarat umum suatu akad yaitu:
1) Pihak-pihak yang
melakukan akad telah dipandang mampu bertindak menurut hukum (mukallaf).
Apabila belum mampu maka harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab itu suatu
akad yang dilakukan oleh orang yang kurang waras atau anak kecil yang belum
mukallaf secara langsung hukumnya tidak sah.
2) Objek akad itu, diakui
oleh syara’. Objek akad ini harus memenuhi syarat yaitu berbentuk harta,
dimiliki seseorang, bernilai harta menurut syara’. Denga demikian yang
tidak bernilai harta menurut syara’ tidak sah seperti khamar.
3) Akad itu tidak dilarang
oleh naṣ syara’. Atas dasar ini seorang wali (pemelihara anak), tidak
dibenarkan menghibahkan harta anak kecil tersebut.
4) Akad yang dilakukan itu
memenuhi syarat-syarat khusus dengan yang bersangkutan, disamping harus memenuhi
syarat umum. Syarat khusus misalnya jual-beli berbeda dengan sewa menyewa dan
gadai.
5) Akad itu bermanfaat.
Misalnya seorang suami mengadakan akad dengan istrinya, bahwa suami akan
memberi upah kepada istrinya dalam urusan rumah tangga akad ini tidak bermanfaat
karena memang kewajiban seorang suami memberikan nafkah lahiriyah kepada
istrinya.
6) Ījab tetap utuh sampai terjadi kabul. Misalnya dua orang
beda daerah melakukan transaksi dengan surat, pembeli barang melakukan ijabnya
melalui surat yang memerlukan waktu berapa hari. Sebelum surat itu sampai
kepada sipenjual, pembeli telah wafat transaksi semacam ini batal sebab salah
satu pihak telah meninggal.
7) ījab dan qabūl dilakukan dalam satu majelis, yaitu
suatu keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi. Berkenaan dengan
masalah ini timbul perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang ījab
apakah harus segera dijawab dengan qabūl? Menurut Jumhur ulama Fiqh
selain mazhab Syafi’i, tidak mengharuskan qabūl segera dilaksanakan
setelah ījab, sebab pihak penerima memerlukan waktu untuk berfikir dan
meneliti segala persoalan yang berkaitan dengan transaksi (obyek akad)
8) Tujuan akad harus jelas
dan diakui oleh syara’. Misalnya masalah jual-beli, jelas tujuannya
yaitu untuk memindahkan hak-milik penjual kepada pembeli dengan imbalan.[28]
3.
Asas-Asas Perjanjian
Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis dan fondasi. Secara terminologi
asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.[29]
Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas
adalah prinsip yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir,
bertindak dan sebagainya.[30]
Mohammad Daud Ali mengartikan asas apabila dihubungkan
dengan kata hukum adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir
dan alasan pendapat terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.[31]
Berdasarkan teori, dalam suatu hukum kontrak terdapat
5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara
lain adalah:
a. Asas kebebasan
berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang
memberikan kebebasan kepada para pihak
untuk:
1)
Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2)
Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
3)
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya;
4)
Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau
lisan.
b. Asas konsensualisme (concsensualism)
Asas konsensualisme dapat dilihat dalam Pasal 1320
ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu syarat
adanya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Asas konsensualisme mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian pada
umumnya tidak diadakan secara formal melainkan cukup dengan kesepakatan antara
kedua belah pihak saja. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan
pernyataan dari kedua belah pihak.
c. Asas kepastian hukum (pacta
sunt servanda)
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi
mereka yang membuatnya. Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan
melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana mentaati
undang-undang.
d. Asas itikad baik (good
faith)
Dalam hukum perjanjian, itikad baik itu mempunyai dua
pengertian yaitu:
1) Itikad baik dalam arti
subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum
yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan
perbuatan hukum,
2) Itikad baik dalam arti
obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma
kepatutan dalam masyarakat.
e. Asas kepribadian (personality).
Asas ini berhubungan dengan subyek yang terikat dalam
suatu perjanjian. Asas kepribadian dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1340
ayat (1) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya. [32]
Di samping kelima asas yang telah diuraikan diatas,
dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17 – 19 Desember 1985
telah berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional.[33]
Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut:
a. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap
orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang
diadakan diantara mereka dibelakang hari.
b. Asas Persamaan Hukum
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek
hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang
sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya,
walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
c. Asas Kesimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua
belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian
d. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian
hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu
sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
e. Asas Moralitas
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu
suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk
menggugat prestasi dari pihak debitur
f. Asas Kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata.
Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan
oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.
g. Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian.
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan
tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti
h. Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara
debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat
perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang
lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam
menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum
sehari-hari. [34]
Adapun
beberapa asas yang berlaku dalam hukum perjanjian Islam, yaitu sebagai berikut:
a. Asas
kebebasan berkontrak (al-hurriyah)
Suatu kontrak dalam hukum Islam harus dilandasi
adanya kebebasan berkehendak dan kesukarelaan dari masing-masing pihak yang
mengadakan transaksi.
b.
Asas konsensualisme (ar-riḍaiyyah)
Asas ini menekankan adanya kesempatan yang sama
bagi para pihak untuk menyatakan keinginannya dalam mengadakan transaksi. Suatu
akad baru lahir setelah dilaksanakan ījab dan qabūl. Dalam hal
ini diperlukan kejelasan pernyataan kehendak dan harus adanya kesesuaian antara
penawaran dan penerimaan.
c.
Asas persamaan (al-musawamah)
Asas ini menempatkan para pihak di dalam
persamaan derajat dan kesetaraan para pihak dalam bertransaksi. Apabila ada kondisi yang menimbulkan
ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan maka undang-undang dapat mengatur batasan hak dan kewajiban dan
meluruskan kedudukan para pihak melalui pengaturan klausula dalam kontrak.
d.
Asas keadilan (al-‘adalah)
Menurut Yusuf Qardhawi, keadilan adalah
keseimbangan antara berbagai potensi
individu, baik moral ataupun materiil, antara individu dan masyarakat, dan
antara masyarakat satu dengan lainnya yang berlandaskan pada syariat Islam.
e.
Asas kejujuran dan kebenaran (as-ṣidiq)
Kejujuran adalah satu nilai etika mendasar
dalam Islam. Allah memerintahkan semua muslim untuk jujur dalam segala urusan
dan perkataan. Apabila asas ini tidak
dilaksanakan maka akan merusak legalitas
akad yang dibuat.
f.
Asas manfaat
Asas ini memperingatkan bahwa sesuatu bentuk
transaksi dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan
menghindari madharat dalam hidup masyarakat.
g.
Asas saling menguntungkan (at-ta’awun)
Setiap akad yang dilakukan haruslah bersifat
saling menguntungkan semua pihak yang melakukan akad. [35]
Di dalam Pasal 21 Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) akad dilakukan berdasarkan asas:
a.
ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para
pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak
lain.
b.
amanah/menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para
pihak sesuai dengan kesepakan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada
saat yang sama terhindar dari cidera-janji.
c.
ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan
yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.
d.
luzum/tidak berubah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang
jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi
atau maisir.
e.
saling menguntungkan; setiap akad dilakukan
untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi
dan merugikan salah satu pihak.
f.
taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki
kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
g.
transparansi; setiap akad dilakukan dengan
pertanggungjawaban para pihak secara terbuka.
h.
kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan
kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang
bersangkutan.
i.
taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan
cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat
melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.
j.
itikad baik; akad dilakukan dalam rangka
menegakan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk
lainnya.
k.
sebab yang halal; tidak bertentangan dengan
hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.[36]
B.
KLAUSULA
BAKU DALAM SURAT PERJANJIAN
Perjanjian dengan
klausula baku atau Perjanjian Baku diistilahkan secara beragam dalam bahasa
Inggris dengan standardized contract,
atau standard contract .[37]
Pada awal dimulainya
perjanjian, kebebasan berkontrak di antara pihak yang berkedudukan seimbang merupakan
unsur yang amat penting. Namun berhubung aspek-aspek perekonomian semakin
berkembang, para pihak mencari format yang lebih praktis. Salah satu pihak
menyiapkan syarat-syarat yang sudah distandarkan pada suatu format perjanjian
yang telah dicetak, berupa formulir untuk kemudian diberikan kepada pihak
lainnya untuk disetujui. Inilah yang dimaksudkan dengan perjanjian standar atau
perjanjian baku.[38]
Ada beberapa pendapat
ahli hukum mengenai keabsahan kontrak baku adalah sebagai berikut:
1. Pitlo berpendapat bahwa
kontrak baku merupakan kontrak paksaan (dwang contract) karena kebebasan
para pihak yang dijamin oleh ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata sudah dilanggar sedangkan pihak yang lemah
terpaksa menerimanya sebab mereka tidak mampu berbuat lain.
2. Sluyter berpendapat
bahwa perbuatan kreditur secara sepihak menentukan isi kontrak standar secara
materiil melahirkan pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere
wetgevers).
3. Stein berpendapat bahwa
dasar berlakunya kontrak baku atau standar adalah de fictie van will of vertrouwen sehingga kebebasan kehendak yang sunguh
-sungguh tidak ada pada para pihak, khususnya debitur.[39]
Menurut Mariam Darus
Badrulzaman, perjanjian baku dengan klausula eksonerasi yang meniadakan atau
membatasi kewajiban salah satu pihak pelaku usaha untuk membayar ganti kerugian
kepada konsumen, memiliki ciri sebagai berikut:
a. Isinya ditetapkan
secara sepihak oleh pelaku usaha yang posisinya relatif kuat daripada konsumen;
b. Konsumen sama sekali
tidak ikut menentukan isi perjanjian itu;
c. Terdorong oleh
kebutuhannya, konsumen terpaksa menerima perjanjian tersebut;
d. Bentuknya tertulis;
e. Dipersiapkan terlebih
dahulu secara massal atau individual. [40]
Menurut Pasal 1 ayat (10)
Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, pengertian
klausula baku adalah:
Setiap
aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.[41]
Bentuk-bentuk larangan klausula baku yang
ditetapkan Undang-Undang Nomor 08 Tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 18 adalah sebagai berikut:
1. Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a.
Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku
usaha;
b.
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli
konsumen;
d.
Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada
pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
e.
Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya
kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.
Memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
objek jual beli jasa;
g.
Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan
yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya;
h.
Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada
pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2. Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
3. Setiap
klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dinyatakan batal demi hukum
4. Pelaku
usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang
ini. [42]
Pengertian kebebasan berkontrak
berbasis syariah berbeda dengan apa yang dimaksud kebebasan berkontrak dalam hukum konvensional. Perbedaannya, bahwa
kebebasan berkontrak (hurriyyah at-ta’aqud) dalam Islam ialah kebebasan
berkontrak yang bersifat terikat dengan ketentuan hukum syara’. Ruang
lingkup kebebasan berkontrak dapat diwujudkan dalam bentuk:
1. Menentukan
objek perjanjian;
2. Menentukan
syarat-syarat dalam merumuskan hak dan kewajiban;
3. Menentukan
cara penyelesaian apabila terjadi perselisihan sengketa. [43]
Pemberlakuan kontrak baku dalam praktek
transaksi syariah harus tetap berlandaskan pada prinsip syariah. Menurut Iswahyudi A. Karim sebagaimana yang
dikutif oleh Gemala Dewi dalam bukunya, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
kontrak syariah adalah hal yang
diperjanjikan dan obyek transaksi harus halal menurut syariat, tidak terdapat
ketidakjelasan (garar) dalam rumusan akad maupun prestasi yang
diperjanjikan, para pihaknya tidak menzalimi dan tidak dizalimi, transaksi
harus adil, transaksi tidak mengandung
unsur perjudian (maisyir), terdapat prinsip kehati-hatian, tidak membuat
barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam ataupun barang najis (najsy),
dan tidak mengandung riba.[44]
C.
PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP KONSUMEN
Menurut
Sudikno Mertokusumo perlindungan hukum dalam arti sempit adalah sesuatu yang
diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum, baik yang bersifat preventif
maupun represif, serta dalam bentuk yang tertulis maupun tidak tertulis.
Dengan kata lain, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu gambaran
dari fungsi hukum, yaitu ketenteraman bagi segala kepentingan manusia yang ada
di dalam masyarakat sehingga tercipta keselarasan dan keseimbangan hidup
masyarakat. Sedangkan perlindungan hukum dalam arti luas adalah tidak hanya
diberikan kepada seluruh makhluk hidup maupun segala ciptaan Tuhan dan
dimanfaatkan bersama-sama dalam rangka kehidupan yang adil dan damai.[45]
Perlindungan
konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum
yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari
hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri.[46]
Undang-Undang
Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (1) menyatakan
bahwa, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.[47]
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 08 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa perlindungan konsumen
berdasarkan asas kemanfaatan, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan
konsumen serta kepastian hukum.[48]
Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor
08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
perlindungan konsumen bertujuan :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen
dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen
yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau
jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. [49]
Cakupan
perlindungan konsumen dapat dibedakan dalam dua aspek, yaitu:
1.
Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang
diserahkan kepada konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati.
2.
Perlindungan terhadap diberlakukannya
syarat-syarat yang tidak adil kepada konsumen.
[50]
Semua norma perlindungan konsumen dalam
Undang-Undang Nomor 08 Tentang Perlindungan Konsumen memiliki sanksi pidana.[51] Untuk
itu perlindungan konsumen diatur sedemikan rupa dengan cara:
1.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur keterbukaan akses informasi, serta menjamin kepastian hukum.
2.
Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya
dan kepentingan seluruh pelaku usaha.
3.
Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan
jasa.
4.
Memberikan perlindungan kepada konsumen dari
praktik usaha yang menipu dan menyesatkan.
5.
Memadukan
penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan
bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya. [52]
Adapun sanksi pidana yang tercantum dalam Pasal
62 Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagai
berikut:
1.
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2),
Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat(2) dan
Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00
(dua milyar rupiah).
2.
Pelaku usaha yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal
17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
3.
Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka
berat, sakit berat, cacat tetap
atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.[53]
Menurut
Pasal 63 Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman
tambahan, berupa:
a.
perampasan barang tertentu;
b.
pengumuman keputusan hakim;
c.
pembayaran ganti rugi;
d.
perintah penghentian kegiatan tertentu
yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e.
kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f.
pencabutan izin usaha.[54]
Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam
hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia
dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.[55]
Di dalam
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Konsumen memiliki hak sebagai berikut:
1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa,
2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa
serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan,
3. hak atas informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa,
4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
atas barang dan/atau jasa yang digunakan,
5. hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut,
6. hak untuk mendapatkan pembinaan dan
pendidikan konsumen,
7. hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,
8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya,
9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya. [56]
Jika
ditinjau dari hukum Islam, pemakaian istilah hak sebenarnya dalam bahasa Arab
menempati banyak arti seperti ketetapan yang pasti, penjelasan, kebenaran,
jatah atau bagian, hakikat dan kewajiban.[57]
Istilah hak
oleh para ahli hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaily
yaitu suatu sifat kekhususan dimana dengannya syara’ menetapkan suatu
kekuasaan bagi pemiliknya atau kewajiban atas objeknya. Definisi ini sudah
mencakup semua hak, termasuk di dalamnya hak konsumen dan pelaku usaha.
Definisi ini juga menunjukkan bahwa sumber kepemilikan terhadap hak itu berasal
dari syara’, karena hak dalam pandangan Islam adalah pemberian Allah
SWT. Oleh karena itu suatu hak harus ditentukan oleh hukum syara’ yang
mengaturnya. Dengan demikian hak dalam Islam tidaklah bersifat mutlak dan tanpa
batas, namun ia bersifat terikat dengan harus berada dalam koridor ketentuan syara’.[58]
Sumber hukum perlindungan konsumen dalam Islam,
praktis sama dengan sumber hukum Islam yang diakui oleh mayoritas ulama, yaitu:
al-Qur’ān, sunnah, ijma’, dan qiyas. al-Qur’ān
dan sunnah dapat berdiri sendiri sebagai dalil hukum, sedangkan ijma’
dan qiyas tidak dapat berdiri sendiri sebagai dalil hukum, karena proses
ijma’ dan qiyas harus berdasarkan kepada dalil penyandaran dari al-Qur’ān
dan sunnah.[59]
Pembuat
hukum Islam (Allah dan Rasul-Nya) menetapkan hukum Islam bertujuan untuk
merealisasikan kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan, dan menghindarkan
kemafsadatan bagi umat manusia.[60]
حكيم بن
حزام رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : البيعا اذا صدقا و نصحا
بورك لهما فى بيعهما واذا كتما وكذبا نزعت
بركة بيعهما (متفق عليه)
Artinya:
“Hakim bin Hizam Ra. dari Nabi
Saw, ia berkata: Dua orang yang
berjual-beli apabila keduanya jujur dan memberi nasehat maka
keduanya diberkahi dalam jual belinya.
Dan apabila keduanya menyembunyikan dan berdusta maka di cabut berkah jual
belinya”(Muttafaq ‘alaih).[61]
Terkait
dengan ini, Muhammad Abu Zahrah, pakar hukum Islam dari Mesir, mengatakan bahwa
setiap hukum Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu kemaslahatan. Tidak ada
perintah dalam al-Qur’ān dan Sunnah yang tidak memiliki
kemaslahatan yang hakiki, meskipun kemaslahatan itu tidak tampak dengan jelas.
Kemaslahatan di sini adalah kemaslahatan hakiki yang bersifat umum dan tidak
didasarkan pada pemenuhan hawa nafsu.[62]
al-Syathibi,
seorang pakar hukum Islam dari kalangan Mazhab Maliki, mengembangkan doktrin maqāṣid
asy-syarī’ah (tujuan hukum Islam) dengan menjelaskan bahwa tujuan akhir
hukum Islam adalah satu, yaitu kemaslahatan atau kebaikan dan kesejahteraan
umat manusia. Pendapat al-Syathibi didasarkan pada prinsip bahwa Tuhan
melembagakan hukum Islam demi kemaslahatan manusia, baik jangka pendek maupun
jangka panjang.[63] Dalam
hukum Islam, kemaslahatan tersebut mempunyai beberapa asas yang dituangkan di
dalam hukum ḍarūriy atau hal yang pokok dalam kehidupan manusia, hukum hājjiy
yaitu hukum yang menselaraskan dengan kebutuhan manusia serta hukum tahsīnī yang merupakan unsur keindahan hidup yang
merupakan pelengkap dalam kehidupan manusia.[64]
1.
Asas ḍarūriy
Asas ḍarūriy
ini berhubungan erat dengan pelaksanaan kaidah-kaidah ajaran lima. Adapun pokok
kaidah lima itu dapat diperincikan sebagai berikut:
a.
Addīn (agama),
yaitu menegakkan syariat dan agama.
b.
Annafs (jiwa), yaitu
ajaran dan hukum yang berhubungan dengan pemeliharaan dan penjagaan jiwa raga.
c.
Al-‘iriḍ (keturunan),
yaitu menjaga dan memelihara kehormatan dan keturunan manusia.
d.
Al-‘aqal (akal),
yaitu menjaga kejernihan akal dan pikiran.
2.
Asas hājjiy
Syara’
mensyariatkan hukum-hukum hājjiy untuk memudahkan manusia, guna
menghindari mereka dari kesempitan dan kepicikan, dan memudahkan buat mereka
jalan-jalan mu’amalah, baik mengenai aturan-aturan perjanjian,
perikatan, pertukaran dan sebagainya dalam segala lapangan dan aspek kehidupan.
3.
Asas
tahsīnī
Asas
tahsīnī merupakan suatu hukum yang ditujukan untuk menegakkan muruah dan
adab, dan melaksanakan suatu perkara menurut cara yang lebih baik.[66]
[1]Gemala Dewi dkk, Hukum
Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006),
Cet. ke-2, h. 1
[2]Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem
Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 221.
[3]Salim
H S, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), (Jakarta
: Sinar Grafika, 2006), cet ke-IV, h. 25-27
[6]Fayruz Abadyy Majd Al-
Din Muhammad Ibn Ya’qub, Al- Qamus
al- Muhit, (Beirut: D Jayl), Jilid 1, h. 327
[8]Chairuman
Pasaribu dan Suhrawadi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), h. 1
[9]Mariam
Darus Badrulzman (et al), Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2001), h. 247
[10]Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian
Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Citra Media, 2006), cet. ke-1, h.19
[11]Fathurrahman
Djamil (et al), Hukum
Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum
Perikatan , (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001), h. 248
[12]
Departemen Agama, Op. Cit., h. 45
[13]As-Sanhuri, Nadhariyatul Aqd. Dalam TM. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: Pustaka Rizki Putra),
Cet. ke-IV, Edisi II, h. 26
[14]
Hendi Suhendi, Fiqih Mu’amalah, (Jakarta , PT. Raja Grafindo Persada,
2008), h. 46
[15]
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam),
(Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 65
[16]
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, ( Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 77
[18]Ibnu Katsir, Muhtasar Tafsir Ibnu Katsir, terj.
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, (Surabaya: t.tp, 2004), Juz II, h. 3.
[19]Abdul Wahab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj.
Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib, (Semarang: Toha Putra Group, 1994),
h. 305.
[20]Abdur Rahman I.Doi, Syari’ah The Islamic Law, terj.
Zaimuddin dan Rusydi Sulaiman, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h.
16.
[21]
Pasal 1320 KUH Perdata
[22]Abdul Azis Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum
Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), Jilid 5, h. 1510
[23]Ibid.,
h. 1691
[25]Ibid.,
h. 25
[27]Teungku Muhammad Hasbi Ash- Shiddiqy, Op.Cit,
h. 23
[28]Haroen
Nasroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 25
[29]Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), edisi ke-3, h. 70
[30]Ibid.,
h. 896
[31]Mohammad Daud Ali, Hukum
Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000), cet.8, h.
50-52
[32]Salim,
H S, Op. Cit., h. 9
[33]Tim
Naskah Akademis BPHN, Naskah Akademis Lokakarya Hukum Perikatan,
(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1985)
[34]Ibid.
[35]
Gemala Dewi, dkk, Op.Cit., h. 213-218
[36]Pusat
pengkajian hukum Islam dan masyarakat madani,
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: Kencana, 2009), h.
20-22
[37]John
M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama), h. 144 dan 552.
[38]Afrida Nasution, Perjanjian (Klausula) Baku Menjerat Konsumen, http://jucticeforall.blogspot.com, 05/06/
2014, 15:03
[39]Hasanuddin
Rahman, Contract Drafting, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h. 197
[40]Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, ( Bandung: Alumni, 1994), h. 56
[41]UU.
No. 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Op. Cit., h. 3
[42]UU.
No. 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Op. Cit., h. 12
[43]Burhanuddin
S, Op. cit, h. 42
[44]Gemala
Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam
Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),
h. 206-207.
[45]Sudikno Mertokusumo, Penemuan
Hukum : Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), h. 90
[46]Zulham,
Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: kencana, 2013), h. 21
[47]UU.
No. 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Op. Cit., h. 2
[48]UU
No. 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Op. Cit., h. 4
[49]Ibid.,
h. 4
[50]Adrianus
Meliala, Praktik Bisnis Curang, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h.152
[51]Yusuf
Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h. 30
[52]Husni
Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung:
Mandar Maju, 2000), h.7
[53]UU.
No. 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Op. Cit., h. 30
[54]Ibid,.
[55]Az.
Nasution, Hukum
Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), (Jakarta: Media, 2006), Cet.2, h. 22-23
[56]Ibid
., h. 4
[57]
Mu’jam Al-Wasith, Majma ‘al Lughat al Arabiyyah. (Mesir: Dar al-Ma’rifah, 1972), h.
102
[58]Muhammad
dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam,
(Yogyakarta: BPFE, 2004), h. 30
[59]
Wahbah al-Zuhailiy, Ushul fiqh al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986),
Jilid I, h. 558
[60]
Mukhtar Yahya dan
Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islami. (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), Cet. 3, h. 333
[61]
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-Bukhari, (Beirut: Dar al-fikri,
1994), jilid 1, h. 85.
[62]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabiy,
1958), Cet. 1, h. 366.
[63]
Mas’ud, Muhammad Khalid, Filsafat
Hukum Islam dan Perubahan Sosial. Terj. oleh Yudian W. Asmin.. (Surabaya:
Al Ikhlas, 1995), Cet. 1, h. 225
[64]Dahlan
Idhamy, Karekteristik Hukum Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), h. 20
[65]Ibid.,
h. 21-28
[66]Ibid.,
h. 21-34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar