Sabtu, 10 November 2018

Perkara ekonomi syariah dalam kewenangan Pengadilan Agama



A.   Pengertian Ekonomi Syariah
Pasal 1 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Ekonomi Syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang berbdan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut perinsip syariah di pasal .

B.   Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah
MA mengeluarkan Perma 14/2016 tentang Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah setelah mempertimbangkan signifikannya perkembangan dunia usaha yang menggunakan akad-akad syariah. Faktanya, tidak sedikit terjadi sengketa di antara para pelaku ekonomi syariah. MA menyadari, masyarakat membutuhkan prosedur penyelesaian sengketa yang lebih sederhana, cepat dan biaya ringan. Namun sayangnya, ketentuan hukum acara yang ada saat ini, baik dalam HIR maupun RBg, tidak membedakan tata cara pemeriksaan antara nilai objek materiil yang jumlahnya besar dan kecil, sehingga penyelesaian perkaranya memerlukan waktu yang lama. kewenangan peradilan agama di bidang ekonomi syariah pada pasal 13 di situ disebutkan, pelaksanaan putusan perkara ekonomi syariah, hak tanggungan dan fidusia berdasarkan akad syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.  Berkenaan dengan teknis peradilan, Perma 14/2016 memberikan dua kemungkinan penanganan perkara ekonomi syariah: cara sederhana dan cara biasa. Jika nilainya kurang atau sama dengan Rp 200 juta, maka ditangani dengan cara sederhana. Sebaliknya, jika nilainya lebih dari itu, ditangani dengan cara biasa. Sebelumnya, sejak adanya UU 3/2006, seluruh sengketa ekonomi syariah, berapapun nilainya, diselesaikan dengan cara biasa.

C.   Perbandingan Cara Sederhana dan Cara Biasa

Aspek
Cara Sederhana
Cara Biasa
Nilai gugatan
Paling banyak Rp 200 juta
Lebih dari Rp 200 juta
Domisili para pihak
Penggugat dan tergugat berdomisili di wilayah hukum yang sama
Penggugat dan tergugat tidak harus berdomisili di wilayah hukum yang sama
Jumlah para pihak
Penggugat dan tergugat masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali punya kepentingan hukum yang sama
Penggugat dan tergugat masing-masing boleh lebih dari satu
Alamat tergugat
Harus diketahui
Tidak harus diketahui
Pendaftaran perkara
Menggunakan blanko gugatan
Membuat surat gugatan
Pengajuan bukti-bukti
Harus bersamaan dengan pendaftaran perkara
Pada saat sidang beragenda pembuktian
Pendaftaran perkara, penunjukan hakim dan panitera sidang
Paling lama 2 hari
Paling lama   hari
Pemeriksa dan pemutus
Hakim tunggal
Majelis hakim
Pemeriksaan pendahuluan
Ada
Tidak ada
Mediasi
Tidak ada
Ada
Kehadiran para pihak
Penggugat dan tergugat wajib menghadiri setiap persidangan secara langsung (impersonal), meski punya kuasa hukum
Penggugat dan tergugat tidak wajib menghadiri setiap persidangan secara langsung (impersonal)
Konsekwensi ketidakhadiran penggugat pada sidang pertama tanpa alasan yang sah
Gugatan dinyatakan gugur
Gugatan tidak dinyatakan gugur
Pemeriksaan perkara
Hanya gugatan dan jawaban
Dimungkinkan adanya tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik, dan kesimpulan
Batas waktu penyelesaian perkara
25 hari sejak sidang pertama
5 bulan
Penyampaian putusan
Paling lambat 2 hari sejak putusan diucapkan
Paling lambat 7 hari sejak putusan diucapkan
Upaya hukum dan batas waktu penyelesaiannya
Keberatan (7 hari sejak majelis hakim ditetapkan)
Banding (3 bulan), kasasi (3 bulan) dan peninjauan kembali (3 bulan)
Batas waktu pendaftaran upaya hukum
7 hari sejak putusan diucapkan atau diberitahukan
14 hari sejak putusan diucapkan atau diberitahukan
Kewenangan pengadilan tingkat banding dan MA
Tidak ada
Ada
Penanganan perkara ekonomi syariah dengan cara sederhana mengacu kepada Perma 2/2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana atau biasa dikenal dengan istilah small claims court. Sementara itu, penanganan perkara ekonomi syariah dengan cara biasa tetap mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Baik dalam hal gugatan sederhana maupun gugatan biasa, penggugat dapat mengajukan perkaranya dengan datang ke kepaniteraan PA. Bedanya, jika hendak mendaftarkan gugatan sederhana, penggugat cukup mengisi formulir atau blanko gugatan yang disediakan pengadilan. Isinya menguraikan identitas penggugat dan tergugat; penjelasan ringkas duduk perkara (posita); dan tuntutan penggugat (petitum). Selain itu, ketika mendaftarkan perkaranya, penggugat wajib melampirkan bukti surat yang sudah dilegalisasi. Mengenai formulir atau blanko gugatan, sebagian pengadilan sudah menyediakannya dan sebagian yang lain belum. Biasanya, blanko-blanko gugatan itu dibuat dalam beberapa versi, mengikuti jenis-jenis perkara yang menjadi kompetensi absolut peradilan agama. Hanya, sejauh ini memang belum ada regulasi yang mengaturnya, sehingga formatnya bervariasi. Bukti-bukti surat dari penggugat, dalam gugatan sederhana, wajib dilampirkan pada surat gugatan pada saat mendaftarkan gugatan. Hal ini sejalan dengan konsep dasar small claims court, yang hanya membebankan penggugat untuk mengurai fakta hukum beserta bukti-buktinya, tanpa perlu pusing dengan urusan dasar hukum. Selain itu, keharusan menyediakan bukti-bukti saat pendaftaran bertujuan untuk memberikan kesempatan yang lebih dini kepada tergugat untuk menyiapkan jawaban. Dengan begitu, pemeriksaan perkara gugatan sederhana bisa lebih hemat waktu. Jika tergolong small claims court, ketua pengadilan Agama cukup menunjuk satu orang hakim, sedangkan jika termasuk gugatan biasa, Ketua Pengadilan Agama menunjuk Majelis Hakim. Hakim tunggal dalam perkara gugatan sederhana dan Majelis Hakim dalam perkara gugatan biasa harus sudah bersertifikat. Artinya, mereka harus lulus dalam sertifikasi hakim ekonomi syariah yang diselenggarakan MA, berdasarkan Perma 5/2016. Kalau di Pengadilan Agama tersebut belum ada hakim yang bersertifikat, maka Ketua Pengadilan Agama dapat menunjuk hakim yang pernah mengikuti diklat fungsional ekonomi syariah.
Hal-hal lain berkaitan dengan gugatan sederhana dalam perkara ekonomi syariah yang perlu pengaturan lebih spesifik  di antaranya adalah format blanko gugatan sederhana, komponen-komponen dan nominal panjar biaya perkara, register perkara khusus ekonomi syariah sederhana dengan format  nomor register Pdt.GS , format penetapan oleh hakim tunggal mengenai kelayakan berperkara secara sederhana, format berita acara sidang dan putusan, juga prosedur dan biaya upaya hukum keberatan.

D.   Choice of Forum /Choice of Jurisdiction:
  1. Di luar Pengadilan (Non Litigasi):
a.    Musyawarah/ Negosiasi
b.    Mediasi : Mediasi Perbankan 
c.    Arbitrase :BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional)
  1. Di dalam Pengadilan (Litigasi) : Pengadilan Agama
Fatwa DSN-MUI selalu memuat ketentuan bahwa jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Basyarnas setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Kini, jika mengalami sengketa di bidang ekonomi syariah, masyarakat dapat memilih jalur non-litigasi melalui Basyarnas atau jalur litigasi melalui Peradilan Agama. Jika membutuhkan penetapan eksekusi, Basyarnas akan meminta kepada Pengadilan Agama, bukan Pengadilan Negeri.

E.    Akibat Hukum dari putusan MK No.93/PUU-X/2012 yang membatalkan pasal 55 ayat (2) UU No.21/2008 tentang Perbankan Syariah yang bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945

Pasal 55 Ayat (2) UU 21 TAHUN 2008 Tentang Perbankan Syariah ada opsi Choice of Forum dengan klausul‘penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad’ Dan yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:
a.    musyawarah;
b.    mediasi perbankan;
c.    melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
d.    melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
Sebenarnya  pasal 55 ayat (2) UU 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah itu telah menggunakan asas kebebasan berkontrak atau didalam Islam disebut asas al hurriyah, akan tetapi   karena Pasal 55 ayat (2) UU 21 Tahun 2008 bertentangan dengan Pasal 28 D UUD 1945 ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum“  Akhirnya diajukan Yudicial Review yang hasil akhirnya Mahkamah Konstitusi membuat keputusan atas perkara No 93/PUU-X/2012  Yang menyatakan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Akibat  hukum  terhadap Pasal 55 Ayat  (2)  Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah  Setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012 yang menjelaskan bahwa penjelasan pasal 55 ayat (2) Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka para pihak baik bank syariah dan nasabah tidak lagi harus mengikuti penjelasan pasal 55 ayat (2) dalam memilih  penyelesaian sengketa secara non-litigasi, walaupun demikian musyawarah masih tetap menjadi pilihan alternatif utama penyelesaian sengketa perbankan syariah sebelum membawa sengketa ke tingkat selanjutnya. Musyawarah menjadi opsi awal bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah dikarenakan musyawarah merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Musyawarah merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah baik yang tidak berwenang mengambil keputusan maupun yang berwenang mengambil keputusan. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 menjadi kewenangan mutlak penyelesaian sengketa Perbankan Syari’ah adalah Pengadilan Agama, bukan Pengadilan Negeri.

F.    KHES Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah
sebagai landasan hukum mengadili sengketa, Ketua MA yang ketika itu dijabat oleh Bagir Manan, mengeluarkan surat keputusan Nomor: KMA/097/SK/X/2006 tanggal 20 Oktober 2006 tentang pembentukan Tim Penyusun Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Tim tersebut bertugas menghimpun dan mengolah materi yang relevan, menyusun draf naskah KHES, menyelenggarakan seminar yang mengkaji draf naskah dengan melibatkan unsur lembaga, ulama dan pakar ekonomi syariah. Tahun 2008, diterbitkanlah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2008 tentang KHES sebagai pedoman dan landasan hukum bagi hakim peradilan agama dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Sampai tahun 2013 terdapat 15 perkara di bidang ekonomi syariah yang diputuskan oleh pengadilan agama. Sejauh ini KHES telah menjadi rujukan bagi pertimbangan hukum  para hakim agama yang menangani sengketa tersebut, meskipun jumlah perkara yang diadili di pengadilan agama masih sangat minim dibandingkan jumlah perkara secara keseluruhan. Selain KHES, fatwa DSN menjadi salah satu dasar pertimbangan para hakim. Pembentukan KHES disadari masih meninggalkan beberapa yang harus disikapi guna memperkuat kedudukan dari KHES. KHES sebagai pedoman prinsip syariah bagi hakim pengadilanpAgama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang  berkaitan dengan ekonomi syariah diterbitkan dalam bentuk PERMA. Hal ini untuk mengisi kekurangan atau kekosongan undang-undang dalam menjalankan praktik  peradilan dan untuk menghindari disparitas dalam memberikan keadilan yang menyebabkan kepastian hukum tidak terwujud. Meskipun dari sisi hirakhi peraturan perundang-undangan, PERMA merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum imperatif, selayaknya peningkatan instrumen hukum dari PERMA kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat diupayakan lebih lanjut guna kepastian hukum. Wacana ini hakikatnya tidak semata-mata bagi KHES tapi juga bagi KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang menjadi dasar atau pedoman bagi hakim pengadilan agama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang berkaitan kewenangan Peradilan Agama yang lain seperti nikah, talak, waris, wasiat, dan hibah.

G.   Peran Basyarnas Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Dengan dibatalkannya penjelasan pasal 55 ayat (2) tersebut maka ketegasan dan kepastian hukum telah ditetapkan dan berdampak positif pula terhadap pengakuan atas Basyarnas. Bahkan posisi tersebut perlu diperkuat dengan menjalian kerjasama antara Pengadilan Agama dan Basyarnas. Hal diperlukan karena proses eksekusi putusan Basyarnas memerlukan perintah pengadilan. Dengan menjalin hubungan dengan Pengadilan Agama supaya putusan kesepakatan yang dibuat oleh Basyarnas bisa mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga bisa mengantisipasi apabila ada yang melanggar kesepakatan yang telah ditetapkan oleh Basyarnas.  Kelemahan mendasar dari putusan Basyarnas adalah proses eksekusinya memerlukan perintah Pengadilan. Inilah kemudian bila tidak terjadi kesepakatan maka para pihak lebih memilih jalur litigasi disbanding arbitrase di Basyarnas. Bahkan dengan dikuatkannya kewenangan absolut Pengadilan Agama dalam sengketa ekonomi, terdapat kecenderungan pihak Lembaga Keuangan Syariah (LKS) lebih memilih jalur litigasi di Pengadilan Agama bila tidak tercapai mufakat dibanding memilih jalur arbitrase di Basyarnas. Basyarnas memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai lembaga arbitrase. Kelebihan yang dimiliki adalah: pertama, putusan Basyarnas bersifat final and binding. Kedua, Putusannya lebih cepat dibanding Pengadilan. Ketiga, penyelesaiannya bersifat rahasia, tidak dipublikasi sehingga bisa menjaga nama baik para pihak terutama Bank. Namun terdapat kekurangan yang dimiliki Basyarnas. Pertama, biaya penyelesaian sengketa lebih mahal dibandingkan Pengadilan Agama, Kedua, Basyarnas tidak memiliki jurusita sehingga ketika sudah ada putusan tidak bisa langsung eksekusi. Ketiga, putusannya tidak berkekuatan hukum tetap bila para pihak terjadi ingkar, sehingga proses eksekusinya diperlukan perintah Pengadilan Agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar