A.
Pengertian Ekonomi Syariah
Pasal 1 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Ekonomi
Syariah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang, kelompok
orang, badan usaha yang berbdan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka
memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut perinsip
syariah di pasal .
B.
Penyelesaian
Perkara Ekonomi Syariah
MA mengeluarkan Perma 14/2016 tentang
Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah setelah mempertimbangkan signifikannya
perkembangan dunia usaha yang menggunakan akad-akad syariah. Faktanya, tidak
sedikit terjadi sengketa di antara para pelaku ekonomi syariah. MA menyadari,
masyarakat membutuhkan prosedur penyelesaian sengketa yang lebih sederhana,
cepat dan biaya ringan. Namun sayangnya, ketentuan hukum acara yang ada saat
ini, baik dalam HIR maupun RBg, tidak membedakan tata cara pemeriksaan antara
nilai objek materiil yang jumlahnya besar dan kecil, sehingga penyelesaian
perkaranya memerlukan waktu yang lama. kewenangan peradilan agama di bidang
ekonomi syariah pada pasal 13 di situ disebutkan, pelaksanaan putusan perkara
ekonomi syariah, hak tanggungan dan fidusia berdasarkan akad syariah dilakukan
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Berkenaan dengan teknis peradilan, Perma
14/2016 memberikan dua kemungkinan penanganan perkara ekonomi syariah: cara
sederhana dan cara biasa. Jika nilainya kurang atau sama dengan Rp 200 juta,
maka ditangani dengan cara sederhana. Sebaliknya, jika nilainya lebih dari itu,
ditangani dengan cara biasa. Sebelumnya, sejak adanya UU 3/2006, seluruh
sengketa ekonomi syariah, berapapun nilainya, diselesaikan dengan cara biasa.
C.
Perbandingan
Cara Sederhana dan Cara Biasa
Aspek
|
Cara Sederhana
|
Cara Biasa
|
Nilai gugatan
|
Paling banyak Rp 200 juta
|
Lebih dari Rp 200
juta
|
Domisili para pihak
|
Penggugat dan tergugat berdomisili di wilayah hukum yang sama
|
Penggugat dan tergugat tidak harus berdomisili di wilayah
hukum yang sama
|
Jumlah para pihak
|
Penggugat dan tergugat masing-masing tidak boleh lebih
dari satu, kecuali punya kepentingan hukum yang sama
|
Penggugat dan tergugat masing-masing boleh lebih dari satu
|
Alamat tergugat
|
Harus diketahui
|
Tidak harus diketahui
|
Pendaftaran perkara
|
Menggunakan blanko gugatan
|
Membuat surat gugatan
|
Pengajuan bukti-bukti
|
Harus bersamaan dengan pendaftaran perkara
|
Pada saat sidang beragenda pembuktian
|
Pendaftaran perkara, penunjukan hakim dan panitera sidang
|
Paling lama 2 hari
|
Paling lama hari
|
Pemeriksa dan pemutus
|
Hakim tunggal
|
Majelis hakim
|
Pemeriksaan pendahuluan
|
Ada
|
Tidak ada
|
Mediasi
|
Tidak ada
|
Ada
|
Kehadiran para pihak
|
Penggugat dan tergugat wajib menghadiri setiap persidangan
secara langsung (impersonal), meski punya kuasa hukum
|
Penggugat dan tergugat tidak wajib menghadiri setiap
persidangan secara langsung (impersonal)
|
Konsekwensi ketidakhadiran penggugat pada sidang pertama
tanpa alasan yang sah
|
Gugatan dinyatakan gugur
|
Gugatan tidak dinyatakan gugur
|
Pemeriksaan perkara
|
Hanya gugatan dan jawaban
|
Dimungkinkan adanya tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi,
intervensi, replik, duplik, dan kesimpulan
|
Batas waktu penyelesaian perkara
|
25 hari sejak sidang pertama
|
5 bulan
|
Penyampaian putusan
|
Paling lambat 2 hari sejak putusan diucapkan
|
Paling lambat 7 hari sejak putusan diucapkan
|
Upaya hukum dan batas waktu penyelesaiannya
|
Keberatan (7 hari sejak majelis hakim ditetapkan)
|
Banding (3 bulan), kasasi (3 bulan) dan peninjauan kembali
(3 bulan)
|
Batas waktu pendaftaran upaya hukum
|
7 hari sejak putusan diucapkan atau diberitahukan
|
14 hari sejak putusan diucapkan atau diberitahukan
|
Kewenangan pengadilan tingkat banding dan MA
|
Tidak ada
|
Ada
|
Penanganan
perkara ekonomi syariah dengan cara sederhana mengacu kepada Perma 2/2015
tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana atau biasa dikenal dengan
istilah small claims court. Sementara itu, penanganan perkara ekonomi
syariah dengan cara biasa tetap mengacu kepada peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Baik
dalam hal gugatan sederhana maupun gugatan biasa, penggugat dapat mengajukan
perkaranya dengan datang ke kepaniteraan PA. Bedanya, jika hendak mendaftarkan
gugatan sederhana, penggugat cukup mengisi formulir atau blanko gugatan yang
disediakan pengadilan. Isinya menguraikan identitas penggugat dan tergugat;
penjelasan ringkas duduk perkara (posita); dan tuntutan penggugat (petitum).
Selain itu, ketika mendaftarkan perkaranya, penggugat wajib melampirkan bukti
surat yang sudah dilegalisasi. Mengenai
formulir atau blanko gugatan, sebagian pengadilan sudah menyediakannya dan
sebagian yang lain belum. Biasanya, blanko-blanko gugatan itu dibuat dalam
beberapa versi, mengikuti jenis-jenis perkara yang menjadi kompetensi absolut
peradilan agama. Hanya, sejauh ini memang belum ada regulasi yang mengaturnya,
sehingga formatnya bervariasi. Bukti-bukti
surat dari penggugat, dalam gugatan sederhana, wajib dilampirkan pada surat
gugatan pada saat mendaftarkan gugatan. Hal ini sejalan dengan konsep dasar small
claims court, yang hanya membebankan penggugat untuk mengurai fakta hukum
beserta bukti-buktinya, tanpa perlu pusing dengan urusan dasar hukum. Selain
itu, keharusan menyediakan bukti-bukti saat pendaftaran bertujuan untuk
memberikan kesempatan yang lebih dini kepada tergugat untuk menyiapkan jawaban.
Dengan begitu, pemeriksaan perkara gugatan sederhana bisa lebih hemat waktu. Jika tergolong small claims court,
ketua pengadilan Agama cukup
menunjuk satu orang hakim, sedangkan jika termasuk gugatan biasa, Ketua Pengadilan Agama menunjuk Majelis Hakim. Hakim tunggal dalam perkara
gugatan sederhana dan Majelis
Hakim
dalam perkara gugatan biasa harus sudah bersertifikat. Artinya, mereka harus
lulus dalam sertifikasi hakim ekonomi syariah yang diselenggarakan MA,
berdasarkan Perma 5/2016. Kalau di Pengadilan Agama tersebut belum ada hakim yang
bersertifikat, maka Ketua
Pengadilan Agama dapat menunjuk hakim yang pernah
mengikuti diklat fungsional ekonomi syariah.
Hal-hal
lain berkaitan dengan gugatan sederhana dalam perkara ekonomi syariah yang
perlu pengaturan lebih spesifik di antaranya adalah format blanko gugatan
sederhana, komponen-komponen dan nominal panjar biaya perkara, register perkara
khusus ekonomi syariah sederhana dengan format
nomor register Pdt.GS , format penetapan oleh hakim tunggal mengenai
kelayakan berperkara secara sederhana, format berita acara sidang dan putusan,
juga prosedur dan biaya upaya hukum keberatan.
D.
Choice
of Forum /Choice of Jurisdiction:
- Di luar Pengadilan (Non Litigasi):
a.
Musyawarah/ Negosiasi
b.
Mediasi : Mediasi Perbankan
c.
Arbitrase :BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional)
- Di dalam Pengadilan (Litigasi) : Pengadilan Agama
Fatwa DSN-MUI selalu memuat ketentuan bahwa jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Basyarnas setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah. Kini, jika mengalami sengketa di bidang ekonomi
syariah, masyarakat dapat memilih jalur non-litigasi melalui Basyarnas atau
jalur litigasi melalui Peradilan Agama. Jika membutuhkan penetapan eksekusi,
Basyarnas akan meminta kepada Pengadilan Agama, bukan Pengadilan Negeri.
E.
Akibat Hukum dari putusan MK
No.93/PUU-X/2012 yang membatalkan pasal 55 ayat (2) UU No.21/2008 tentang
Perbankan Syariah yang bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945
Pasal 55 Ayat (2) UU
21 TAHUN 2008 Tentang Perbankan Syariah ada opsi Choice of Forum dengan
klausul‘penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad’ Dan yang dimaksud dengan “penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:
a.
musyawarah;
b.
mediasi perbankan;
c.
melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau
lembaga arbitrase lain; dan/atau
d.
melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
Sebenarnya pasal 55 ayat (2) UU 21 Tahun 2008 tentang
perbankan syariah itu telah menggunakan asas kebebasan berkontrak atau didalam
Islam disebut asas al hurriyah, akan tetapi karena Pasal 55 ayat (2) UU 21 Tahun 2008 bertentangan
dengan Pasal 28 D UUD 1945 ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum“ Akhirnya diajukan
Yudicial Review yang hasil akhirnya Mahkamah Konstitusi membuat keputusan atas
perkara No 93/PUU-X/2012 Yang menyatakan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat
(2) UU 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Akibat hukum terhadap Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah Setelah keluarnya putusan Mahkamah
Konstitusi No.93/PUU-X/2012 yang menjelaskan bahwa penjelasan pasal 55 ayat (2)
Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka
para pihak baik bank syariah dan nasabah tidak lagi harus mengikuti penjelasan
pasal 55 ayat (2) dalam memilih penyelesaian sengketa secara
non-litigasi, walaupun demikian musyawarah masih tetap menjadi pilihan alternatif
utama penyelesaian sengketa perbankan syariah sebelum membawa sengketa ke
tingkat selanjutnya. Musyawarah menjadi opsi awal bagi penyelesaian sengketa
perbankan syariah dikarenakan musyawarah merupakan komunikasi dua arah yang
dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki
berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Musyawarah merupakan sarana
bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa
keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah baik yang tidak berwenang mengambil
keputusan maupun yang berwenang mengambil keputusan. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi No.
93/PUU-X/2012 menjadi kewenangan mutlak penyelesaian sengketa Perbankan
Syari’ah adalah Pengadilan Agama, bukan Pengadilan Negeri.
F.
KHES Dalam Menyelesaikan Sengketa
Ekonomi Syariah
sebagai landasan hukum
mengadili sengketa, Ketua MA yang ketika itu dijabat oleh
Bagir Manan, mengeluarkan surat keputusan Nomor: KMA/097/SK/X/2006 tanggal 20
Oktober 2006 tentang pembentukan Tim Penyusun Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES). Tim tersebut bertugas menghimpun dan mengolah materi yang relevan,
menyusun draf naskah KHES, menyelenggarakan seminar yang mengkaji draf naskah
dengan melibatkan unsur lembaga, ulama dan pakar ekonomi syariah. Tahun 2008,
diterbitkanlah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2008 tentang KHES
sebagai pedoman dan landasan hukum bagi hakim peradilan agama dalam memeriksa,
memutus dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Sampai tahun 2013 terdapat
15 perkara di bidang ekonomi syariah yang diputuskan oleh pengadilan agama.
Sejauh ini KHES telah menjadi rujukan bagi pertimbangan
hukum para
hakim agama yang menangani sengketa tersebut, meskipun jumlah perkara yang
diadili di pengadilan agama masih sangat minim dibandingkan jumlah perkara
secara keseluruhan. Selain KHES, fatwa DSN menjadi salah satu dasar
pertimbangan para hakim. Pembentukan KHES disadari masih meninggalkan beberapa
yang harus disikapi guna memperkuat kedudukan dari KHES. KHES sebagai pedoman
prinsip syariah bagi hakim pengadilanpAgama dalam memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah diterbitkan
dalam bentuk PERMA. Hal ini untuk mengisi kekurangan atau kekosongan
undang-undang dalam menjalankan praktik peradilan dan untuk menghindari
disparitas dalam memberikan keadilan yang menyebabkan kepastian hukum tidak
terwujud. Meskipun dari sisi hirakhi peraturan perundang-undangan, PERMA
merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum
imperatif, selayaknya peningkatan instrumen hukum dari PERMA kepada peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dapat diupayakan lebih lanjut guna
kepastian hukum. Wacana ini hakikatnya tidak semata-mata bagi KHES tapi juga
bagi KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang menjadi dasar atau pedoman bagi hakim
pengadilan agama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang
berkaitan kewenangan Peradilan Agama yang lain seperti nikah, talak, waris,
wasiat, dan hibah.
G.
Peran Basyarnas Dalam Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah
Dengan
dibatalkannya penjelasan pasal 55 ayat (2) tersebut maka ketegasan dan
kepastian hukum telah ditetapkan dan berdampak positif pula terhadap pengakuan
atas Basyarnas. Bahkan posisi tersebut perlu diperkuat dengan menjalian
kerjasama antara Pengadilan Agama dan Basyarnas. Hal diperlukan karena proses
eksekusi putusan Basyarnas memerlukan perintah pengadilan. Dengan menjalin
hubungan dengan Pengadilan Agama supaya putusan kesepakatan yang dibuat oleh
Basyarnas bisa mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga bisa mengantisipasi
apabila ada yang melanggar kesepakatan yang telah ditetapkan oleh
Basyarnas. Kelemahan mendasar dari
putusan Basyarnas adalah proses eksekusinya memerlukan perintah Pengadilan.
Inilah kemudian bila tidak terjadi kesepakatan maka para pihak lebih memilih
jalur litigasi disbanding arbitrase di Basyarnas. Bahkan dengan dikuatkannya
kewenangan absolut Pengadilan Agama dalam sengketa ekonomi, terdapat
kecenderungan pihak Lembaga Keuangan Syariah (LKS) lebih memilih jalur litigasi
di Pengadilan Agama bila tidak tercapai mufakat dibanding memilih jalur
arbitrase di Basyarnas. Basyarnas memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai
lembaga arbitrase. Kelebihan yang dimiliki adalah: pertama, putusan Basyarnas bersifat
final and binding. Kedua, Putusannya lebih cepat dibanding Pengadilan. Ketiga,
penyelesaiannya bersifat rahasia, tidak dipublikasi sehingga bisa menjaga nama
baik para pihak terutama Bank. Namun terdapat kekurangan yang dimiliki
Basyarnas. Pertama, biaya penyelesaian sengketa lebih mahal dibandingkan
Pengadilan Agama, Kedua, Basyarnas tidak memiliki jurusita sehingga ketika
sudah ada putusan tidak bisa langsung eksekusi. Ketiga, putusannya tidak
berkekuatan hukum tetap bila para pihak terjadi ingkar, sehingga proses
eksekusinya diperlukan perintah Pengadilan Agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar