A.
Pengertian Isbat Nikah
Itsbat
nikah diambil dari bahasa Arab dan merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua
kata yaitu itsbat dan nikah, dalam sistem gramatikal Bahasa Arab disebut
kalimah idhofah. Secara bahasa itsbat artinya penetapan dan nikah berarti
perkawinan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, itsbat nikah adalah
penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah. Secara istilah berdasarkan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Itsbat nikah adalah pengesahan
atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan
tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang berwenang
B.
Proses penerimaan perkara isbat nikah
1. Pemeriksaan
berkas perkara isbat nikah
Berdasarkan pasal 7 Inpres No 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam Isbat
nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan (Pasal
7 angka 3 KHI) :
a.
Adanya perkawinan dalam rangka
penyelesaian perceraian;
b.
Hilangnya Akta Nikah, untuk
mengitsbatkan pernikahan yang telah ada Akta Nikahnya, namun ternyata kemudian
Akta Nikah tersebut hilang, sehingga fungsi itsbat nikah disini adalah sebagai
pengganti Akta Nikah yang hilang;
c.
Adanya keraguan tentang sah atau
tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d.
Adanya perkawinan yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan;
e.
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka
yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974,
Ketika itsbat nikah dengan
alasan Pasal 7 angka 3 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, yaitu perkawinan dalam rangka
penyelesaian perceraian, perkara itsbat nikah bukanlah perkara pokok, sehingga
pengajuannya ke Pengadilan Agama dikumulasi (digabung) dengan perkara
perceraian sebgai perkara pokok, oleh karena itu dalam hal ini prioritas
perkara adalah gugatan perceraian, sehingga itsbat nikah dalam hal ini
dikelompokkan dalam jenis perkara gugatan. Apabila pengajuan perkara itsbat
nikah dengan alasan Pasal 7 angka 1 huruf (b), (c), (d), dan (e) perkaranya
termasuk dalam kategori permohonan, oleh karena itu penetapan Pengadilan Agama
dalam hal ini tidak dapat diajukan banding, tetapi hanya kasasi.
Perkara permohonan isbat nikah
adalah perkara voluntair murni. Tidak ada pihak termohon didalamnya. Apabila
suami-isteri atau salah satunya yang mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama,
maka kedudukannya adalah sebagai pemohon dalam perkara voluntair, tetapi oleh karena banyak terjadi peyimpangan hukum,
umpamanya untuk mempermudah poligami liar mendapat status hukum legal,
memperoleh hak waris atau hak-hak lain atas kebendaan, dan lain-lain. Mahkamah
agung menetapkan beberapa ketentuan mengenai pengajuan permohonan isbat nikah
sebagaimana pedoman pada buku II edisi 2014 yaitu:
Ø
Permohonan isbat nikah dapat diajukan oleh suami-isteri,
atau salah satunya, anak, wali nikah, atau pihak lain yang berkepentingan
dengan perkawinan tersebut
Ø
Permohonan isbat nikah yang diajukan suami-isteri secara
bersama-sama, merupakan perkara voluntair murni
Ø
Permohonan yang
diajukan oleh salah seorang suami atau isteri bersifat contentious,
pihak yang mengajukan berkedudukan
sebagai pemohon, dan yang tidak mengajukan pemohon sebagai termohon. Produknya
berupa putusan, upaya hukumnya berupa banding
Ø
Apabila pemohon masih terikat dengan isteri lain, maka
isteri lain itu harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika pemohon tidak
bersedia memasukkannya sebagai pihak, maka permohonan isbat nikah harus
dinyatakan tidak dapat diterima / N O
Ø
Permohonan yang diajukan oleh anak, wali nikah, atau
pihak lain, harus dalam bentuk contentious, dengan mendudukkan suami/isteri
atau ahli waris lain sebagai termohon
Ø
Suami atau isteri yang ditinggal mati oleh salah satunya,
jika mengajukan permohonan isbat nikah harus dalam bentuk contentious, dengan
mendudukkan ahli waris lainnya sebagai termohon, jika ahli waris itu dari pihak
yang meninggal atau anak bawaan almarhum. Tetapi jika anak-anak sebagai ahli
waris itu adalah anak almarhum dengan pihak yang mengajukan isbat nikah, maka
perkara diajukan dalam bentuk voluntair murni
Ø
Jika ahli waris yang meninggal tidak diketahui, maka
permohonan diajukan dalam bentuk voluntair.
- Pengajuan Berkas Perkara
Ø
Foto copy KTP Pemohon, Bagi yang
menggunakan Kuasa Hukum, harus menyertakan Surat Kuasa
Ø
Surat permohonan secara tertulis oleh
Pemohon atau Kuasanya (Pasal 142 ayat (1) R. Bg.), Pemohon yang tidak dapat membaca dan
menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan
Agama. selanjutnya Ketua Pengadilan Agama atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua
Pengadilan Agama mencatat permohonan tersebut (Pasal 144 R. Bg.), surat
permohonan dibuat 6 rangkap;
Ø
Pemohon atau kuasanya membayar panjar
biaya perkara (Pasal 145 ayat (4) R. Bg.);
Ø
Permohonan tersebut diberi nomor dan
didaftarkan dalam buku register.
- Panjar Biaya Perkara
Ø
Itsbat nikah yang
menjadi perkara voluntair perhitungan panjar biaya perkara adalah dua kali
biaya panggilan pemohon sesuai radius domisili pemohon ditambah Rp. 91.000
(Biaya Pendaftaran, Biaya Proses, Redaksi dan Materai)
Ø
Itsbat nikah yang
menjadi perkara kontensius perhitungan panjar biaya perkara adalah biaya
panggilan pemohon sebanyak dua kali dan termohon tiga kali (sesuai radius
masing-masing) ditambah Rp. 91.000 (Biaya Pendaftaran, Biaya Proses, Redaksi
dan Materai).
- Relaas Panggilan
Permohonan isbat nikah yang bersifat
voluntair, sebelum Majelis Hakim menetapkan hari sidang, terlebih dahulu
mengumumkan adanya permohonan isbat nikah melalui media massa (Radio ) dalam
waktu 14 (empat belas) hari. Setelah berakhir masa pengumuman Majelis Hakim
menetapkan hari sidang paling lambat 3 (tiga) hari setelah berakhirnya
pengumuman. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Jurusita/Jurusita Pengganti
untuk menghadiri sidang pemeriksaan :
Ø
Pemohon dan Termohon yang berada di wilayah Pengadilan
Agama, dipanggil langsung di tempat kediaman Pemohon dan Termohon, jarak
pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga hari (Pasal 26 ayat (4)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975)
Ø
Pemohon atau Termohon yang berada di luar wilayah
Pengadilan Agama dipanggil melalui Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
kediaman Pemohon atau Termohon, jarak pemanggilan dengan hari sidang
sekurang-kurangnya tiga hari (Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975)
Ø
Pemohon yang tidak diketahui keberadaannya dipanggil
melalui media massa (Radio) sebanyak dua kali, jarak pemanggilan pertama dengan
pemanggilan kedua satu bulan dan jarak pemanggilan kedua dengan hari sidang
sekurang-kurangnya tiga bulan (Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975)
Ø Termohon yang
berada di luar negeri dipanggil melalui departemen luar negeri cq. Dirjen
protokol dan konsuler departemen luar negeri dengan tembusan disampaikan kepada
kedutaan besar Republik Indonesia dan jarak pemanggilan dengan hari sidang
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sejak surat permohonan pemanggilan dikirimkan
C.
Kepastian Hukum Isbat Nikah Terhadap
Status Anak
Sesuai
dengan pembahasan sebelumnya bahwa itsbat nikah hanya dimungkinkan bagi
perkawinan yang tidak ada bukti dicatatkan oleh lembaga berwenang yang memenuhi
peraturan syara’, tentunya isbat nikah yang dilaksanakan akan memberikan
kepastian hukum terhadap status anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.
dalam hal ini, kepastian hukum tentang status anak di antaranya dapat dilihat
dari peraturan berikut ini:
Ø Undang-undang Dasar
Negara RI Tahun 1945, pada Pasal 28-B ayat (1), yaitu: "Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah";
Ø Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 42, yaitu : "Anak sah
adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah";
Ø Pasal 2 ayat (1),
yaitu : "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu";
Ø Pasal 2 ayat (2),
yaitu :"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku "
Ø Pasal 99 KHI,
Anak yang sah adalah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang
sah;
Ø hasil perbuatan
suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Dilihat dari alasan pengajuan
itsbat nikah, alasan utama para pemohon mengajukan permohonan itsbat nikah ke
Pengadilan Agama adalah dalam rangka mengurusan Akta Kelahiran anak-anak mereka
di samping untuk mendapatkan kepastian hukum perkawinan para pemohon itu
sendiri. Ini berarti para orang tua ingin memperjelas status anak-anak mereka
yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat atau tidak dicatatkan pada
Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama. Anak-anak yang lahir dari
perkawinan yang tidak tercatat/dicatatkan, pada Akta Kelahiran yang dikeluarkan
oleh Kantor Catatan Sipil hanya akan mencantumkan nama ibunya sama dengan Akta
Kelahiran anak-anak yang lahir di luar nikah. Konsekuensi hukumnya, kalau
anak perempuan ayahnya tidak dapat menjadi wali nikah apabila akan menikah
karena mereka hanya dinisbahkan kepada ibunya dan/atau keluarga ibunya,
sehingga secara yuridis mereka hanya akan menjadi ahli waris dan mewarisi harta
peninggalan ibunya apabila ibunya telah meninggal dunia, sedangkan kepada
ayahnya sulit untuk menjadi ahli waris dan mewarisi harta ayahnya karena secara
yuridis tidak ada bukti otentik bahwa ia anak ayahnya. Penetapan itsbat nikah
oleh Pengadilan Agama antara lain bertujuan untuk memberikan perlindungan
terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat/dicatatkan. Undang-Undang Perkawinan (UU
No. 1 Tahun 1974) menyebutkan aturan hukum perlindungan anak dalam Pasal 41,
42, 45, 47, 48, dan 49, antara lain berupa status hubungan hukum, pendidikan dan
perawatan, pemeliharaan dan tindakan hukum, dan pemeliharaan hak dan harta bendanya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) perlindungan anak disebutkan dalam
Pasal-pasal 98, 99, 104, 105, dan 106. Dan upaya mempertegas dalam memberikan
perlindungan anak, negara telah melakukannya secara hukum melalui Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ada beberapa hal penting yang
termuat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, antara lain tentang anak,
perlindungan anak dan tujuannya, hak dan kewajiban anak serta kewajiban dan
tanggung jawab. Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak disebutkan, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dari
ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa batasan tentang anak tersebut
menunjukkan bahwa status anak sudah ditentukan sejak usia dini keberadaannya di
dalam kandungan. Dengan perlindungan anak yang disebutkan dalam Pasal 1 Ayat
(2) harus diberikan sejak saat itu pula. Bunyi ketentuan hukum dimaksud adalah,
:”Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
D.
Ketentuan Itsbat Nikah Sebelum dan
sesudah UU Perkawinan
Sebelum
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pencatatan Perkawinan bagi orang
Indonesia muslim diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 JO. Undang-Undang
No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah Thalak, dan Rujuk. Dapat dipahami
bahwa pemberlakuan hukum Islam di Indonesia tentang perkawinan sudah ada sejak
agama Islam masuk ke Indonesia, namun pencatatan perkawinan pada masa itu belum
ada, maka pensabitan atas pernikahan yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 belum ada. Itsbat nikah di Indonesia baru ada setelah lahirnya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, walaupun pada masa
Penjajahan Belanda di Indonesia telah mengakui keberadaan Pengadilan Agama
dengan stbl. 1882 Nomor 152 yang kemudian ditambahkan dan dirubah dengan stbl.
1937 nomor 116 dan 160 dan stbl. 1937 nomor 638 dan 639 namun tentang Itsbat
Nikah pada waktu itu belum muncul karena dipengaruhi aksi politik Kolonial
Belanda. lahirnya Inpres no 1 tahun 1991 tanggal 10 juni 1991 tentang KHI dan
Keputusan Menteri Agama no 154 tahun 1991 tentang pelaksanaan Inpres no 1 tahun
1991 tanggal 10 juni 1991, telah memberikan kewenangan lebih luas lagi pada
Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat 1, 2, 3 dan 4 KHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar