Sabtu, 10 November 2018

Isbat Nikah Dalam Lingkup Peradilan Agama


A.   Pengertian Isbat Nikah
Itsbat nikah diambil dari bahasa Arab dan merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata yaitu itsbat dan nikah, dalam sistem gramatikal Bahasa Arab disebut kalimah idhofah. Secara bahasa itsbat artinya penetapan dan nikah berarti perkawinan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, itsbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah. Secara istilah berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Itsbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang berwenang
B.   Proses penerimaan perkara isbat nikah
1.            Pemeriksaan berkas perkara isbat nikah
Berdasarkan pasal 7 Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan (Pasal 7 angka 3 KHI) :
a.    Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; 
b.    Hilangnya Akta Nikah, untuk mengitsbatkan pernikahan yang telah ada Akta Nikahnya, namun ternyata kemudian Akta Nikah tersebut hilang, sehingga fungsi itsbat nikah disini adalah sebagai pengganti Akta Nikah yang hilang;
c.    Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d.    Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan;
e.    Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974,
Ketika itsbat nikah dengan alasan Pasal 7 angka 3 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, yaitu perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, perkara itsbat nikah bukanlah perkara pokok, sehingga pengajuannya ke Pengadilan Agama dikumulasi (digabung) dengan perkara perceraian sebgai perkara pokok, oleh karena itu dalam hal ini prioritas perkara adalah gugatan perceraian, sehingga itsbat nikah dalam hal ini dikelompokkan dalam jenis perkara gugatan. Apabila pengajuan perkara itsbat nikah dengan alasan Pasal 7 angka 1 huruf (b), (c), (d), dan (e) perkaranya termasuk dalam kategori permohonan, oleh karena itu penetapan Pengadilan Agama dalam hal ini tidak dapat diajukan banding, tetapi hanya kasasi.
Perkara permohonan isbat nikah adalah perkara voluntair murni. Tidak ada pihak termohon didalamnya. Apabila suami-isteri atau salah satunya yang mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama, maka kedudukannya adalah sebagai pemohon dalam perkara  voluntair, tetapi oleh  karena banyak terjadi peyimpangan hukum, umpamanya untuk mempermudah poligami liar mendapat status hukum legal, memperoleh hak waris atau hak-hak lain atas kebendaan, dan lain-lain. Mahkamah agung menetapkan beberapa ketentuan mengenai pengajuan permohonan isbat nikah sebagaimana pedoman pada buku II edisi 2014 yaitu:
Ø  Permohonan isbat nikah dapat diajukan oleh suami-isteri, atau salah satunya, anak, wali nikah, atau pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan tersebut
Ø  Permohonan isbat nikah yang diajukan suami-isteri secara bersama-sama, merupakan perkara voluntair murni
Ø  Permohonan  yang diajukan oleh salah seorang suami atau isteri bersifat contentious, pihak yang mengajukan  berkedudukan sebagai pemohon, dan yang tidak mengajukan pemohon sebagai termohon. Produknya berupa putusan, upaya hukumnya berupa banding
Ø  Apabila pemohon masih terikat dengan isteri lain, maka isteri lain itu harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika pemohon tidak bersedia memasukkannya sebagai pihak, maka permohonan isbat nikah harus dinyatakan tidak dapat diterima / N O
Ø  Permohonan yang diajukan oleh anak, wali nikah, atau pihak lain, harus dalam bentuk contentious, dengan mendudukkan suami/isteri atau ahli waris lain sebagai termohon
Ø  Suami atau isteri yang ditinggal mati oleh salah satunya, jika mengajukan permohonan isbat nikah harus dalam bentuk contentious, dengan mendudukkan ahli waris lainnya sebagai termohon, jika ahli waris itu dari pihak yang meninggal atau anak bawaan almarhum. Tetapi jika anak-anak sebagai ahli waris itu adalah anak almarhum dengan pihak yang mengajukan isbat nikah, maka perkara diajukan dalam bentuk voluntair murni
Ø  Jika ahli waris yang meninggal tidak diketahui, maka permohonan diajukan dalam bentuk voluntair.
  1. Pengajuan Berkas Perkara
Ø  Foto copy KTP Pemohon, Bagi yang menggunakan Kuasa Hukum, harus menyertakan Surat Kuasa
Ø  Surat permohonan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya (Pasal 142 ayat (1) R. Bg.), Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama. selanjutnya Ketua Pengadilan Agama atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama mencatat permohonan tersebut (Pasal 144 R. Bg.), surat permohonan dibuat 6 rangkap;
Ø  Pemohon atau kuasanya membayar panjar biaya perkara (Pasal 145 ayat (4) R. Bg.);
Ø  Permohonan tersebut diberi nomor dan didaftarkan dalam buku register.
  1. Panjar Biaya Perkara
Ø  Itsbat nikah yang menjadi perkara voluntair perhitungan panjar biaya perkara adalah dua kali biaya panggilan pemohon sesuai radius domisili pemohon ditambah Rp. 91.000 (Biaya Pendaftaran, Biaya Proses, Redaksi dan Materai)
Ø  Itsbat nikah yang menjadi perkara kontensius perhitungan panjar biaya perkara adalah biaya panggilan pemohon sebanyak dua kali dan termohon tiga kali (sesuai radius masing-masing) ditambah Rp. 91.000 (Biaya Pendaftaran, Biaya Proses, Redaksi dan Materai).
  1. Relaas Panggilan
Permohonan isbat nikah yang bersifat voluntair, sebelum Majelis Hakim menetapkan hari sidang, terlebih dahulu mengumumkan adanya permohonan isbat nikah melalui media massa (Radio ) dalam waktu 14 (empat belas) hari. Setelah berakhir masa pengumuman Majelis Hakim menetapkan hari sidang paling lambat 3 (tiga) hari setelah berakhirnya pengumuman. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh Jurusita/Jurusita Pengganti untuk menghadiri sidang pemeriksaan :
Ø  Pemohon dan Termohon yang berada di wilayah Pengadilan Agama, dipanggil langsung di tempat kediaman Pemohon dan Termohon, jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga hari (Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975)
Ø  Pemohon atau Termohon yang berada di luar wilayah Pengadilan Agama dipanggil melalui Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman Pemohon atau Termohon, jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga hari (Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975)
Ø  Pemohon yang tidak diketahui keberadaannya dipanggil melalui media massa (Radio) sebanyak dua kali, jarak pemanggilan pertama dengan pemanggilan kedua satu bulan dan jarak pemanggilan kedua dengan hari sidang sekurang-kurangnya tiga bulan (Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975)
Ø  Termohon yang berada di luar negeri dipanggil melalui departemen luar negeri cq. Dirjen protokol dan konsuler departemen luar negeri dengan tembusan disampaikan kepada kedutaan besar Republik Indonesia dan jarak pemanggilan dengan hari sidang sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sejak surat permohonan pemanggilan dikirimkan
C.   Kepastian Hukum Isbat Nikah Terhadap Status Anak
Sesuai dengan pembahasan sebelumnya bahwa itsbat nikah hanya dimungkinkan bagi perkawinan yang tidak ada bukti dicatatkan oleh lembaga berwenang yang memenuhi peraturan syara’, tentunya isbat nikah yang dilaksanakan akan memberikan kepastian hukum terhadap status anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. dalam hal ini, kepastian hukum tentang status anak di antaranya dapat dilihat dari peraturan berikut ini:
Ø  Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945, pada Pasal 28-B ayat (1), yaitu: "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah"; 
Ø  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 42, yaitu : "Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah"; 
Ø  Pasal 2 ayat (1), yaitu : "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu"; 
Ø  Pasal 2 ayat (2), yaitu :"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku "
Ø  Pasal 99 KHI, Anak yang sah adalah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;  
Ø  hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. 
Dilihat dari alasan pengajuan itsbat nikah, alasan utama para pemohon mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama adalah dalam rangka mengurusan Akta Kelahiran anak-anak mereka di samping untuk mendapatkan kepastian hukum perkawinan para pemohon itu sendiri. Ini berarti para orang tua ingin memperjelas status anak-anak mereka yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat atau tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama. Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat/dicatatkan, pada Akta Kelahiran yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil hanya akan mencantumkan nama ibunya sama dengan Akta Kelahiran anak-anak yang lahir di luar nikah. Konsekuensi hukumnya, kalau anak perempuan ayahnya tidak dapat menjadi wali nikah apabila akan menikah karena mereka hanya dinisbahkan kepada ibunya dan/atau keluarga ibunya, sehingga secara yuridis mereka hanya akan menjadi ahli waris dan mewarisi harta peninggalan ibunya apabila ibunya telah meninggal dunia, sedangkan kepada ayahnya sulit untuk menjadi ahli waris dan mewarisi harta ayahnya karena secara yuridis tidak ada bukti otentik bahwa ia anak ayahnya. Penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama antara lain bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat/dicatatkan. Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) menyebutkan aturan hukum perlindungan anak dalam Pasal 41, 42, 45, 47, 48, dan 49, antara lain berupa status hubungan hukum, pendidikan dan perawatan, pemeliharaan dan tindakan hukum, dan pemeliharaan hak dan harta bendanya. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) perlindungan anak disebutkan dalam Pasal-pasal 98, 99, 104, 105, dan 106. Dan upaya mempertegas dalam memberikan perlindungan anak, negara telah melakukannya secara hukum melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.  Ada beberapa hal penting yang termuat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, antara lain tentang anak, perlindungan anak dan tujuannya, hak dan kewajiban anak serta kewajiban dan tanggung jawab. Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa batasan tentang anak tersebut menunjukkan bahwa status anak sudah ditentukan sejak usia dini keberadaannya di dalam kandungan. Dengan perlindungan anak yang disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (2) harus diberikan sejak saat itu pula. Bunyi ketentuan hukum dimaksud adalah, :”Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. 
D.   Ketentuan Itsbat Nikah Sebelum dan sesudah UU Perkawinan
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pencatatan Perkawinan bagi orang Indonesia muslim diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 JO. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah Thalak, dan Rujuk. Dapat dipahami bahwa pemberlakuan hukum Islam di Indonesia tentang perkawinan sudah ada sejak agama Islam masuk ke Indonesia, namun pencatatan perkawinan pada masa itu belum ada, maka pensabitan atas pernikahan yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 belum ada. Itsbat nikah di Indonesia baru ada setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, walaupun pada masa Penjajahan Belanda di Indonesia telah mengakui keberadaan Pengadilan Agama dengan stbl. 1882 Nomor 152 yang kemudian ditambahkan dan dirubah dengan stbl. 1937 nomor 116 dan 160 dan stbl. 1937 nomor 638 dan 639 namun tentang Itsbat Nikah pada waktu itu belum muncul karena dipengaruhi aksi politik Kolonial Belanda. lahirnya Inpres no 1 tahun 1991 tanggal 10 juni 1991 tentang KHI dan Keputusan Menteri Agama no 154 tahun 1991 tentang pelaksanaan Inpres no 1 tahun 1991 tanggal 10 juni 1991, telah memberikan kewenangan lebih luas lagi pada Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat 1, 2, 3 dan 4 KHI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar