Selasa, 21 Januari 2020

Penyelesaian sengketa harta bersama

A. Pengertian dan perolehan harta bersama
Secara etimologi, harta bersama adalah dua kata yang terdiri harta dan bersama. Harta menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum dimiliki perusahaan. Bersama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berbarengan. Harta bersama berarti harta yang digunakan (dimanfaatkan) bersama-sama. Harta bersama adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja, isteri tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi, harta bersama meliputi harta yang diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau usaha salah seorang dari mereka diatur lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian maka masing-masing pihak isteri maupun suami berhak atas separuh (seperdua) dari harta bersama. 
Pada kalangan mazhab Syafi‟i terdapat empat macam yang disebut harta syarikat (disebut juga syarikat, syarkat, dan syirkat), yaitu : 
  1. Syarikat ‘inan, yaitu dua orang yang berkongsi di dalam harta tertentu, misalnya bersyarikat untuk membeli suatu barang dan keuntungannya untuk mereka berdua. 
  2. Syarikat abdan, yaitu dua orang atau lebih bersyarikat masing-masing mengerjakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan hasilnya (upah) untuk mereka bersama menurut perjanjian yang mereka buat, seperti tukang kayu, tukang batu, mencari ikan di laut, berburu, dan kegiatan yang seperti menghasilkan lainnya. 
  3. Syarikat mufawadlah, yaitu perserikatan dari dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan dengan tenaganya dan masing-masing diantara mereka mengeluarkan modalnya masing-masing melakukan tindakan meskipun tidak diketahui oleh pihak lain.
  4. Syarikat wujuh, yaitu syarikat atas tanpa pekerjaan ataupun harta, yaitu permodalan dengan dasar kepercayaan pihak lain kepada mereka.
Dari keempat macam syarikat di atas mahzab Hanafi dan Maliki hanya menerima syarikat ‘inan karena syarikat ini merupakan muamalah yang harus dilaksanakan oleh setiap orang dalam rangka mempertahankan hidupnya. Begitu pula dengan Mahzab Syafi’i meskipun membagi syarikat menjadi 4 (empat) macam tetapi dalam praktik peradilan mereka hanya menganut syarikat ‘inan saja. Pada KHI Pasal 85 dan 86 diatur mengenai harta kekayaan dalam perkawinan dimana menyatakan bahwa adanya harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Pada dasarnya tidak ada pencampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. 
Berdasarkan kedua pasal ini dapat disimpulkan bahwa Islam tidak mengenal adanya harta bersama atau pencampuran harta suami dan isteri. Walaupun dalam hukum Islam tidak mengenal adanya harta bersama atau pencampuran harta pribadi masing-masing ke dalam harta bersama suami-isteri tetapi dianjurkan adanya saling pengertian antara suami dan isteri dalam mengelola harta pribadi tersebut, jangan sampai di dalam mengelola kekayaan pribadi ini dapat merusak hubungan suami-isteri yang menjurus ke perceraian. 
Undang-undang perkawinan pada Pasal 35-37 mengemukakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Tentang harta bersama ini, suami atau isteri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama itu atas persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bawaannya tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Sebenarnya apa yang disebutkan dalam pasal di atas sejalan dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di Indonesia. Dalam konsepsi hukum adat tentang harta bersama yang ada di Nusantara ini, banyak ditemukan prinsip bahwa masing-masing suami isteri berhak menguasai harta bendanya sendiri dan ini berlaku sebagaimana sebelum mereka menjadi suami isteri. Mengenai harta bersama dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, terdapat empat macam harta keluarga (gezimsgood) dalam perkawinan yaitu: 
  1. Harta yang diperoleh dari warisan, baik sebelum maupun setelah mereka melangsungkan perkawinan. Harta ini di Jawa Tengah disebut barang bawaan, di Betawi disebut barang usaha, di Banten disebut barang sulur, di Aceh disebut harta tuha atau harta pusaka, di Nganjuk disebut harta perimbit. 
  2. Harta yang diperoleh dengan hasil jerih payah sendiri sebelum mereka menjadi suami isteri. Harta yang demikian di Bali disebut guna kaya, di Sumatera Selatan dibedakan harta milik suami dan harta milik isteri sebelum kawin, kalau milik suami disebut harta pembujang yang milik isteri disebut harta penantian. 
  3. Harta dihasilkan bersama oleh suami isteri selama berlangsungnya perkawinan. Harta ini di Aceh disebut harta, di Bali disebut Druwe gebru, di Jawa disebut harta gono gini, di Minangkabau disebut harta saurang, di Madura disebut ghuma-ghuma, dan di Sulawesi Selatan disebut barang cakkar. 
  4. Harta yang didapat oleh pengantin pada waktu pernikahan dilaksanakan, harta ini menjadi milik suami dan isteri selama perkawinan.
Dari beberapa pengertian mengenai harta dalam perkawinan yang terurai di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
  1. Harta bawaan adalah harta yang diperoleh suami dan isteri selama perkawinan berlangsung yang berasal dari warisan, hadiah, ataupun hibah. 
  2. Harta bersama adalah harta yang diperoleh suami dan isteri selama perkawinan berlangsung diluar dari warisan, hadiah, atau hibah. 
B. Dasar Hukum dan jenis-jenis Harta Bersama 
I. Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Thn 1989 jo Undang-undang Nomor 3 Thn 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Thn 2009 tentang Peradilan Agama. 
  2. Undang-Undang Nomor 1 Thn 1974 tentang Perkawinan. 
  3. Undang-Undang Nomor 39 Thn 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 
  4. Undang-Undang Nomor 5 Thn 1960 tentang Agraria. 
  5. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). 
  6. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetbook. 

II. Jenis-jenis Harta Bersama
  1. Benda bergerak. 
  2. Benda tidak bergerak. 
  3. Keuntungan yang diproleh selama perkawinan. 
  4. Kerugian yang diperoleh selama perkawinan. 
  5. Utang suami/isteri selama perkawinan. 
C. Cara Membagi dan Penyelesaian Pembagian Harta Bersama (gono gini)
Cara Membagi Harta Bersama (gono gini)
Karena problematika rumah tangga. Akibat perceraian tersebut, ada konsekuensi hukum lain yang pasti harus turut diselesaikan. Salah satunya adalah pembagian harta bersama atau yang dikenal dengan harta gono-gini.
Pada Pasal 35 UU Nomor1 Thn 1974 tentang Perkawinan membagi harta dalam perkawinan menjadi tiga macam, diantaranya:
  1. Harta Bawaan, yaitu harta yang diperoleh suami atau isteri dari sebelum perkawinan. Masing-masing mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta benda bawaannya.
  2. Harta masing-masing suami atau isteri yang diperoleh melalui warisan atau hadiah dalam perkawinan. Hak terhadap harta benda ini sepenuhnya ada pada masing-masing suami atau isteri.
  3. Harta Bersama atau Gono-gini, yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan.  

D. Penyelesaian Pembagian Harta Bersama (gono-gini)
Salah satu permasalahan yang kerap mengganjal dalam sebuah perceraian adalah terkait pembagian harta bersama (gono-gini). Seperti diketahui, bahwa harta bersama (gono-gini) yang dihasilkan oleh suami isteri ketika dalam ikatan perkawinan. Di Indonesia, ada 2 aturan yang bisa digunakan untuk melakukan pembagian harta bersama. Dua aturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pembagian harta besama (gono-gini) Menurut UU Perkawinan Menurut aturan perundang-undangan ini, harta dalam sebuah perkawinan terbagi menjadi 2, yakni: 
  1. Harta bawaan Harta bawaan merupakan segala jenis harta yang dihasilkan oleh masing-masing pihak sebelum terikat dalam pernikahan. Harta yang berasal dari hadiah serta warisan juga menjadi bagian dari harta ini. Karena tidak dihasilkan semasa perkawinan, maka kepemilikannya berada di tangan masing-masing pihak. Demikian pula terkait penggunaannya. Seorang isteri atau suami tidak memerlukan izin dari pasangan untuk menjual, menyewakan, atau menjaminkannya. 
  2. Harta bersama Harta bersama merupakan jenis kekayaan yang dihasilkan oleh selama suami isteri berada dalam ikatan perkawinan. Misalnya, isteri bertugas sebagai ibu rumah tangga dan penghasilan keluarga sepenuhnya jadi tanggung jawab suami. Dalam kasus ini, isteri tersebut tetap memiliki hak atas harta bersama tersebut. Dalam pengelolaannya, harta bersama tidak bisa digunakan secara bebas. Pemakaiannya harus mendapatkan izin dari pasangan. Oleh karena itu, ketika suami dan isteri bercerai, menurut UU Perkawinan pembagian harta bersama harus dilakukan secara merata. Masing-masing pihak memperoleh 50% dari jumlah harta bersama.
Pembagian Harta Bersama (Gono-gini) menurut Inpres Nomor 1 Tahun 1991 KHI 
Seperti halnya UU Perkawinan, Inpres KHI yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto juga mengakui adanya harta bawaan dan harta bersama. Aturan ini mengungkapkan bahwa harta bawaan dari masing-masing pihak merupakan hak penuh dari pihak tersebut. Inpres KHI juga menyebutkan hal terkait utang yang timbul akibat perkawinan. Kalau utang itu terjadi karena kepentingan keluarga, maka pembayarannya dibebankan kepada harta bersama. Kalaupun harta bersama tak mampu mencukupi utang, baru menggunakan harta bawaan milik suami lalu disusul harta bawaan dari isteri.
Ketika terjadi perceraian, Inpres KHI ini juga mengungkapkan hal yang sama dengan UU Perkawinan. Harta bersama harus dibagi sama rata oleh masing-masing pihak. Tidak ada perbedaan jumlah harta yang dibagi, tapi KHI memberi penjelasan lebih banyak. 

Harta bersama (gono-gini) untuk Anak 
Kedua aturan tersebut, UU Perkawinan dan Inpres KHI, sama-sama tidak mengatur tentang harta bersama yang secara khusus ditujukan untuk anak ketika terjadi perceraian. Hanya saja, kedua aturan ini sama-sama mewajibkan orang tua untuk memelihara serta mendidik anak sampai usia dewasa. 
Hanya saja, terjadi perbedaan terkait usia dewasa dalam kedua aturan tersebut. Menurut KHI, anak yang telah dewasa setidaknya telah berusia 21 tahun atau telah menikah. Sementara itu, menurut UU Perkawinan, usia dewasa adalah 18 tahun atau anak telah menjalani perkawinan.

Cara Menghindari Pertikaian Akibat Perebutan Harta Gono-gini 
Kedua aturan di atas memang telah secara jelas mengatur pembagian harta bersama ketika terjadi perceraian. Namun, tetap saja tak menutup kemungkinan ada pertikaian karena masing-masing pihak merasa dirugikan. Untuk itu, ada solusi yang bisa dilakukan, yakni: Menjual aset harta bersama. Selanjutnya, uang dari hasil penjualan itu dibagi berdua. Memberikannya kepada anak. Cara ini bisa dilakukan untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Anda bisa memilih untuk mengubah nama kepemilikan aset-aset yang termasuk harta bersama menjadi milik anak. Ingat, perceraian tidak harus dilakukan dengan hubungan yang buruk dengan mantan pasangan. Anda juga bisa menyelesaikan masalah tersebut dengan cara baik-baik.

E. Tehnis Penyelesaian Sengketa Harta Bersama (Gono gini) di Pengadilan 
Tentu salah satunya dari suami atau isteri yang menguasai harta bersama (gono gini), dan bisa juga keduanya suami isteri yang menguasai masing-masing harta bersama (gono gini) tersebut. 
Untuk pembagian harta bersama (gono gini) tersebut, terlebih dahulu diadakan musyawarah dalam lingkungan keluaga terdekat, dengan musyawarah secara kekeluargaan untuk mendapatkan kesefakatan.
Namun jika dari hasil musyawarah tersebut, tidak tercapai kesepakatan, kemudian diajukan ke Pengadilan. Suami atau isteri mengajukan ke Pangadilan untuk pembagian harta bersama (gono gini) ketika terjadi sengketa. Hal ini tentu mengacu kepada sistem hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan. 
Nantinya suami atau isteri sebagai Penggugat juga bisa jadi Tergugat. Maka selaku Penggugat mengajukan Gugatan Pembagian Harta Bersama ke Pengadilan. Kemudian Pengadilan memproses pendaftarannya sampai kepada proses persidangan dilaksanakan. 
Dalam proses persidangan tentu mengacu pula kepada sistem persidangan sesuai hukum acara perdata yang berlaku. Oleh karena itu, Majelis Hakim yang memeriksa perkara harta bersama tersebut harus lebih teliti terutama mengenai surat gugatan yang termuat item-item harta-harta yang dimuat dalam gugatan, seperti: sebidang tanah yang di atasnya ada bangunan rumah, batas-batas sebelah utara, timur, barat dan selatan harus jelas. Juga harus memperhatikan bahwa apakah ada permohonan sita atau tidak. Sebab dengan adanya permohonan sita ini dapat dipertimbangkan bahwa apakah dilaksanakan terlebih dahulu kemudian dilaksanakan pemeriksaan. Ataukah pelaksanaan sita ini nanti dilaksanakan setelah pemeriksaan setempat, atau sekalian setelah putus, yang mana putusan itu setelah BHT kemudian ada permohonan eksekusi, lalu dilaksanakan sita eksekusi. 
Harap diperhatikan pula jawaban Tergugat, bahwa apakah memuat eksepsi, ataukah ada rekonvensi (gugat balik). Kalau hanya jawaban yang memuat pokok perkara yang membenarkan adanya harta bersama tersebut, maka pemeriksaannya tentu agak mulus bisa langsung ke acara pembuktian. Pada saat pembuktian Majelis Hakim harus lebih teliti menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak baik Penggugat maupun Tergugat. Seperti antara lain: sinkronisasi antara keterangan saksi dengan alat-alat bukti tertulis, terutama mengenai waktu perolehan harta tersebut. Kemudian alat-alat bukti kepemilikan hak tehadap harta tersebut, yakni bukti pembelian harta tersebut. Sebab di sini dapat terbukti bahwa apakah betul harta itu harta bersama atau bukan. 
Disamping sistem perolehan harta harus lebih diteliti, juga mengenai karakteristik dari kedua pihak Penggugat/Tergugat (suami/isteri). Sebab dengan karakteristik suami/isteri tersebut dapat menentukan besaran bagian yang akan diperoleh dari harta bersama (gono gini) tersebut, ketika Majelis Hakim bermusyawarah untuk menjatuhkan putusan. Berdasar dari hasil pemeriksaan Majelis Hakim yang melalui musyawarah Majelis Hakim bahwa bisa jadi bagian harta bersama (gono gini) terhadap Penggugat/Terguagat (suami/isteri) bisa jadi masing-masing mendapat bagian seperdua (1/2), bisa juga seperempat (1/4) dan tiga perempat (3/4), bisa lagi sepertiga (1/3) dan dua pertiga (2/3). Tergantung ijtihad Majelis Hakim.

REFERENCE
1. Rahman Marwanto, Harta Gono Gini, Sengketa Dan Penyelesaian Setelah Perceraian.
2. Ria Desviatuti, Perlindungan Huku Terhadap Harta Dalam Perkawinan Dengan Pembuatan Akta Perjanjian Kawin.
3. Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia.
4. Wiryono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata.
5. Sidiknomertokusumo, Hukum Acara Perdata.
6. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata.
7. Abdul Mannan, Masalah Hukum Pedata Islam di Indonesia.
8. Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam.
9. Martadi, Jurnal Mimbar Hukum Nomor38 Mei-Juni Th.IX 1998 Judul: Analisis Yurisprudensi Tentang Harta Bersama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar