Senin, 24 Februari 2020

Pengertian, asas dan ciri putusan



Pengertian, asas dan ciri   putusan
A. Pengertian Putusan.
Produk Peradilan Agama disamping penetapan adalan berupa "putusan". Produk pengadilan yang berbentuk putusan menurut penjelasan Pasal 60 adalah "keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya sengketa ". Lazimnya gugat yang bersifat sengketa atau yang mengandung sengketa disebut gugatan contentiosa. Dari gugat contentiosa menurut penjelasan Pasal 60, dihasilkan penyelesaian atau settlement yang berbentuk "putusan". Putusan adalah suatu pernyataan oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak yang berpekara. (Sudikno Kertokusumo 1988 :167) atau juga dikatakan putusan adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara pihak-pihak yang berpekara dan di ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Abdul Manan. 2005 : 292).

B. Asas dan Ciri Putusan
Untuk lebih jelas dalam memahami produk pengadilan yang berbentuk "putusan" yang bersifat condemnatoir dan "eksekutorial", perlu ditinjau singkat ciri dan asas yang melekat pada gugat contentiosa. Adapun ciri -cirinya adalah sebagai berikut:
1.      Bersifat partai
Ciri utamanya, adalah apa yang diperkarakan mengandung "sengketa" antara dua atau beberapa orang anggota masyarakat terjadi hubungan hukum timbal balik. Dari hubungan hukum yang timbal balik tersebut terjadi. Tentang permasalahan gugat contentiosa sudah dibicarakan secara ringkas pada waktu menguraikan hal-hal yang berkenaan dengan gugatan. Oleh karena itu, uraian mengenai keputusan yang berbentuk putusan sekaligus meliputi apa yang telah diterangkan pada bagian tersebut. Setiap gugat yang bersifat contentiosa pada prinsipnya akan mewujudkan putusan pengadilan yang bersifat condemnatoir dan berkekuatan "eksekutorial. Oleh karena gugat yang contentiosa mengandung sengketa, sudah barang tentu persengketaan tidak mungkin diselesaikan secara sepihak. Penyelesaian setiap sengketa mesti melibatkan dua atau beberapa pihak. Dengan kata lain setiap penyelesaian persengketaan, mimrnal mesti melibatkan dua pihak, yakni pihak-pihak yang bersengketa. Dari sinilah lahir asas yang menentukan setiap gugat yang bersifat gugatan contentiosa mesti "bersifat partai". Ada pihak penggugat dan ada pula pihak tergugat. Setiap perkara yang mengandung sengketa tidak bisa diselesaikan melalui gugat "volunter" atau permohonan. Misal dalam sengketa perceraian, tidak bisa diselesaikan dengan volunter. Begitu pula sengketa pembagian harta warisan, tidak bisa "volunter" Salah satu yang merasa dirugikan haknya, harus menarik pihak lain sebagai tergugat.
2.    Bersifat Contradictoir
Asas lain yang melekat pada perkara contentiosa, proses pemeriksaan mesti bersifat contradictoir. Maksudnya, tata cara pemeriksaan perkara dilakukan jawabmenjawab secara "timbal balik". Tergugat mesti dipanggil menghadiri pemeriksaan sidang pengadilan. Dalam sidang pemeriksaan, kepada pihak tergugat diberi hak bebas dan leluasa untuk membela hak dan kepentingannya atas gugatan penggugat. Kepada penggugat diberi pula hak untuk menanggapi pembelaan tergugat. Dengan demikian terjadilah dalam pemeriksaan persidangan suatu dialog langsung dalam bentuk "replik" dan duplik. Di samping replik dan duplik, kepada penggugat dibebani kewajiban untuk membuktikan dalil gugat. Sebaliknya kepada pihak tergugat diberi pula hak untuk mengajukan "bukti lawan" atau tegen bewijs untuk melumpuhkan pembuktian penggugat. Kemudian kepada para pihak diberi hak untuk mengajukan "konklusi" atau "kesimpulan". Begitulah asas contradictoir yang melekat pada gugat contentiosa. Asas ini tidak boleh dilanggar sepanjang para pihak dengan patuh menaati panggilan menghadiri pemeriksaan sidang pengadilan. Lain halnya kalau pihak tergugat tidak mau menghadiri sidang pemeriksaan sekalipun sudah dipanggil secara patut dan resmi. Dalam hal yang seperti itu, undang-undang memberi pengecualian. Hakim dapat menyelesaikan perkara melalui proses verstek sesuai dengan ketentuan Pasal 125 HIR atau Pasal 149 RBg. Pemeriksaan dan putusan dapat dilakukan hakim tanpa hadirnya tergugat. Atau jika salah satu pihak tidak mau hadir mengikuti pemeriksaan selanjutnya sekalipun sudah resmi diberitahu tanggal pemunduran sidang yang akan datang, dan ketidakhadirannya tanpa alasan yang sah, pemeriksaan tetap dapat dilanjutkan hakim. Pemeriksaan sepeerti itu tetap di anggap bersifat contradictoir tanpa jawaban atau bantahan dari pihak yang tidak hadir. Hal itu tersirat dalam ketentuan Pasal 127 HIR atau Pasal 151 RBg. Dalam kasus seperti itu pemeriksaan perkara tidak perlu diundur, melainkan dapat tetap dilanjutkan walaupun lawan tidak hadir. Dalam keadaan seperti ini, pihak yang tidak hadir dianggap tidak sungguh-sungguh lagi membela kepentingannya dalam perkara yang bersangkutan. Dia dianggap sudah rela menerima apa saja yang dikemukakan pihak lawan.
3.    Bersifat Condemn atoir
Oleh karena dalam perkara yang didasarkan pada gugat contentiosa bertujuan untuk menyelesaikan persengketaan, pihak penggugat dapat menuntut agar hakim "menghukum" pihak tergugat. Pihak penggugat dapat menuntut putusan condemnatoir dalam petitum gugatan yakni meminta kepada hakim agar tergugat "dihukum" misalnya menyerahkan, membongkar, mengosongkan, membagi, melakukan, atau tidak melakukan sesuatu atau untuk membayar sejumlah uang. Berdasar tuntutan petitum yang meminta penjatuhan hukuman terhadap tergugat, hakim dapat menjatuhkan putusan yang bersifat condemnatoir. Bentuk condemnatoirnya, bisa menghukum dan memerintahkan tergugat untuk menyerahkan, membongkar, membagi, mengosongkan, melakukan, atau tidak melakukan atau pembayaran sejumlah uang. Condemnatoir yang dijatuhkan, sesuai dengan apa yang diminta penggugat dalam petitum. Demikian prinsip yang terkandung dalam gugat contentiosa dapat diminta dan dijatuhkan putusan yang bersifat condemnatoir dalam salah saru amar putusan. Itu sebabnya dalam putusan perkara contentiosa dapat sekaligus digabung amar yang deklarator dengan condemnatm. Sedang dalam gugat volunteer di samping tidak boleh mengajukan tuntutan atau petitum gugat yang condemnatoir, tidak mungkin sekaligus memuat amar yang declaratoir dan codemnatoir. Yang boleh hanya declaratoir saja. Lain halnya dalam perkara contentiosa, amar declarator bisa langsung dibarengi amar condemnatoir. Misalnya dalam sengketa pembagian harta warisan. Penggugat dapat menuntut agar dijatuhkan putusan yang bersifat declarator yang langsung dibarengi condemnatoir. Penggugat dapat menuntut agar dia dan para tergugat dinyatakan sebagai ahli waris. Tuntutan ini jelas bersifat declaratoir. kemudian tuntutan tersebut dibarengi dengan petitum untuk menghukum para tergugat menyerahkan dan mengosongkan serta membagi harta terperkara di antara penggugat dan para tergugat. Tuntutan ini jelas bersifet condemnatoir. Maka berdasar petitum tersebut hakim bisa mengabulkan sepanjang tuntutan declaratoir. Tetapi dapat pula langsung mengabulkan keduanya. Sehingga antara amar declaratoir berbareng bergabung dengan amar condemnatoir. Memang secara formal setiap amar condemnatoir harus didahului amar declaratoir. Secara formal amar condemnatoir tidak dapat berdiri sendiri. Dia baru dapat dijatuhkan jika didahului dengan amar declaratoir. Lebih jelasnua adalah tidak mungkin menyatakan seseorang berhak atas harta warisan sebelum orang yang bersangkutan dan harta terperkara dinyatakan sebagai ahli waris dan harta warisan dari orang tuanya. Tidak mungkin menghukum orang lain untuk menyerahkan harta warisan tersebut kepada orang tadi sebelum dia dinyatakan sebagai orang yang berhak atasnya. Tidak otomatis setiap perkara contentiosa bersifat condemnatoir. Hal ini perlu diingat pula bahwa tidak selamanya hakim mesti menjatuhkan amar condemnatoir pada setiap gugat contentiosa. Pada prinsipnya, amar condemnatoir baru dapat dijatuhkan hakim apabila hal itu diminta penggugat dalam petitum gugat. Kalau penggugat sendiri tidak menuntut putusan yang mengandung amar condemnatoir, tidaklah mungkin hakim mengabulkannya. Jika penggugat tidak mengajukan petitum gugat yang condemnatoir, kemudian hakim dalam putusannya mencantumkan amar condemnatoir, berarti hakim telah "mengabulkan yang melebihi" dari yang digugat. Cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas ultra petitum partium. Dan hal itu dilarang oleh Pasal 178 ayat (3) HIR atau Pasal 189 ayat (3) RBG.
4.      Mengikat Kepada Para Pihak
Keputusan pengadilan yang berbentuk putusan, mengandung kebenaran hukum bagi para pihak yang berperkara. Apabila dari gugatan yang bersifat contentiosa telah dijatuhkan putusan oleh pengadilan, kemudian putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, putusan tersebut menjadi kebenaran hukum bagi pihak yang berperkara. Berbarengan dengan itu, putusan mengikat:
- Terhadap para pihak yang berperkara.
- Terhadap orang yang mendapat hak dari mereka.
- Terhadap ahli waris mereka.
Demikian jangkauan kekuatan mengikat putusan. Tidak menjadi soal apakah putusan tersebut bersifat declaratoir atau condemnatoir, dengan sendirinya menurut hukum putusan mempunyai daya kekuatan mengikat. Berbeda dengan putusan declaratoir yang lahir dari gugat voluntair. Daya kekuatan mengikatnya tidak ada, kecuali dalam penetapan cerai talak. Dalam penetapan cerai talak oleh karena pada hakikatnya tiada lain dari pada gugat contentiosa yang bersifat semu, undang-undang melengketkan sifat kekuatan mengikat kepada suami istri. Namun secara umum, penetapan yang lahir dari gugat volunter hanya mempunyai kekuatan kepada diri pemohon sendiri. Oleh karena keputusan yang berbentuk putusan mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak, kepada orang yang mendapat hak dari mereka, para pihak mesti tunduk menaati putusan pihak yang satu dapat menuntut pemenuhan putusan kepada pihak yang lain. Keingkaran untuk memenuhi dan menaati, bisa menimbulkan akibat hukum.
5.      Putusan Mempunyai Nilai Kekuatan Pembuktian
Hal lain yang penting, ialah asas nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada putusan. Sejalan dengan sifat kekuatan mengikat yang melekat pada setiap putusan pengadilan, dengan sendirinya menurut hukum, melekat pula nilai kekuatan pembuktian yang menjangkau:
- Para pihak yang berperkara,
- Orang yang mendapat hak dari mereka, dan
- Ahli waris mereka.
Maksud dari hal ini adalah kapan saja timbul sengketa di kemudian hari, dan sengketa perkaranya berkaitan langsung dengan apa yang telah tercantum dalam putusan, putusan tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti untuk melumpuhkan gugatan pihak lawan. Nilai kekuatan pembuktian yang terkandung di dalamnya adalah sempurna (volledig) mengikat (bindede), dan memaksa (dwingend). Bahkan dalam putusan tersebut melekat unsur ne bis in idem.
6.    Putusan Mempunyai Nilai Kekuatan.
Apabila dalam putusan mengandung sifat conemnatoir maka melekat pula sifat eksekutorial. Jika pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela maka putusan dapat dijalankan dengan berdasarkan ketentuan Pasal 195 HIR atau pasal 206 RBg. Hal ini sejalan dengan asas putusan yaitu mengikat para pihak. Adapun asas-asas dalam putusan adalah sebagai berikut:
a.       Memuat alasan-alasan dan dasar-dasar yang jelas dan rinci. Segala putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, serta mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan tertentu yang berhubungan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tidak tertulis, yurisprudensi atau doktrin hukum. Dalam hal demikian hakim diperintah oleh undang-undang untuk menggali, menemukan hukum, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. (vide: Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 jo. pasal 178 ayat (1) HIR)
b.      Wajib mengadili seluruh bagian gugatan.
Putusan harus dibuat secara total dan menyeluruh, memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Putusan tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja dan mengabaikan gugatan selebihnya (vide: pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR, pasal 189 ayat (2) RBG dan pasal 50 Rv).
c.       Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan.
Putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan, larangan ini disebut Ultra Petitum Partium. Putusan yang mengandung hal ini harus dinyatakan cacat meskipun dilakukan dengan iktikad baik ataupun sesuai dengan kepentingan umum. Sedangkan yang didasarkan pada ex aquo et bono dapat dibenarkan asal masih dalam kerangka yang sesuai dengan inti petitum primeir (vide: pasal 178 ayat (3) HIR, pasal 198 ayat (3) RBG dan pasal 50 Rv).
d.      Dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
Ini merupakan bagian dari asas fair trial dengan tujuan untuk menjamin proses peradilan terhindar dari perbuatan tercela dari pejabat pengadilan. Akibat pelanggaran ini mengakibatkan putusan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar