Pengertian, asas dan ciri putusan
A. Pengertian Putusan.
Produk Peradilan Agama disamping penetapan adalan berupa
"putusan". Produk pengadilan yang berbentuk putusan menurut
penjelasan Pasal 60 adalah "keputusan pengadilan atas perkara gugatan
berdasarkan adanya sengketa ". Lazimnya gugat
yang bersifat sengketa atau yang mengandung sengketa disebut gugatan contentiosa. Dari gugat contentiosa menurut penjelasan
Pasal 60, dihasilkan penyelesaian atau settlement
yang berbentuk "putusan". Putusan
adalah suatu pernyataan oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang
untuk itu dan diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan
tujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak yang
berpekara. (Sudikno Kertokusumo 1988 :167) atau juga dikatakan putusan adalah
kesimpulan akhir yang diambil oleh majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu
dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara pihak-pihak yang
berpekara dan di ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Abdul Manan. 2005 :
292).
B. Asas dan Ciri Putusan
Untuk lebih jelas dalam memahami produk pengadilan yang berbentuk
"putusan" yang bersifat condemnatoir
dan "eksekutorial", perlu ditinjau
singkat ciri dan asas yang melekat pada gugat contentiosa.
Adapun ciri -cirinya adalah sebagai berikut:
1. Bersifat partai
Ciri utamanya, adalah apa yang diperkarakan mengandung
"sengketa" antara dua atau beberapa orang anggota masyarakat terjadi
hubungan hukum timbal balik. Dari hubungan hukum yang timbal balik tersebut
terjadi. Tentang permasalahan gugat contentiosa
sudah dibicarakan secara ringkas pada waktu
menguraikan hal-hal yang berkenaan dengan gugatan. Oleh karena itu, uraian
mengenai keputusan yang berbentuk
putusan sekaligus meliputi apa yang telah diterangkan pada bagian tersebut. Setiap gugat yang bersifat contentiosa pada prinsipnya akan mewujudkan putusan pengadilan yang bersifat condemnatoir dan berkekuatan "eksekutorial. Oleh karena gugat
yang contentiosa mengandung sengketa, sudah barang tentu persengketaan tidak mungkin
diselesaikan secara sepihak. Penyelesaian setiap sengketa mesti melibatkan dua
atau beberapa pihak. Dengan kata lain setiap penyelesaian persengketaan,
mimrnal mesti melibatkan dua pihak, yakni pihak-pihak yang bersengketa. Dari
sinilah lahir asas yang menentukan setiap gugat yang bersifat gugatan contentiosa mesti
"bersifat partai". Ada pihak penggugat dan ada pula pihak tergugat.
Setiap perkara yang mengandung sengketa tidak bisa diselesaikan melalui gugat
"volunter" atau permohonan. Misal dalam sengketa perceraian, tidak bisa diselesaikan
dengan volunter. Begitu pula sengketa pembagian harta warisan, tidak bisa
"volunter" Salah satu yang merasa dirugikan haknya, harus menarik
pihak lain sebagai tergugat.
2. Bersifat Contradictoir
Asas lain yang melekat pada perkara contentiosa,
proses pemeriksaan mesti bersifat contradictoir. Maksudnya, tata
cara pemeriksaan perkara dilakukan jawabmenjawab secara "timbal balik".
Tergugat mesti dipanggil menghadiri pemeriksaan sidang pengadilan. Dalam sidang
pemeriksaan, kepada pihak tergugat diberi hak bebas dan leluasa untuk membela
hak dan kepentingannya atas gugatan penggugat. Kepada penggugat diberi pula hak
untuk menanggapi pembelaan tergugat. Dengan demikian terjadilah dalam
pemeriksaan persidangan suatu dialog langsung dalam bentuk "replik"
dan duplik. Di samping replik dan duplik, kepada penggugat dibebani kewajiban untuk membuktikan
dalil gugat. Sebaliknya kepada pihak tergugat diberi pula hak untuk mengajukan
"bukti lawan" atau tegen
bewijs untuk melumpuhkan pembuktian penggugat. Kemudian
kepada para pihak diberi hak untuk mengajukan "konklusi" atau
"kesimpulan". Begitulah asas contradictoir
yang melekat pada gugat contentiosa. Asas ini tidak boleh
dilanggar sepanjang para pihak dengan patuh menaati panggilan menghadiri pemeriksaan
sidang pengadilan. Lain halnya kalau pihak tergugat tidak mau menghadiri sidang
pemeriksaan sekalipun sudah dipanggil secara patut dan resmi. Dalam hal yang
seperti itu, undang-undang memberi pengecualian. Hakim dapat menyelesaikan
perkara melalui proses verstek sesuai dengan ketentuan Pasal 125 HIR atau Pasal 149 RBg. Pemeriksaan
dan putusan dapat dilakukan hakim tanpa hadirnya tergugat. Atau jika salah satu
pihak tidak mau hadir mengikuti pemeriksaan selanjutnya sekalipun sudah resmi
diberitahu tanggal pemunduran sidang yang akan datang, dan ketidakhadirannya
tanpa alasan yang sah, pemeriksaan tetap dapat dilanjutkan hakim. Pemeriksaan
sepeerti itu tetap di anggap bersifat contradictoir
tanpa jawaban atau bantahan dari pihak yang tidak
hadir. Hal itu tersirat dalam ketentuan Pasal 127 HIR atau Pasal 151 RBg. Dalam
kasus seperti itu pemeriksaan perkara tidak perlu diundur, melainkan dapat
tetap dilanjutkan walaupun lawan tidak hadir. Dalam keadaan seperti ini, pihak
yang tidak hadir dianggap tidak sungguh-sungguh lagi membela kepentingannya dalam perkara yang
bersangkutan. Dia dianggap sudah rela menerima apa saja yang dikemukakan pihak
lawan.
3. Bersifat Condemn atoir
Oleh karena dalam perkara yang didasarkan pada gugat contentiosa bertujuan untuk
menyelesaikan persengketaan, pihak penggugat dapat menuntut agar hakim "menghukum"
pihak tergugat. Pihak penggugat dapat menuntut putusan condemnatoir dalam petitum gugatan yakni meminta
kepada hakim agar tergugat "dihukum" misalnya menyerahkan,
membongkar, mengosongkan, membagi, melakukan, atau tidak melakukan sesuatu atau
untuk membayar sejumlah uang. Berdasar tuntutan petitum yang meminta penjatuhan hukuman
terhadap tergugat, hakim dapat menjatuhkan putusan yang bersifat condemnatoir. Bentuk condemnatoirnya, bisa menghukum dan
memerintahkan tergugat untuk menyerahkan, membongkar, membagi, mengosongkan,
melakukan, atau tidak melakukan atau pembayaran sejumlah uang. Condemnatoir yang dijatuhkan,
sesuai dengan apa yang diminta penggugat dalam petitum. Demikian prinsip
yang terkandung dalam gugat contentiosa
dapat diminta dan dijatuhkan putusan yang
bersifat condemnatoir dalam salah saru amar putusan. Itu sebabnya dalam putusan perkara contentiosa dapat sekaligus
digabung amar yang deklarator dengan condemnatm.
Sedang dalam gugat volunteer di samping tidak
boleh mengajukan tuntutan atau petitum
gugat yang condemnatoir,
tidak mungkin sekaligus memuat amar yang declaratoir dan codemnatoir. Yang boleh hanya declaratoir
saja. Lain halnya dalam perkara contentiosa, amar declarator
bisa langsung dibarengi amar condemnatoir.
Misalnya dalam sengketa pembagian harta warisan.
Penggugat dapat menuntut agar dijatuhkan putusan yang bersifat declarator yang
langsung dibarengi condemnatoir. Penggugat dapat menuntut agar dia dan para tergugat dinyatakan sebagai
ahli waris. Tuntutan ini jelas bersifat declaratoir. kemudian tuntutan tersebut dibarengi dengan petitum untuk menghukum para tergugat
menyerahkan dan mengosongkan serta membagi harta terperkara di antara penggugat
dan para tergugat. Tuntutan ini jelas bersifet condemnatoir. Maka berdasar petitum tersebut hakim bisa mengabulkan
sepanjang tuntutan declaratoir. Tetapi dapat pula langsung mengabulkan keduanya. Sehingga antara amar declaratoir berbareng bergabung
dengan amar condemnatoir. Memang secara formal setiap amar condemnatoir
harus didahului amar declaratoir. Secara formal amar condemnatoir tidak dapat berdiri
sendiri. Dia baru dapat dijatuhkan jika didahului dengan amar declaratoir. Lebih jelasnua
adalah tidak mungkin menyatakan seseorang berhak atas harta warisan sebelum
orang yang bersangkutan dan harta terperkara dinyatakan sebagai ahli waris dan
harta warisan dari orang tuanya. Tidak mungkin menghukum orang lain untuk
menyerahkan harta warisan tersebut kepada orang tadi sebelum dia dinyatakan sebagai
orang yang berhak atasnya. Tidak otomatis setiap perkara contentiosa bersifat condemnatoir. Hal ini perlu diingat
pula bahwa tidak selamanya hakim mesti menjatuhkan amar condemnatoir pada setiap gugat contentiosa. Pada prinsipnya,
amar condemnatoir baru dapat dijatuhkan hakim apabila hal itu diminta penggugat dalam petitum gugat. Kalau penggugat sendiri
tidak menuntut putusan yang mengandung amar condemnatoir, tidaklah mungkin hakim mengabulkannya. Jika penggugat tidak mengajukan
petitum gugat yang condemnatoir, kemudian hakim dalam putusannya mencantumkan amar condemnatoir, berarti hakim telah
"mengabulkan yang melebihi" dari yang digugat. Cara mengadili yang
demikian bertentangan dengan asas ultra
petitum partium. Dan hal itu dilarang oleh Pasal 178 ayat (3) HIR
atau Pasal 189 ayat (3) RBG.
4.
Mengikat
Kepada Para Pihak
Keputusan pengadilan yang berbentuk putusan, mengandung kebenaran
hukum bagi para pihak yang berperkara. Apabila dari gugatan yang bersifat contentiosa telah dijatuhkan
putusan oleh pengadilan, kemudian putusan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, putusan tersebut menjadi kebenaran hukum bagi pihak yang berperkara. Berbarengan
dengan itu, putusan mengikat:
- Terhadap para pihak yang berperkara.
- Terhadap orang yang mendapat hak dari mereka.
- Terhadap ahli waris mereka.
Demikian jangkauan kekuatan mengikat putusan. Tidak menjadi soal
apakah putusan tersebut bersifat declaratoir
atau condemnatoir, dengan sendirinya menurut hukum putusan mempunyai daya kekuatan
mengikat. Berbeda dengan putusan declaratoir
yang lahir dari gugat voluntair. Daya kekuatan
mengikatnya tidak ada, kecuali dalam penetapan cerai talak. Dalam penetapan
cerai talak oleh karena pada hakikatnya tiada lain dari pada gugat contentiosa yang bersifat semu,
undang-undang melengketkan sifat kekuatan mengikat kepada suami istri. Namun
secara umum, penetapan yang lahir dari gugat volunter
hanya mempunyai kekuatan kepada diri pemohon
sendiri. Oleh karena keputusan yang berbentuk putusan mempunyai kekuatan
mengikat kepada para pihak, kepada orang yang mendapat hak dari mereka, para
pihak mesti tunduk menaati putusan pihak yang satu dapat menuntut pemenuhan
putusan kepada pihak yang lain. Keingkaran untuk memenuhi dan menaati, bisa
menimbulkan akibat hukum.
5.
Putusan
Mempunyai Nilai Kekuatan Pembuktian
Hal lain yang penting, ialah asas nilai kekuatan pembuktian yang
melekat pada putusan. Sejalan dengan sifat kekuatan mengikat yang melekat pada
setiap putusan pengadilan, dengan sendirinya menurut hukum, melekat pula nilai
kekuatan pembuktian yang menjangkau:
- Para pihak yang berperkara,
- Orang yang mendapat hak dari mereka, dan
- Ahli waris mereka.
Maksud dari hal ini adalah kapan saja timbul sengketa di kemudian
hari, dan sengketa perkaranya berkaitan langsung dengan apa yang telah
tercantum dalam putusan, putusan tersebut dapat dipergunakan sebagai alat bukti
untuk melumpuhkan gugatan pihak lawan. Nilai kekuatan pembuktian yang
terkandung di dalamnya adalah sempurna (volledig) mengikat (bindede), dan memaksa (dwingend). Bahkan dalam putusan tersebut melekat unsur
ne bis in idem.
6. Putusan Mempunyai Nilai Kekuatan.
Apabila dalam putusan mengandung sifat conemnatoir maka melekat pula
sifat eksekutorial. Jika pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan secara
sukarela maka putusan dapat dijalankan dengan berdasarkan ketentuan Pasal 195
HIR atau pasal 206 RBg. Hal ini sejalan dengan asas putusan yaitu mengikat para
pihak. Adapun asas-asas dalam putusan adalah sebagai berikut:
a. Memuat alasan-alasan dan dasar-dasar yang jelas
dan rinci. Segala putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar
putusan, serta mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan tertentu
yang berhubungan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tidak
tertulis, yurisprudensi atau doktrin hukum. Dalam hal demikian hakim diperintah
oleh undang-undang untuk menggali, menemukan hukum, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. (vide: Undang-Undang Nomor 48 tahun
2009 jo. pasal 178
ayat (1) HIR)
b. Wajib mengadili seluruh bagian gugatan.
Putusan harus dibuat secara total dan menyeluruh, memeriksa dan mengadili
setiap segi gugatan yang diajukan. Putusan tidak boleh hanya memeriksa dan
memutus sebagian saja dan mengabaikan gugatan selebihnya (vide: pasal 178 ayat
(2) dan (3) HIR, pasal 189 ayat (2) RBG dan pasal 50 Rv).
c. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan.
Putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam
gugatan, larangan ini disebut Ultra
Petitum Partium. Putusan yang mengandung hal ini harus
dinyatakan cacat meskipun dilakukan dengan iktikad baik ataupun sesuai dengan
kepentingan umum. Sedangkan yang didasarkan pada ex aquo et bono dapat dibenarkan
asal masih dalam kerangka yang sesuai dengan inti petitum primeir (vide: pasal
178 ayat (3) HIR, pasal 198 ayat (3) RBG dan pasal 50 Rv).
d. Dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
Ini merupakan bagian dari asas fair
trial dengan tujuan untuk menjamin proses peradilan
terhindar dari perbuatan tercela dari pejabat pengadilan. Akibat pelanggaran
ini mengakibatkan putusan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar