Pertimbangan Menolak Permohonan Dispensasi Kawin
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta, Hakim mengkonstituir bahwa antara Anak Para Pemohon dan calon suaminya tidak terdapat halangan untuk melangsungkan pernikahan dan keduanya tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 dan 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto. Pasal 39 dan 40 Kompilasi Hukum Islam, keduanya ingin menikah atas kehendak sendiri dan mendapat izin dari orang tua sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto. Pasal 15 ayat (2) dan pasal 16 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam;
Menimbang, bahwa syarat yang belum terpenuhi oleh Anak Para Pemohon adalah masalah umur yang belum mencapai batasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan Pasal 7 ayat (1) Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun”;
Menimbang, bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan menganut prinsip pendewasaan usia perkawinan, sehingga harus dimaknai hukum asal perkawinan di bawah umur adalah dilarang, dan diperbolehkannya perkawinan di bawah umur melalui lembaga dispensasi kawin merupakan suatu pengecualian sebagai “pintu darurat” karena adanya alasan yang sangat mendesak;
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan bahwa “dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup”, Yang dimaksud dengan "alasan sangat mendesak" adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan;
Menimbang, bahwa untuk diberikannya atau ditolaknya dispensi kawin anak Para Pemohon perlu adanya pertimbangan yang holistik dengan mengkaji segala aspek yang akan dipertimbangkan di bawah ini;
Menimbang, bahwa dalam memutus perkara ini Hakim perlu mengutip dalil syar’i sebagai berikut:
1. Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang berbunyi:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ وِجَاء لَهُ ) صحيح البخاري(
Artinya: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan, dan barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih bisa meredakan gejolaknya.” (H.R.Al-Bukhari)
Menimbang, bahwa kata الْبَاءَة dalam hadits di atas dipahami oleh para ulama yang bermakna ‘istitha’ah’ (mampu) yaitu “cukup bekal untuk pernikahan dan bisa melakukan hubungan suami istri.” Bahwa cukup bekal untuk pernikahan menurut Hakim harus dipandang dari kesiapan secara psikologis, fisik, kesehatan, ekonomi dan kesiapan untuk melangsungkan perkawinan dan membangun rumah tangga;
Menimbang, bahwa dari keterangan Para Pemohon, Anak Para Pemohon, saksi-saksi dan fakta-fakta persidangan, Hakim menilai Anak Para Pemohon yang saat ini baru berumur 15 (lima belas) tahun 6 (enam) bulan belum mampu untuk melaksanakan pernikahan sebagaimana yang dimaksud dalam hadist tersebut, Anak Para Pemohon yang masih berumur 15 tahun 6 (enam) bulan secara psikologis belum matang dan kondisi emosional yang belum stabil sebagaimana pada Surat Keterangan Konseling Psikologis Nomor 049/PUSPAGA-TAMASA/DP3A/X/2021, tertanggal 20 Desember 2021, yang dikeluarkan oleh Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) TAMASA Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten XXX, secara ekonomi Anak Para Pemohon belum mandiri serta tidak mempunyai pekerjaan, dan pernikahan yang apabila dilakukan di usia tersebut akan berpotensi melahirkan pertengkaran, percekcokan, dan bentrokan antara suami dan istri yang berujung pada gagalnya pernikahan;
Menimbang, bahwa Anak Para Pemohon dan calon suami ingin segera menikah karena khawatir melakukan perbuatan zina, Hakim menilai hal tersebut tidak berasalan, Hadits di atas telah memberikan ibrah agar mencari alternatif yang halal atas pemenuhan syahwat yang belum dapat disalurkan secara halal. Kondisi Anak Para Pemohon yang belum mampu menikah dan masih di bawah umur, jangan sampai menggiring pada perbuatan yang haram, seperi zina. Anak Para Pemohon dan calon suami dapat berpuasa, dan melakukan perbuatan-perbuatan positif lainnya untuk meredakan gejolak syahwatnya;
2. Kaidah fiqh dalam kitab al-Asybâh wa an-Nazhâir karangan as-Suyûthi, jilid I, halaman 87, yang selanjutnya diambil alih sebagai pendapat Hakim sebagai berikut:
إذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِهِمَا
Artinya: Apabila terdapat dua mudarat maka mudarat yang lebih ringan harus dikerjakan demi menjaga agar mudarat yang lebih besar tidak terjadi.
Menimbang, bahwa dalam perkara a quo terdapat dua mudarat (kondisi yang tidak menguntungkan) yang harus dipilih. Pertama, menolak pemberian dispensasi kawin menyebabkan anak Para Pemohon mendapat stigma negative dari masyarakat karena sering pergi berduaan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya serta dikhawatirkan akan berbuat seks diluar nikah (zina). Kedua, memberikan dispensasi kawin ketika Anak Para Pemohon baru berumur 15 (lima belas) tahun 6 (enam) bulan akan melahirkan banyak risiko mulai dari risiko kesehatan reproduksi, kondisi fisik dan psikis yang belum matang, ekonomi yang belum mapan, risiko putus sekolah, risiko lahirnya anak prematur yang menyebabkan cacat pada bayi, bahkan risiko kematian ibu dan anak, dan potensi perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga yang dapat mengakibatkan terjadinya perceraian;
Menimbang, bahwa dengan menerapkan kaidah fiqh di atas, dalam perkara a quo Hakim menilai mudarat (kondisi yang tidak menguntungkan) yang muncul apabila permohonan dispensasi kawin ini ditolak lebih ringan dari pada mudarat yang muncul apabila permohonan ini dikabulkan;
3. Pertimbangan Maqashid Syari’ah
Menimbang, bahwa Hakim dalam memutuskan perkara aquo ini juga perlu mempertimbangkan dalam aspek Maqashid Syari’ah, Pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dan perempuan yang masih di bawah umur bisa mencapai tujuan muliaa sesuai misi al-Qur’an, yakni terhindar dari perbuatan zina (QS. Al-Isra’ [17]: 32) atau hubungan seksual di luar nikah, “Mereka memelihara kemaluan kecuali terhadap pasangan mereka” (QS. Al-Mu’minun [23]: 6; al-Ma’arij [90]: 30), sehingga hifz al-nasl dapat terjaga dengan baik. Namun, tujuan tersebut bukanlah tujuan satu-satunya dalam pernikahan karena
pernikahan dilaksanakan untuk memelihara maqashid atau prinsip hidup yang lain.
Menimbang, bahwa Anak Para Pemohon berumur 15 (lima belas) tahun 6 (enam) bulan berdasarkan data United Nations Children's Fund (UNICEF) tahun 2014 “perempuan yang melahirkan pada usia 15-19 tahun beresiko mengalami kematian dua kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan yang melahirkan pada usia di atas 20 tahun” kehamilan di usia muda dapat beresiko menderita kanker rahim, bahkan berdampak pada kematian ibu, adanya resiko tersebut mengancam terwujudnya perlindungan terhadap jiwa (hifz al-nafs).
Menimbang, bahwa dari aspek perlindungan terhadap akal (hifz ‘aql), pernikahan di bawah umur juga berpotensi pada gagalnya pendidikan anak yang bersangkutan. Kondisi Anak Para Pemohon yang putus sekolah dan hanya lulusan Sekolah Dasar menunjukan Para Pemohon telah lalai menjalankan kewajiban mereka sebagai orang tua yang seharusnya memfasilitasi Anak Para Pemohon untuk memperoleh pendidikan yang layak. Anak Para Pemohon yang putus sekolah telah mengindikasikan bahwa Anak Para Pemohon belum mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk menjalankan kewajiban sebagai isteri, Anak Para Pemohon dinilai belum mampu untuk menjalankan peran sebagai seorang Ibu dan isteri yang merupakan madrasah pertama untuk anak-anaknya nanti. Karena itu, pasangan pernikahan premature (di bawah umur) akan mengalami kesulitan serius dalam mendidik anak-anak mereka sehingga dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak. Kurangnya pendidikan agama berarti pula mengancam hifz al-din (perlindungan agama) untuk dirinya;
Menimbang, bahwa dalam aspek hifz al maal (perlindungan terhadap harta) meskipun calon suami telah bekerja sebagai Petani Karet dan memiliki penghasilan penghasilan sekitar Rp2.000.000 (dua juta rupiah) perbulan. Meskipun nominal tersebut relatif cukup untuk membiayai kebutuhan rumah tangga, namun umur Anak Para Pemohon 15 (lima belas) tahun 6 (enam) bulan dinilai belum mampu dan cakap untuk mengelola keuangan rumah tangga dengan baik;
Menimbang, bahwa pernikahan di bawah umur tidak bisa dilihat dari satu nilai maqashid saja, seperti tujuan agar terhindar dari perbuatan zina. Pernikahan juga berhubungan dengan bagaimana menjamin terwujudnya hifz al-nafs (perlindungan terhadap jiwa), hifz al-mal (jaminan atas kekayaan dan kepemilikan), hifz al-’aql (jaminan terhadap kelangsungan fungsi akal) dan hifz al-din (perlindungan atas nilai-nilai agama). Artinya, pernikahan dini tidak bisa dilaksanakan hanya mempertimbangkan tercapainya satu tujuan semata, sementara perlindungan terhadap maqashid yang lain terabaikan.
Menimbang, bahwa adanya perubahan batas usia bagi perempuan untuk melakukan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan “perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita telah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun” haruslah ditafsirkan bahwa Undang-undang perkawinan menganut prinsip pendewasaan usia perkawinan, calon suami dan isteri harus telah dewasa jiwa dan raganya agar dapat mewujudkan perkawinan yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (vide pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan) tanpa adanya pikiran dan niat untuk bercerai;
Menimbang, bahwa adanya defleksitas usia perkawinan melalui lembaga dispensasi kawin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, “Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup” harus ditafsirkan penggunaan lembaga dispensasi kawin sebagai “pintu darurat” karena adanya alasan yang sangat mendesak agar perkawinan tersebut segera dilakukan;
Menimbang, bahwa penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (2) yang dimaksud dengan “alasan sangat mendesak” adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan. Adapun dalam perkara a quo, Hakim tidak melihat adanya alasan mendesak sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang tersebut, berdasarkan fakta persidangan Anak Para Pemohon saat ini baru berumur 15 (lima belas) tahun 6 (enam) bulan, Anak Para Pemohon dengan calon suami baru mengenal satu sama lain kurang dari 6 (enam) bulan, waktu tersebut masih relatif singkat baik anak Para Pemohon dengan calon suami belum mengenal kepribadian masing-masing secara utuh, dan Anak Para Pemohon saat ini tidak dalam keadaan hamil;
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 16 huruf f Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin diatur “Dalam pemeriksaan, Hakim memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dengan (f) memperhatikan perbedaan usia antara Anak dan calon suami/isteri”, dalam fakta persidangan usia Anak Para Pemohon yaitu 15 (lima belas) tahun 6 (enam) bulan sedangkan calon suaminya saat ini berusia 24 (dua puluh empat) tahun;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta persidangan tersebut perbedaan usia Anak Para Pemohon dengan calon suami sekitar 9 (sembilan) tahun, yang berdasarkan hasil penelitian Emory University di Atlanta pada tahun 2020 “bahwa pasangan suami isteri yang memiliki perbedaan usia 10 tahun atau lebih menyebabkan risiko perceraian sampai dengan 39 (tiga puluh Sembilan) persen”, yang dipertegas oleh Psikolog Gita Aulia Nurani, M.Psi “perbedaan usia yang terlalu jauh antara suami dan isteri dapat muncul potensi masalah komunikasi karena perbedaan cara pandang dan pengalaman”;
Menimbang, bahwa Para Pemohon sebagai orang tua seharusnya ikut berperan aktif dalam mencegah terjadinya perkawinan anak bukan malah mendorong terjadinya perkawinan anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1) angka (3) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mengatur bahwa Pemohon sebagai “orang tua berkewajiban dan bertanggung-jawab untuk mengurus, memelihara, mendidik dan melindungi anak dan menumbuh-kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, minat dan bakatnya serta mencegah perkawinan di usia anak-anak” Pasal 3 huruf c Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin “meningkatkan tanggung jawab Orang Tua dalam rangka pencegahan Perkawinan Anak”;
Menimbang, bahwa karena Para Pemohon dalam perkara a quo bertempat tinggal di wilayah administrasi Pemerintah Daerah Kabupaten XXX, maka Hakim juga perlu merujuk pada ketentuan Pasal 5 Peraturan Bupati XXX Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Pencegahan Perkawinan Anak “orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak dengan cara: (a) memberikan pendidikan karakter, (b) memberikan pendidikan keagamaan, (c) memberikan penanaman nilai-nilai budi pekerti dan budaya, (d) pendidikan kesehatan reproduksi;
Menimbang, bahwa dalam menerapkan Peraturan Bupati XXX Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Pencegahan Perkawinan Anak, Hakim mengambil kaidah fikih yang berbunyi:
تَصَرُّفُ الْاِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Artinya:”Kebijakan pemimpin atas rakyatnya dilakukan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan”
Menimbang, bahwa ditinjau dari aspek kesehatan, anak dalam perkara a quo yang baru berusia 15 (lima belas) tahun 6 (enam) bulan apabila melaksanakan pernikahan di bawah umur rentan terhadap risiko kesehatan dan kualitas anak yang dilahirkan, adanya larangan pernikahan anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1) angka (3) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak harus dimaknai dalam rangka menjaga dan melindungi kepentingan terbaik bagi anak;
Menimbang, bahwa berdasarkan data United Nations Children's Fund (UNICEF) tahun 2014, perempuan yang melahirkan pada usia 15-19 tahun beresiko mengalami kematian dua kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan yang melahirkan pada usia di atas 20 tahun, yang dipertegas oleh dr. Fransisca Handy, Sp.A. dalam (Ringkasan Hasil Penelitian Perkawinan Anak di Indonesia), perkawinan anak dengan kehamilan dini (di bawah umur 18 tahun) sangat beresiko tinggi bagi si ibu, karena si ibu sedang dalam masa pertumbuhan yang masih memerlukan gizi sementara janin yang dikandungnya juga memerlukan gizi sehingga ada persaingan dan rebutan nutrisi dan gizi antara si ibu dengan janinnya, dengan resiko antara lain, yaitu; a). berpotensi melahirkan prematur; b). bayi lahir cacat; c). bayi lahir dengan berat badan rendah/kurang; d). si ibu beresiko anemia (kurang darah); e). si ibu mudah terjadi pendarahan pada proses persalinan; f). si ibu mudah mengalami eklampsi (kejang pada perempuan hamil); g. meningkatnya angka kejadian depresi pada si ibu karena perkembangan psikologi belum stabil; h). meningkatkan Angka Kematian Ibu (AKI); i). semakin muda anak perempuan memiliki anak pertama, maka semakin rentan terkena kanker serviks; j). resiko terkena penyakit menular seksual; dan k). organ reproduksi belum berkembang sempurna;
Menimbang, bahwa ditinjau dari aspek psikologis anak, perkawinan di bawah umur berdampak buruk kepada kondisi psikologis anak, merujuk kepada penelitian dalam jurnal Pediatrics menujukkan bahwa anak yang menikah sebelum menginjak usia 18 tahun lebih berisiko mengalami gangguan mental. Risiko gangguan mental pada anak tersebut cukup tinggi, yaitu hingga 41% (empat puluh satu persen). Gangguan kejiwaan yang dilaporkan dalam penelitian tersebut antara lain depresi, kecemasan, gangguan disosiatif (kepribadian ganda), dan trauma psikologis seperti PTSD;
Menimbang, bahwa Anak Para Pemohon yang masih berusia 15 (lima belas) tahun 6 (enam) bulan cenderung belum mampu mengelola emosi dan mengambil keputusan dengan baik. Akibatnya, karena emosi yang belum stabil, pernikahan yang dilakukan di usia dini berpotensi melahirkan pertengkaran, percekcokan, dan bentrokan antara suami dan istri yang berujung pada gagalnya pernikahan;
Menimbang, bahwa berdasar fakta dan pertimbangan di atas, maka Hakim berpendapat bahwa permohonan Dispensasi Kawin yang diajukan oleh Para Pemohon tidak beralasan dan tidak memenuhi “alasan sangat mendesak” yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juncto, oleh karenanya terhadap petitum angka 2 permohonan Para Pemohon agar Pengadilan memberi dispensasi kepada Anak Para Pemohon untuk menikah dengan calon suaminya harus dinyatakan ditolak;
Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka berdasarkan ketentuan pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, biaya perkara dibebankan kepada Para Pemohon;
Memperhatikan pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum syara’ yang berkenaan dengan perkara ini;
MENETAPKAN:
1. Menolak permohonan Para Pemohon;
2. Membebankan kepada Para Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sejumlah RpXXX.000,00 (XXX ribu rupiah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar