FILSAFAT
PENDIDIKAN
Tiap-tiap aliran filsafat bukanlah
merupakan usaha mengakhiri perbedaan-perbedaan prinsipil dari suatu ajaran.
Tetapi justru di dalam kebebasan memilih dan mengembangkan ide-ide filsafat
itu, asas filosofis yang menghormati martabat kemanusiaan setiap orang tidak
hanya teroritis adanya, melainkan praktis, dilaksanakan. Inilah satu bukti dan
jaminan konkrit kebenaran-kebenaran filsafat yang asasi.
Jadi mengingkari kebebasan subyek,
meniadakan eclecticisme bertentangan dengan asas-asas utama di dalam filsafat
yang ideal. Dan ini perlahan-lahan tetapi pasti, membunuh perkembangan filsafat
itu sendiri. Bahkan tidak adanya eclecticisme itu bertentangan dengan kodrat
asasi pribadi manusia yang mengandung sifat-sifat individualitas dan sifat kepribadian
yang unik.
Klasifikasi aliran-aliran filsafat
pendidikan berdasarkan perbedaan-perbedaan teori dan praktek pendidikan yang
menjadi ide pokok masing-masing filsafat tersebut. Demikian pula klasifikasi
itu sendiri akan berbeda-beda menurut cara dan dasar yang menjadi kriteria
dalam menetapkan klasifikasi itu. Misalnya ada yang membuat klasifikasi aliran
filsafat pendidikan berdasarkan asas dichotomi yakni antara aliran progressive
dan aliran conservative. Tetapi klasifikasi yang demikian sukar untuk menampung
adanya kenyataan bahwa masing-masing aliran yang relatif banyak itu mempunyai
pula segi-segi yang overlapping. Karena itu tak akan ada sifat yang murni bagi
suatu aliran untuk digolongkan sebagai konservatif semata-mata, jika kita cukup
jujur untuk melihat adanya unsur-unsur progressif di dalamnya. Itulah sebabnya,
perlu kita sadari bahwa klasifikasi
aliran-aliran filsafat itu harus didasarkan atas penelitian yang mendalam dan
sangat hati-hati.
BAB II
ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Aliran ini dianggap sebagai
“regressive road to culture yakni jalan kembali atau mundur kepada kebudayaan
masa lampau Perennialisme menghadapi kenyataan dalam kebudayaan manusia
sekarang, sebagai satu krisis kebudayaan dalam kehidupan manusia modern. Untuk
menghadapi situasi krisis itu, Perennialisme menghadapi kenyataan dalam
kehidupan manusia modern. Untuk menghadapi situasi krisis itu, Perenialisme
memberikan pemecahan dengan jalan “Kembali kepada kebudayaan masa lampau”,
kebudayaan yang dianggap ideal.
Pendidikan harus lebih banyak
mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan
tangguh. Karena itu Perennialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali,
atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal
dimaksud, “education as cultural regression”. Perennialisme tak melihat jalan
yang meyakinkan selain kembali kepada prinsip-prinsip yang telah sedemikian
membentuk sikap kebiasaan, bahkan kepribadian manusia selain kebudayaan dulu
dan kebudayaan abad pertengahan.
Perennialisme memilih prinsip
demikian karena realita zaman modern memberi alasan obyektif, memberi kondisi
untuk pilihan itu. Untuk prinsip ide itu. Brameld menulis:
“…….. Perenialist reacts against the failures and tragedies
of our age by regressing or returning to the axiomatic beliefs about reality,
knowledge, and value that he finds foudational to a much earlier age”.
“……. Kaum perennialisme mereaksi dan melawan
kegagalan-kegagalan dan tragedi-tragedi dalam abad modern ini dengan mundur kembali
kepada kepercayaan-kepercayaan yang aksiomatis, yang telah teruji tangguh, baik
dalam teori realita, teori ilmu pengetahuan, maupun teor nilai, yang telah
memberi dasar fundamental bagi abad-abad sebelumnya.
Karena itu perenialisme memberikan
sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebudayaan dan
pendidikan zaman sekarang. Apabila suatu peradaban berada dipersimpangan arah,
dan bila suatu generasi memerlukan pengamatan nilai-nilai moral dan intelek
sebagaimana juga diperlukan pengamanan bidang sosial ekonomi, maka jalan
terbaik untuk itu ialah kembali kepada pola kebudayaan lama. Dan menurut
Perenialisme krisis demikian ialah yang dialami generasi sekarang dengan
kebudayaan sekarang. Karena itu, kita sebaiknya kembali kepada ketenangan,
kestabilan prinsip-prinsip kebudayaan abad pertengahan.
Watak umum Perennialisme tersimpul
dalam makna istilah yang menjadi nama aliran ini. Istilah “Perennial” berarti
“everlasting” atau abadi. Dengan demikian esensi atau inti kepercayaan filsafat
Perennialisme ialah nilai-nilai, norma-norma yang bersifat kekal abadi, bahkan
keabadian itu sendiri. Perennialisme mengambil analogi realita-sosial-bidaya
manusia, seperti realita sepohon bunga. Pohon bunga ini akan berbunga musim
demi musim, datang dan pergi secara tetap sepangjang tahun dan masa.
Demikianlah pola perkembangan kebudayaan manusia, abad demi abad, era demi era,
bahkan untuk selama-lamanya akan tetap mengulangi apa yang pernah dialaminya.
1. DUNIA
PENGALAMAN
Eksperimentalisme, adalah merupakan
suatu filsafat yang resmi dan sistematis. Usianya kurang dari satu abad, jadi
termasuk bilangan salah satu aliran filsafat yang termuda. Tetapi aliran
filsafat ini nampak menonjol karena mendasarkan pemikiran filsafatnya terutama
seklai kepada segi negatif dari pemikiran yang asasi (fundamental), yaitu
menentang dan menolak paham-paham filsafat sebelumnya. Dalam abad ke XX ini
kita melihat aliran filsafat ini bergerak kearah dasar yang lebih positif. Dan
kita harus terlebih dulu mengerti tentang apa yang ditolak oleh aliran filsafat
ini, sebelum kita masuk kedalam bidang-bidang yang mereka terima dengan baik
dan mereka kokohkan.
Untuk kesemuanya ini dan guna
memenuhi semua harapan Bangsa dan Negara kita, maka melakukan cara-cara belajar
mengajar yang bijaksana akan memainkan peranan yang sangat positif dan efektif
buat mencapai tujuan dan memenuhi segala harapan tersebut.
Falsafah Eksperimentalis ini dapat
dikatakan merupakan suatu metode dari pengetahuan modern yang sifatnya begitu
umum hingga dapat melingkupi segala aspek kehidupan manusia. Dia memulai
langkah filsafatnya dengan “pengalaman” yang senantiasa kita temuka didalam
berbagai fase dan aspek kehidupan. Kita sekarang ini sedang hidup dan dalam
kehidupan ini kita mempergunakan banyak seklai peninggalan-peninggalan dan
warisan-warisan sosial kita. Kita melihat kehidupan ini sebagaimana adanya dan
bagaimana dia berlanjut terus dan kita saksikan pula bahwa beberapa situasi,
kondisi dan keadaan kurang memuaskan dari yang lainnya. Dari sinilah kita mulai
memikirkan idea-idea untuk memperbaiki kehidupan ini, dan kita lalu menguji
coba (try-out) beberapa gagasan, sambil memperbaiki dan memperkuat
gagasan-gagasan atau rencana kita yang akan datang. Apabila pekerjaan ini kita
teruskan berarti kita telah membina kehidupan baik yang ideal dan ide-ide
bagaimana kita seharunya bertindak dan memikirkan cara-cara yang baik dan
menguntungkan buat mencapai cita-cita yang ideal itu.
Demikianlah pula, apabila kita
mempelajari “Pengalaman” itu, kita akan menemukan suatu faktor tertentu yang
aktif bekerja, yaitu apa yang kita sebutkan “Belajar”. Dan kita akan melihat
lebih lanjut bahwa usaha belajar itu dapat diarahkan sedemikian rupa untuk
membantu mewujudkan kehidupan yang lebih baik secara effektif. Kalau
dilanjutkan lagi kita akan menemukan hal yang berbeda dari pemikiran kita yang
lalu, bahwa usaha belajar sekarang ini merupakan bagian utama yang maha penting
dari pengalaman yang sedang berjalan. Dan kalau diteruskan lebih lanjut lagi,
kita akan menemukan bahwa setiap anak didik akan belajar bagaimana dia harus
hidup dan dia harus menerima kenyataan itu, bagaimana dia mesti
bertindak-tanduk, dia pelajari semua hal-hal tersebut dan pada akhirnya, kita
melihat bahwa apa-apa yang dipelajari oleh si anak itu langsung diterapkannya
didalam tingkah laku dan tindak tanduknya.
Dengan konsepsi belajar yang
demikian itu dalam hubungannya dengan cara hidup dan pembinaan tingkah laku
(character building), kami berkesimpulan bahwa sekolah haruslah merupakan
sebuah tempat dimana kemungkinan pembinaan suatu kehidupan yang lebih baik
dapat diusahakan agar berjalan terus, arena diluar kehidupan yang seperti itu,
anak-anak itu akan membina tingkah lakunya. Setelah itu anak tersebut akan
mempelajari dengan pasti apa yang diterimanya untuk dilakukan, dan sebagai
kelanjutannya, tugas kita sebagai guru hanyalah memberikan bimbingan tidak
langsung. Kita bertugas membina dan memberanikannya buat mencapai kwalitas
kehidupan yang terbaik, akan tetapi kita tidak dapat memerintahkan hal tersebut
kepadanya. Anak-anak itu akan belajar menimbulkan respons mereka sendiri
terhadap apa yang terjadi kepada mereka dan tentang mereka. Kita berusaha buat
membantu mereka dalam memberikan respons tersebut sebaik dan selengkap mungkin.
Akan tetapi keberhasilan kita dengan murid-murid kita akan diuji oleh
pertumbuhan mereka dalam kemampuan dan perkembangan watak mereka yang tumbuh
dari dalam diri mereka sendiri yang kelihatan bertambah matang dan tambah
bertanggung jawab. Di dalam suatu negara demokrasi, adalah pribadi-pribadi yagn
dapat menentukan arah diri mereka sendiri, itulah yang akan kita bina.
Orang-orang dengan kepribadian yang demikian itulah yang dapat mendorong maju
kehidupan ini, hingga lebih sukses dan berhasil buat mengembangkan dunia kita
ini. Dunia yang seperti itulah yang menarik perhatian golongan Eksperimentalis
dan diatas dasar pemikiran itu pulalah mereka membentuk Filsafat Pendidikan
Eksperimentalis.
2. ESENSIALISME
- Ciri-Ciri
Utama
Esensialisme mempunyai tinjauan
mengenai kebudayaan dan pendidikan yang berbeda dengan progresivisme. Kalau
progresivisme menganggap pandangan bahwa banyak hal itu mempunyai sifat yang
serba flesibel dan nilai-nilai itu berubah dan berkembang, essensialisme
menanggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat. Dalam pendidikan,
fleksibilitas dalam segala bentuk, dapat menjadi sumber timbulnya pandangan
yang berubah-rubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.
Pendapat yang bersendikan atas
nilai-nilai yang bersifat demikian ini dapat menjadikan pendidikan itu sendiri
kehilangan arah. Berhubung dengan itu pendidikan haruslah bersendikan atas
nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Agar dapat terpenuhi maksud
tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih yang mempunyai tata yang jelas dan yang
telah teruji oleh waktu.
Nilai-nilai yang dapat memenuhi
adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat
abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman Reanisans, sebagai pangkal
timbulnya pandangan-pandangan esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan
ini adalah pada petengahan kedua abad ke sembilan belas.
Idealisme dan realisme adalah
aliran-aliran filsfat yang membentuk corak esensialisme. Sumbangan yang
diberikan oleh masing-masing ini bersifat eklektik. Artinya dua aliran filsafat
ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, tetapi tidak lebih menjadi satu.
Berarti, tidak melepaskan sifat-sifat utama masing-masing.
3. ANTESEDENS
Di atas telah dikemukakan bahwa
Renaisans adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut
esensialisme. Oleh karena timbul sejak zaman itu, esensialisme adalah konsep
yang meletakkan sebagian dari ciri-ciri alam pikir modern.
Sebagaimana halnya sebab-musabab
timbulnya Renaisans, esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi
terhadap simbolisme mutlak dan dogmatisme Abad Pertengahan. Maka, disusunlah
konsepsi yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang
memenuhi tuntutan zaman modern.
Realisme modern, yang menjadi salah
satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan
dunia fisik, sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain.
Pandangan-pandangannya bersifat spritual. John Deonald Butler mengutarakan
secara singkat ciri dari masing-masing ini sebagai berikut.
Alam adalah yang pertama-tama
memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan ini harus dijadikan pangkal
berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik, dan
disanalah terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi
yang tidak semata-mata bersifat mental. Jadi jiwa dapat diumpamakan sebagai
cermin yang menerima gambaran-gambara yang berasal dari dunia fisik. Ini
berarti bahwa anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai
hasil tinjauan yang menyebelah saja. Berarti bukan hanya dari subyek atau obyek
semata-mata, melainkan pertemuan antara keduanya.
Idealisme modern mempunyai
pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide).
Di balik dunia fenomental ini ada Jiwa yang Tidak Terbatas yaitu Tuhan, yang
merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada
dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta
gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya
adalah Tuhan sendiri.
Sebagai reaksi terhadap tuntutan
zaman yang ditandai oleh suasana hidup yang menjurus kepada keduniaan,
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi, yang mulai terasa sejak permulaan
abad ke 15, realisme dan idealisme perlu menyusun pandangan-pandangan yang
modern. Untuk ini perlu disusun kepercayaan yang dapat menjadi penuntun bagi
manusia agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan itu. Kepercayaan
yang dimaksud diusahakan tahan lama, kaya akan isinya dan mempunyai dasar-dasar
yang kuat.
4. PANDANGAN
MENGENAI REALITA
Sifat yang menonjol dari ontologi
esensialisme adalah suatu konsepsi bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang
tiada cela, yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Ini berarti
bahwa bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah
disesuaikan dengan tata tersebut. Dibawah ini adalah uraian mengenai
penjabarannya menurut realisme dan idealisme.
Realisme yang mendukung
esensialisme disebut realisme oyketif karena mempunyai pandangan yang
sistematis mengenai alam serta tempat manusia di dalamnya. Terutama sekali ada
dua golongan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi realisme ini.
Dari fisika dan ilmu-ilmu yang
sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisik ini dapat dipahami
berdasarkan adanya tata yang jelas khusus. Ini berarti bahwa suatu kejadian
yang paling sederhanapun dapat ditafsirkan menurut hukum alam, seperti misalnya
data tarik bumi. Di samping itu oleh ilmu-ilmu ini dikembangkanlah teori
mekanisme, yang mengatakan bahwa dunia itu ada dan terbangun atas dasar sebab
akibat, tarika dan tekanan dari “mesin” yang sangat besar. Di samping itu teori
mekanisme ini memperleh dukungan perkembangan dari matematika, yang berbentuk
dalam berbagai sumbangan. Antara lain bahwa semua gerak dalam hubungan dengan
alam ini dapat dijabarkan secara kuantitatif, rumus-rumus dan
persamaan-persamaan yang abstrak.
Dari sinilah timbul
pengertian-pengertian mengenai metode ilmiah dan metode eksperimental. Yang
pertama terutama sekali terdiri dari usaha untuk menjabarkan semua proses dalam
alam ini dalam rumusan-rumusan matematis dan yang dapat menerangkan tentang
adanya hukum-hukum alam. Adapun mengenai eksperimen atau percobaan untuk
mengetahui rahasia alam telah dirintis oleh tokoh-tokoh realis, di antaranya
Newton.
5. PANDANGAN
MENGENAI PENGETAHUAN
Pada kacamatan realisme masalah
pengetahuan ini, manusia adalah sasaran pandangan dengan penelahaan bahwa
manusia perlu dipandang sebagai makhluk yang padanya berlaku hukum yang
mekanistis evolusionistis. Sedangkan menurut idealisme, pandangan mengenai
pengetahuan ini bersendikan pada pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang
timbul dari hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos.
Bersendikan prinsip di atas dapatlah
dimengerti bahwa realisme memperhatikan berbagai pandangan dari tiga aliran
psikologi, asosianisme, behaviorisme dan koneksionisme. Dengan memperhatikan
tiga aliran ini, yang pada dasarnya mencerminkan adanya penerapan metode-metode
yang lazim untuk ilmu pengetahuan alam kodrat, realisme menunjukkan sikap lebih
maju mengenai masalah pengetahuan ini dibanding dengan idealisme.
Langkah maju ini tercermin pada
kenyataan bahwa selain konsep-konsep dari tiga aliran tersebut dapat dipahami
secara teoritis, juga di dalam praktek dapat diperkaya dengan pengumpulan data
dari lapangan. Di samping itu, sebagaimana diutarakan di bawah ini, tiga aliran
tersebut memiliki sifat-sifat yang satu sama lain saling menyempurnakan.
Asosianisme, yang berasal dari
beberapa filsuf Inggris ini, mengutarakan bahwa gagasan atau isi jiwa itu
terbentuk dari asosiasi unsur-unsur yang berupa kesan-kesan yang berasal dari
pengamatan. Kesan-kesan tersebut, yang juga disebut tanggapan, dapat
diumpamakan sebagai atom-atom dari jiwa.
Beharivorisme mengemukakan konsep
yang dapat mengatasi kesederhanaan konsep dari asosianisme. Maka ditetapkannya
tingkah laku sebagai istilah dasar, yang menunjuk kepada hidup mental. Di
katakan, bahwa usaha untuk memahami hidup mental seseorang berarti harus memahami
organisme. Sedangkan pemahaman mengenai organisme ini berarti menginjak
lapangan nerologis, maka masalah ini tidak dapat dipisahkan dari lapangan
pengalaman.
6. PANDANGAN
MENGENAI NILAI
Nilai, seperti halnya pengetahuan
berakar pada dan diperoleh dari sumber-sumber obyektif. Sedangkan sifat-sifat
nilai tergantung dari pandangan yang timbul dari realisme dan idealisme. Kedua
aliran ini menyangkutkan masalah nilai dengan semua aspek perkehidupan manusia
yang berarti meliputi pendidikan. Pandangan dari dua aliran ini, yang mengenai
nilai pada umumnya dan nilai keindahan pada khususnya akan dipaparkan berikut
ini.
Menurut realisme, kualitas nilai
tidak dapat ditentukan secara konseptual terlebih dahulu, melainkan tergantung
dari apa atau bagaimana keadaannya bila dihayati oleh subyek tertentu dan
selanjutnya akan tergantung pula dari sikap subyek tersebut.
Untuk hal yang pertama, dapatlah
ditunjukkan bahwa nilai mempunyai pembawaaan atas dasar komposisi yang ada.
Misalnya, kombinasi warna akan menimbulkan kesan baik, bila penempatan dan
fungsinya disesuaikan dengan pembawaan dari komponen-komponen yang ada.
Khususnya, sebagai contoh, tempramen warna putih dan biru akan sesuai dengan
warna kuning atau putih. Yang berwarna putih atau biru akan cocok bila dipakai
oleh orang yang warna kulitnya kuning atau putih.
Untuk hal yang kedua, dapatlah
diutarakan bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan juga mempunyai
hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal
seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang,
haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk ini, ekspresi perasaan yang
mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi
yang dikenakan itu dapat menunjukkan keindahan baik pakaian dan suasana
kesungguhan tersebut.
7. NILAI
KEINDAHAN
Nilai keindahan adalah suatu
kenikmatan yang dihasilkan dalam pengalaman bila kognisi dan perasaan bercampur
atau saling pengaruh mempengaruhi. Yang dimaksud dengan kognisi disini adalah
persoala persepsi sebagaimana dihubungkan dengan kenikmatan keindahan. Apa yang
dihasilkannya ditambah dengan perasaan yang mengikutinya. Berarti bahwa
kenikmatan seseorang mengenai keindahan itu merupakan perpaduan antara
pengalaman, persepsi dan perasaan.
Kesenian, menurut realisme, adalah
hidup sebagaimana adanya, maka kesenian dengan sendirinya berisikan hal-hal
yang kompleks sebagaimana hidup itu sendiri. Ditinjau dari sudut manusia,
faktor yang amat penting dalam tinjauan mengenai pengalaman kesenian ini,
kesenian ini dapat memiliki sifat-sifat yang kaya seperti yang dialami oleh
manusia, misalnya harmoni-disharmoni, suka duka, dan lain sebagainya. Pokoknya
kesenian adalah pencerminan dari alam atau kehidupan sebagaimana wajarnya.
8. PANDANGAN MENGENAI
PENDIDIKAN
Pandangan mengenai pendidikan yang
diutarakan disini bersifat umum, simplikatif dan selektif, dengan maksud agar
semata-mata dapat memberikan gambaran mengenai bagian-bagian utama dari
esensialisme. Di samping itu karena tidak setiap filsuf idealis atau realis
mempunyai paham esensialistis yang sistematis, maka uraian ini bersifat
eklektik.
Esensialisme timbul karena adanya
tantangan mengenai perlunya usaha emansipasi diri sendiri, sebagaimana
dijalankan oleh para filsuf pada umumnya ditinjau dari sudut Abad Pertengahan.
Usaha ini diisi dengan pandangan-pandangan yang bersifat menanggapi hidup yang
mengarah kepada keduniaan, ilmiah dan teknologi, yang ciri-cirinya telah ada
sejak zaman Renaisans.
Dalam rangka menunjukkan antesedens
esensialisme ini, akan dipaparkan secara historis kronologis dengan
mengetengahkan tokoh-tokoh yang utama. Penggalan kronologis dijatuhkan kepada
periode sebelum dan sesudah tahun tiga puluh abad ini.
Desiderius Erasmus, humanis Belanda
yang hidup pada akhir abad ke 15 dan permulaan abad ke-16, adalah tokoh yang
mula-mula sekali berontak terhadap pandangan hidup yang berpijak pada dunia
lain. Tokoh ini berusaha agar kurikulum di sekolah bersifat humanistis dan
bersifat internasional, yang dapat diikuti oleh kaum tengahan dan aristokrat.
Pendidikan yang dilewatkan mereka ini memberikan kemungkinan dapat
berlangsungnya perubahan yang diharapkan oleh Erasmus tersebut.
Tokoh berikutnya, Johann Amos
Comenius (1592-1670) adalah pendidik Renaisans pertama yang berusaha untuk
mensistematisasikan proses pengajaran. Tokoh ini dengan memiliki
pandangan-pandangannya, dapat disebut seorang realis yang dogmatis. Ia berkata
antara lain bahwa hendaklah segala sesuatu diajarkan melalui indera karena
indera adalah pintu gerbang jiwa. Jadi pintu gerbang dari pengetahuan itu
sendiri. Disamping itu, Comenius mempunyai pendirian bahwa karena dunia itu
dinamis dan bertujuan, tugas kewajiban pendidikan adalah membentuk anak sesuai
dengan kehendak Tuhan.
John Locke (1632-1704), adalah tokoh
dari Inggris yang dikenal sebagai “pemikir dunia ini”, ia berusaha agar
pendidikan menjadi dekat dengan situasi-situasi, John Locke mempunyai sekolah
kerja untuk anak-anak miskin.
Johann Henrich Pestalozzi
(1746-1827) percaya sedalam-dalamnya mengenai alam dalam arti peninjauan yang
bersifat naturalistis. Alam dengan sifat-sifatnya tercermin pada manusia, yang
karenanya manusia memiliki kemampuan-kemampuan wajarnya. Di samping itu
Pestalozzi percaya akan hal-hal yang transendental, engan mengatakan bahwa
manusia itu mempunyai hubungan transendental langsung dengan Tuhan.
Pandangan yang serba transendental
ini nampak pula pada Johan Friedrich Frobel (1782-1852), dengan corak
pandangannya yang bersifat kosmis-sintesis. Manusia adalah makhluk ciptaan
Tuhan dan merupakan bagian dari alam ini. Oleh karena itu ia tunduk dan
mengikuti ketentuan dari hukum-hukum alam.
Dengan tertarik kepada pendidikan
anak kecil. Frobel memandang anak sebagai makhluk yang berekspresi kreatif.
Dalam tingkah laku demikian init ampak adanya kualitas metafisis, maka tugas
pendidikan adalah memimpin anak didik ini kearah kesadaran diri sendiri yang
murni, sesuai dengan pernyataan dari Tuhan.
Johann Friedrich Herbart
(1776-1841), salah seorang murid Immanuel Kant, adalah tokoh yang selalu
bersikap kritis. Ia berpendirian bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan
jiwa seseorang dengan kebajikan dari Yang Mutlak, yang berarti antara lain
penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan
pendidikan ini oleh Herbart disebut pengajaran mendidik.
9. PANDANGAN
MENGENAI BELAJAR
Idealisme, sebagai filsafat hidup,
memulai tinjauannya mengenai pribadi individual dengan menitikberatkan pada
aku. Menurut idealisme, bila seseorang itu belajar pada taraf permulaan adalah
memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif.
Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos.
Sebagai contoh, dengan landasan
pandangan di atas, cepatlah dikemukakan pandangan Immanuel (1724-1804),
Dijelaskan bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia lewat indera
memerlukan unsurnya priori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan
benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan
ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada
pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori yang terarah itu bukanlah budi kepada
benda, tetapi benda-benda itulah yang terarah keapda budi. Budi membentuk,
mengatur dalam ruang dan waktu.
Dengan mengambil landasan pikir di
atas, belajar dapat didefenisikan sebagai jiwa yang berkembang pada sendirinya
sebagai substansi spritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri.
10. PANDANGAN MENGENAI KURIKULUM
Bogoslousky, dalam bukunya The
Ideal School, mengutarakan hal-hal yang lebih jelas dari Horne. Di samping
menengaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata
pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai
sebuah rumah yang mempunyai empat bagian, ialah:
a) Universum.
Pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala manifestasi hidup
manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata
surya dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam
kodrat yang diperluas.
b) Sivilisasi. Karya yang dihasilkan manusia
sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan
pengawasan terhadap lingkungannya, mengajar kebutuhan, dan hidup aman dan
sejahtera.
c) Kebudayaan.
Karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan,
agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
d) Kepribadian.
Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak
bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah
diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologis, emosional dan intelektual
sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan
kemanusiaan yang ideal tersebut.
11. EKSISTENSIALISME
(KIERKEGAARD-SARTRE)
Tidak banyak aliran filsafat yang
mengguncangkan dunia, filsafat eksistensialisme adalah salah satu diantaranya.
Nanti ada akan melihat bahwa filsafat ini tidak luar biasa, akar-akarnya
ternyata tidak dapat bertahan dari berbagai kritik. Akan tetapi, isme ini
termasuk isme yang membuat guncangan yang hebat.
Setelah selesai Perang Dunia Kedua,
penulis-penulis Amerika (terutama wartawan) berbondong-bondong pergi menemui
filosof ekstensialisme, misalnya mengunjungi filosof Jerman Martin Heidegger
(lahir 1839) di gubuknya yang terpencil di Pegunungan Alpen sekalipun ia telah
bekerja sama dengan Nazi.
Tatkala seseorang filosof
ekstensialisme. Jean Paul Sartre (lahir 1905), mengedakan perjalanan keliling
Amerika, dia disebut oleh surat-surat kabar Amerika sebagai the King of
Existentialism. Bila cerita-cerita sandiwaranya dipentaskan, orang telah
menyiapkan ambulans untuk mengangkut penonton yang jatuh pingsan. Demikianlah
sekedar penggambaran kehebatan filsafat eksistensialisme. Sayanglah filsafat
ini sulit dipahami oleh pemula. Marilah kita mulai dengan memperhatikan lebih
dulu defenisi eksistensialisme.
Tidak mudah membuat defenisi
eksistensialisme. Kesulitannya ialah karena existentialism embraces a variety
of styel and convictions (Encylopedia Americana: 10: 762). Kaum eksistensialis
sendiri tidak sepakat mengenai rumusan tentang apa sebenarnya eksistensialisme
itu (Hassan: 1947: 8). Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik
filsafat eksistensi maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara
wujud manusia sebagai tema sentral.
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist
yang berasal dari kata Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti
berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri.
Pikiran semacam ini dalam bahasa jerman disebut dasein. Da berarti disana, sein
berarti berada. Berada bagi manusia selalu berarti disana, ditempat. Tidak
mungkin ada manusia tidak bertempat. Bertempat berarti terlibat dalam alam
jasmani, bersatu dengan alam jasmani. Akan tetapi, bertempat bagi manusia
tidaklah sama dengan bertempat bagi batu atau pohon. Manusia selalu sadar akan
tempatnya. Dia sadar bahwa ia menempati. Ini berarti suatu kesibukan, kegiatan,
melibatkan diri. Dengan demikian, manusia sadar akan dirinya sendiri. Jadi,
dengan keluar dari dirinya sendiri manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia
berdiri sebagai aku atau pribadi.
Filsafat selalu lahir dari suatu
krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau
kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Dengan
demikian, filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Ini
berarti bahwa manusia yang berfilsafat senantiasa meninjau kembali dirinya.
Mungkin tidak secara tegas manusia itu meninjau dirinya, misalnya ia mempersoalkan
Tuhan atau dunia sekelilingnya, tetapi dalam hal seperti itu manusia
sesungguhnya masih mempersoalkan dirinya juga. Bahwa dalam filsafat eksistensi
manusia tegas-tegas dijadikan tema senteral, menunjukkan bahwa di tempat itu
(Barat) sedang berjangkit suatu krisis yang luar biasa hebatnya (Beerling,
1966: 211-12). Bagaimana keadaan krisis itu? Uraikan berikut ini meninjau
keadaan dunia pada umumnya dan Eropa Barat pada khususnya yang merupakan tempat
yang bertanggung jawab atas timbulnya filsafat eksistensialisme.
Sifat materialisme ternyata
merupakan pendorong lahirnya eksistensialisme. Yang dimaksud dengan eksistensi
ialah cara orang berada di dunia. Kata berada pada manusia tidak sama dengan
beradanya pohon atau batu. Untuk menjelaskan arti kata berada bagi manusia,
aliran eksistensialisme mula-mula menghantam materialisme.
Eksistensialisme menyatakan bahwa
cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia, sapi
dan pohon juga. Akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam
dunia, ia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu.
Manusia mengerti guna pohon, batu, dan salah satu diantaranya ialah ia mengerti
bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa arti semua ini? Artinya ialah bahwa manusia
adalah subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang
disadarinya disebut obyek.
Eksistenslialisme juga lahir
sebagai reaksi terhadap idealisme. Materialisme dan idealisme adalah dua
pandangan filsafat tentang hakikat yang eksterm. Kedua-duanya berisi
benih-benih kebenaran, tetapi kedua-duanya juga salah. Eksistensialisme ingin
mencari jalan keluar dari kedua ekstremitas itu.
Apa eksistrensialisme itu? Sebagian
tela diuraikan terdahulu. Pengetahuan yang seikit lebih luas tentang
eksistensialisme ditampilkan berikut ini dengan menampilkan pemikiran tokohnya:
Soren Kierkegarrd dan Jean Paul Sertre.
12. SOREN KIERKEGARD
(1813-1855)
Suatu reaksi terhadap idealisme
yang sama sekali berada dari reaksi materialisme ialah yang berasal dari
pemikir Dernmark yang bernama Soren Kierkegarrd. Menurut Kierkegaard, filsafat
tidak merupakan suatu sistem, tetapi suatu mengeksperressian eksistensi
individual. Karena ia menentang filsafat yang bercorak sistematis, dapat dimengerti
mengapa ia menulis karyanya dengan menggunakan nama samaran. Dengan cara
demikian, ia mencoba menghindari anggapan bahwa bukunya merupakan gambaran
tentang fase-fase perkembangan pemikirannya. Dengan menggunakan nama samaran,
mungkinlah ia menyayang pendapat-pendapatnya di dalam bukunya yang lain.
Pertama-tama Kierkegaard memberikan
kritik terhadap Hegel. Ia berkenala dengan filsafat Hegel ketika belajar
teologi di Universitas Kopenhangen. Mula-mula memang ia tertarik pada filsafat.
Hegel yang telah populer dikalangan intelektual di Eropa ketika itu, tetapi
tidak lama kemudian ia lancarkan kritiknya.
Keberatan utama yang diajukan oleh
Kierkegaard kepada Hegel ialah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkret
karena ia (Hegel) mengutamakan ide yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard,
manusia tidak pernah hidup sebagai suatu “aku umum”, tetapi sebagai “aku
individual” yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu
yang lain. Dengan demikian, Kierkegaard memperkenalkan istilah “eksistensi”
dalam suatu arti yang mempunyai peran besar pada abad ke-20. hanya manusia yang
mampu bereksistensi, dan eksistensi saya tidak saya jalankan satu kali untuk
selamanya, tetapi pada setiap saat eksistensi saya menjadi obyek pemilihan
baru. Bereksistensi ialah bertindak. Tidak ada orang lain yang dapat
menggantikan tempat saya untuk bereksistensi atas nama saya.
Hampir semua filosof masa lampau
hanya mempelajari sifat-sifat umum, sifat manusia pada umumnya, kehidupan pada
umumnya, kebebasan pada umumnya, dan lain-lain. Mereka memandang yang umum atau
yang abstrak. Yang umum memang selalu abstrak. Tradisi membicarakan yang umum
memuncak pada Hegel. Akan tetapi, menurut Kierkegaard filsafat harus
mengutamakan manusia individual. Kehidupan secara kongkret berarti
kehidupan-ku. Kebenaran secara kongkret berarti kebenaran bagi saya. Percobaan
Hegel untuk membuat sintesis harus ditolak. Mendamaikan pertentangan dengan
cara menyintesissnya hanyalah akan menghasilkan sesuatu yang abstrak. Di dalam
kehidupan kongkret kita selalu menghadapi pertentangan yang tidak mungkin
disentisis. Di dalam bidang etika, misalnya, kita selalu dituntut memutuskan
secara radikal, ini atau itu. Kata ini menjadi nama buku Kierkegaard yang
pertama yang terbit pada tahun 1843. selain mengkritik Hegel, ia juga
mengkritik agama Kristen.
Kierkegaard mengemukakan kritik
tajam terhadap Gereja Lutheran yang merupakan Gereja Kristen resmi di Denmark
ketika itu. Kritik itu dilemparkan terutama pada masa tuanya. Ia menganggap
Gereja di tanah airnya itu telah menyimpang dari Injil Kristus. Pada pokoknya,
kritik Kierkegaard terhadap agama Kristen di tanah airnya tidak berbeda dari
kritiknya terhadap filsafat Hegel. Masalah yang dikritiknya ialah karena orang
mengaku Kristen disana, tetapi kebanyakan tidak benar. Kristen tidak melekat di
hati, tidak dianut dengan sepenuh kepribadian, ada kemunafikan. Sifat ini amat
dibenci oleh Kicrkegaard. Bahkan ketka itu iman Kristen menjadi sikap borjuis
dan lahiriah saja. Sedangkan menurut Kiergaard iman Kristen haruslah merupakan
sala satu cara hidup radikal yang menurut seluruh kepribadian.
Pengaruh Kierkegaard belum tampak
ketika ia masih hidup, bahkan bertahun-tahun namanya tidak dikenal orang di
luar negerinya. Itu antara lain karena karyanya ditulis dalam bahasa Denmark.
Barulah pada akhir abad ke-19 karya-karyanya Kierkegaard mulai diterjemahkan
kedalam bahasa Jerman. Karyanya menjadi sumber yang penting sekali untuk
filsafat abad ke-20, yang disebut eksistensilisme. Karenanya sering disebut
bahwa Kierkegaard adalah Bapak Filsafat Ekstensialsime. Akan tetapi, anehnya,
eksistensialisme abad ke-20 tidak jarang beraliran ateis, padahal Kierkegaard
seorang penganut Kristen (lihat Bertens, 1979: 83-85). Tak pelak lagi, tokoh
eksistensialisme tersebar adalah Jean Paul Sartre.
13. JEAN PAUL SARTRE
(1950-1980)
Pada tanggal 15 April 1980 dunia
filsafat dikagetkan oleh berita meninggalnya seorang filosof besar Perancis,
tokoh paling penting dalam filsafat eksistensialisme, yaitu Jean Paul Sartre.
Dialah yang menyebabkan eksistensialisme menjadi tersebar, bahkan menjadi
semacam mode, sekalipun pendiri eksistensialisme bukan dia, melainkan Soren
Aabye Kierkegaard (1813-1855) (Kaufmann. 1976: 192).
Krisis memang sedang terjadi,
terutama di Eropa. Reaksi pertama terhadap krisis itu datang dari Soren Aabye
Kierkegaard. Ia mengkritik Hegel yang mengajarkan adanya “aku umum”.
Kierkegaard mengajarkan bahwa yang ada ialah “aku individual”. Dengan demikian,
ia telah memperkenalkan istilah eksistensi yang memegang peranan penting dalam
filsafat abad ke-20. hanya manusia yang bereksitesi. Bereksistensi berarti
bertindak, dan tidak ada orang lain yagn dapat mengganti bereksistensi atas
naka saya. Tekanan kierkegaard pada pentingya arti eksistensi individu itu
telah melahirkan semacam kesadaran umum pada tanggung jawab setiap pribadi
dalam kehidupan ini. Dan pandangan seperti itulah Kierkegaard berbicara tentang
etika, mengkritik Kristen Lutheren di Denmark. Pandangan tentang pentingnya
arti manusia sebagai pribadi inilah kiranya yang menjadi intisari filsafatnya
yang kelak dikembangkan oleh Sartre dalam nama eksistensialisme yang dengan
cepat mendapat sambutan hampir di seluruh dunia.
Jean Paul Sartre lahir di Paris
pada tahun 1905 dan meninggal pada tahun 1980. Ia belajar pada Ecole Normale
Superieur pada tahun 1924-28. Setelah tamat dari sekolah itu. Pada tahun 1929
ia mengajarkan filsafat di beberapa Lycees, baik di Paris maupun di tempat
lain. Dari tahun 1933 sampai tahun 1935 ia menjadi mahasiswa peneliti pada
Institut Francis di Berlin dan di Universitas Freiburg. Tahun 1938 terbit
novelnya yang berjudul La Nausce, dan Le Mur terbit pada tahun 1939. sejak itu
muncullah karya-karyanya yang lain dalam bidang filsafat.
Tatkala pecah perang pada tahun
1939 ia menggabungkan diri dalam pasukan Prancis, dan pada tahun 1940 ia
ditangkap oleh Jerman. Setelah dibebaskan, ia kembali ke Paris. Di sana ia
meneruskan karyanya sebagai pengajar dalam bidang filsafat sampai tahun 1944.
Dalam waktu inilah ia menyelesaikan bukunya yang terkenal. L’Etre et Le Neant,
pada tahun 1943. dalam gerakan politik, bersama kawannya, Albert Camus dan
Muarice Merleau-Ponty, ia bekerja sama dengan Partai Komunis Prancis. Tahun
1960 terbit bukunya, Critique de la Raison Dialectique (diambil dari
Encyclopedia of Philosophy, 7-8, 1967: 287-88).
Selain sebagai seorang guru besar,
ia jugaa seorang pejuang. Dalam perang Dunia Kedua ia menjadi salah seorang
pemimpin pertahanan. Sebagai novelis dan dramawan namanya amat terkenal. Tahun
1964 ia menolak menerima hadiah Nobel dalam bindang kesusasteraan (Burr dan
Goldinger:520). Sekalipun pada dasarnya buah pikirannya merupakan pengembangan
pemikiran Kierkegaard, ia mengembangkannya sampai pada tahap yang amat jauh.
Cobalah perhatikan bagaimana ia mendefenisikan eksistensi sebagaimana
diringkaskan berikut ini.
Bagi Sartre, eksistensi manusia
mendahului esensinya. Pandangan ini amat janggal sebab biasanya sesuatu harus
ada esensinya lebih dulu sebelum keberadaannya. Bagaimana sebenarnya yang
dimaksud oleh Sartre?
Filsafat eksistensialisme membicara
cara berada di dunia ini, terutama cara berada manusia. Dengan perkataan lain,
filsafat ini menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema sentral
pembahasannya. Cara itu hanya khusus ada pada manusia karena hanya manusialah
yang bereksistensi. Binatang, tumbuhan, bebatuan memang ada, tetapi mereka
tidak dapat disebut bereksistensi (Drijarkara, 1966: 57). Filsafat
eksistensialisme mendamparkan manusia ke dunianya dan menghadapkan manusia
kepada dirinya sendiri. (Hassan: 9).
Menurut ajaran eksistensialisme,
eksistensi manusia mendahului esensinya. Hal ini berada dari tetumbuhan, hewan,
dan bebatuan yang esensinya mendahulu eksistensinya, seandainya mereka
mempunyai eksistensi. Di dalam filsafat idealisme, wujud nyata (existence)
dianggap mengikuti hakikat (esence)nya. Jadi hakikat manusia mempunyai ciri
khas tertentu, dan ciri itu menyebabkan manusia berbeda dari makhluk lain
(Hanafi, 1981:90). Manusia harus menciptakan eksistensinya sendiri (Beerling:
215). Oleh karena itu, dikatakan bahwa manusia itu eksistensinya mendauhului
esensinya (Struhl dan Struhl, 1972L 33,35). Dan formula ini merupakan prinsip
utama dan pertama di dalam filsafat eksistensialisme (Struhl dan Struhl:36).
Berikut ini dijelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan ungkapan eksistensi
mendahului esensi (existence precedes essence) itu.
Ø Eksistensialisme
adalah suatu aliran yang menolak pemutlakan akal budi menolak
pemikiran-pemikiran abstrak murni eksistensialisme berupaya untuk memahami
manusia yang berada di dalam dunia, yakni manusia yang berada pada situasi yang
khusus dan unik. Blackham mengatakan bahwa eksistensialisme adalah filsafat
keberadaan. Suatu filsafat pembenaran dan penerimaan dan suatu penolakan
terhadap usaha rasionalisasi pemikiran yang abstrak tentang kebenaran.
Ø Metode yang
digunakan oleh para pemikir eksistensialis disebut metode eksestensial. Metode
ini sebenarnya ada bermacam-macam. Namun pada dasarnya metode ini dipengaruhi
oleh Kickegaard Bapak eksistensialisme. Pemikiran beliau merupakan reaksi yang
terutama tertuju kepada rasioanlisme idealistis Hegel yang dianggap telah mati
dan tidak berguna lagi.
Ø Pada umumnya
pemikir-pemikir Eksistensialis mengakui bahwa ada kebenaran ilmiah yang
objektf, tetapi tidak begitu penting. Mereka berpendapat bahwa yang paling
penting adalah kebenaran subjektif kickegaard menyatakan bahwa “Kebenaran
adalah subjektivitas” (truth is subjectivity). Tentu saja itu tidak berarti
setiap keyakinan subjektif adalah kebenaran. Akan tetapi, para filsuf
eksistensi menegakkan bahwa kebenaran haruslah senantiasa bersifat personal dan
tidak semata-mata propossional.
Ø Para pemikir
Eksistensialis pada umumnya berpendapat bahwa tidak seorangpun dapat meraih
kebenaran hanya dengan menjadi penonton atau hanya dengan melakukan observasi.
Selain harus berperan serta dalam kehidupan itu sendiri. Hal itu yang menjadi
titik berangkat eksistensial. Kebenaran hanya dapat ditemukan di dalam hal yang
konkrit dan bahkan di dalam yang abstrak. Kebenaran hanya dapat dijumpai di
dalam yang eksistensial dan bukan secara rasional.
Ø Secara umum dapat
dikatakan bahwa metode eksistensial merupakan kebalika dari metode ilmiah
tradisional dalam hal sebagai berikut. Mereka yang menggunakan metode ilmiah
tradisional mengkonsentrasikan pandangan pada apa yagn sedang berada di dalam
suatu tabung percobaan. Adapun para pemikir eksistensialis dengan metode
eksistensial mereka mengkonstrasikan pandangan mereka pada manusia yang berada
di luar tabung percobaan. Dengan dmeikian Suwectivitas lebih berguna dari pada
objektivitas, dan nilai lebih perlu dari pada fakta, memang harus diakui bahwa
justru itulah yang terlupakan dalam berbagai metode lain yang telah dikenal
selam itu, yang terlalu memutlakkan objektivitas.
Ø Umat manusia masa
kini patut berterima kasih kepada filsof-filsof eksistensialis yang dengan
berani telah menyampaikan koreksi yang amat dibutuhkan terhadap metode-metode
yang memutlakkan objektivitas. Kebenaran tidak selamanya bersifat objektif
ilmiah. Kebenaran termasuk juga kebenaran religius, haruslah bersifat personal.
Dengan demikian, filsuf-filsuf eksistensialis telah memperluas horizon kita
dengan satu dimensi kebenaran yang telah terabaikan selama ini.
14. PROGRESIVISME
Ciri-ciri Utama
Progresivisme mempunyai konsep yang
didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai
kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi
masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusai itu
sendiri. Berhubung dengan itu progresivisme kurang menyetuju adanya pendidikan
yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman
sekarang.
Pendidikan yang bercorak otoriter
ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan-tujuan (yang
baik), karena kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada
kemampuan-kemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Pada hal semuanya itu
adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan
atau progres.
Oleh karena kemajuan atau progres
ini menjadi inti perhatian progresivisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang
mampu menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progresivisme merupakan
bagian-bagiana utama dari kebudayaan. Kelompok ini meliputi. Ilmu hayat,
Antropologi, Psikologi dan Ilmu Alam.
Jelaslah, bahwa selain kemajuan
atau progress, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari
progrevisme. Sehubungan dengan ini, menurut progresivisme, ide-ide, teori-teori
atau cita-cita itu tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi
yang ada ini haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud
baik yang lain. Di samping itu manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk
membina hidup yang mempunyai banyak persoalan dan yang silih berganti ini.
15. PANDANGAN
MENGENAI REALITA
John Dewey, dalam bukunya yang berjudul Creative
Intelligence, mengatakan bahwa:
“…….. Sifat utama dari pragmatisme mengenali realita,
sebenarnya dapat dikatakan dengan tepat bahwa tiada teori realita yang umum”.
Diantara kaum pragmatis (jadi
progresivis) John Dewey mempunyai pandangan yang ekstrim, sebab tokoh-tokoh
lain seperti George Santanya, John Chlids tidaklah demikian. Mereka mengatakan
bahwa metafisika itu ada, karena pragmatisme mempunyai berbagai konsep tentang
eksistensi, alam bukanlah ditentang eksistensi. Misalnya, dari sudut eksistensi
alam bukanlah diartikan sebagai pengertian yang substansial, melainkan
diartikan atau dipandang dari sudut prosesnya.
Pragmatisme tidak menggunakan
istilah alam semesta, melainkan dunia. Yang dimaksud dengan dunia adalah proses
atau tata dimana manusia hidup didalamnya. Istilah dunia ini dapat dianggap
sinonim dengan kosmos, realita dan alam.
Uraian di atas menunjukkan bahwa
ontologi progresivisme mengandung pengertian dan kualitas evoluasionistis yang
kuat. Untuk ini, pengalaman, diartikan sebagai ciri dari dinamika hidup, dan
hidup adalah perjuangan, tindakan dan perbuata. Berarti pengalaman adalah
perjuangan pula.
16. PANDANGAN
MENGENAI PENGETAHUAN
Tinjauan mengenai realita di atas
memberikan petunjuk bahwa pragmatisme lebih mengutamakan pembahasan mengenai
epsitimologi dari pada metafisika. Misal yang jelas adalah tinjauan mengenai
kecerdasan dan pengalaman yang keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain
agar dapat dimengerti arti dari masing-masing itu. Maka dapatlah disimpulkan
lebih lanjut bahw pragmatisme itu sebenarnya adalah teori pengetahuan.
Untuk mengetahui teori pengetahuan
yang dimaksud, diberlkaukan tinjauan mengenai arti dan istilah-istilah seperti
induktif, rasional, dan empirik. Induktif adalah usaha untuk memperoleh
pengetahuan dengan mengambil data khusus terlebih dahulu dan diikuti oleh
penarikan kesimpulan yang bersifat umum. Deduktif adalah sebaliknya, artinya
adanya pengetahuan yang diperoleh yang berlandaskan ketentuan umum yang berupa
dalil atau pangkal duga. Pragmatisme mengutamakan cara induktif.
Rasional berasal dari kata rasio
yang berarti akal atau budi. Dalam epistimologi, rasional berarti suatu
pandangan bahwa akal itu adalah instrumen utama baig manusia untuk memperleh
pengetahuan. Empirik adalah sifat pandangan bahwa persepsi indera adalah media
yang memberikan jalan bagi manusia untuk memahami lingkungan.
Pragmatisme tidak menyetujui adanya
semua bentuk generalisasi baik yang apriori atau yang aposteriori. Pengalaman
sebagai suatu unsur utama dalam epistimologi adalah semata-mata bersifat khusus
dan pertikular.
Progrevisime mengadakan pembedaan
antara pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan
penerangan-penerangan yang terhimpun dari pengalaman, yang siap untuk
digunakan. Kebenaran adalah hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui,
memiliki dan mengarahkan beberapa segmen pengetahuan agar dapat menimbulkan
petunjuk atau penyelesaian pada situasi tertentu, yang mungkin keadaan kacau.
Dalam hubungan ini kecerdasan
merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah
faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dengan
lingkungan, baik yang berujud sebagai lingkungan fisik,m maupun kebudayaan atau
manusia.
17. PANDANGAN
MENGENAI NILAI
Nilai tidak timbul dengan
sendirinya, tetapi ada faktor-faktor yang merupakan pra syarat. Nilai timbul
karena manusia mempunyai bahasa, maka dengan demikian menjadi mungkin adanya
saling hubungan seperti yang ada dalam masyarakat pergaulan. Jadi, masyarakat
menjadi wadah timbulnya nilai-nilai. Disamping itu penggunaan bahasa sebagai
salah satu sarana ekspresi tentulah mendapat pengaruh yang berasal dari
dorongan, kehendak, perasaan dan kecerdasan dari masing-masing orang itu.
Oleh karena ada faktor-faktor yang
menentukan adanya nilai, maka makna nilai seperti benar atau salah, baik atau
buruk dapat dikatakan ada bila menunjukkan adanya kecocokan dengan hasil
pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan.
Berdasarkan pandangan di atas, progresivisme
tidak mengadakan pembedaan tegas antara nilai instrinsik dan nilai
instrumental. Dua jenis nilai ini saling bergantung satu sama lain seperti
halnya pengetahuan dan kebenaran. Misalnya bila dikatakan bahwa kesehatan itu
selalu bernilai baik tidaklah semata-mata suatu ilustrasi tentang nilai
instrinsik. Nilai kesehatan akan dihayati oleh manusia dengan lebih nyata bila
dihubungkan dengan segi-segi yang bersifat operasional, bahwa kesehatan yang
baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Nilai mempunyai kualitas sosial.
Misalnya, arti kesehatan akan makin dapat dipahami bila orang berhubungan dan
dapat menikmati faedah kesehatan dengan orang lain. Ilmu kesehatan mempunyai
kualitas sosial pula.
18. ANTESEDENS
Pragmatisme sebagai aliran filsafat
dan pragmatisme bagai filsafat pendidikan merupakan aliran pikir yang telah
dituliskan oleh John Dewey. Sumbangan John Dewey ini dipandang sebagai kekuatan
intelektual yang dapat menggerakkan perkembangan progresivisme selanjutnya. Ia
dapat memberikan penghargaan dan menunjukkan pentingnya peranan berbagai teori
dan praktek yang berasal dari tokoh-tokoh lain bagi pendidikan. Tokoh-tokoh
lain ini, misalnya William James, Harace Mann, Francis Parker, dan Felix Adler.
Selain dari pada tokoh tersebut di atas,
yang hidup pada Abad ke Dua Puluh ini, gagasan-gagasan yang menjiwai
progresivisme dapat dihayati asalnya, sejak dari Zaman Kuno sekalipun. Plato
membuat konsep pendidikan yang memasukkan “belajar karena berbuat” sebagai
persiapan ketangguhan dalam peperangan. Johanna Amos Comenius menghendaki pengajaran yang cocok, yang
sesuai akan adanya kekuatan wajar pada manusia. Tokoh-tokoh lain yang segaris
adalah Johann Pestalozzi, Johann Herbart, dan Friderich Frobel.
Dalam pendidikan historis dapat dipelajari
bahwa tokoh-tokoh tersebut di atas mengemukakan gagasan-gagasan yang merintis
timbulnya teori dan praktek pendidikan baru. Dan, dengan perpaduan gagasan dari
tokoh-tokoh zaman modern, di beberapa negara, progerisivisme didukung oleh
organisasi-organisasi pendidikan. Di Amerika Serikat, Progressive Education
Association mempunyai peranan bertahun-tahun lamaya untuk menerapkan pendidikan
baru disamping yang tradisional. Selain itu Assosiation for Childhoor
Education, the American Federation of Teachers, Association for Development,
adalah organisasi-organisasi yang mengembangkan metode mengajar menurut
progresivisme.
19. PANDANGAN TENTANG
BELAJAR
Pandangan progrevisme mengenai
belajar bertumpu pada pandangan mengenai anak didik sebagai makhluk yang
mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Disamping itu
menjadi menipisnya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat menjadi
landasan pengembangan ide-ide pendidikan progresivisme.
Sebagian makhluk, anak didik
mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan kelebihan
dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Dengan sifatnya yang dinamusi dan
kreatif dan dengan kecerdasannya, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi
dan memecahkan problema-problema. Sehubungan dengan ini usaha untuk
meningkatkan kecerdasan adalah tugas utama dalam lapangan pendidikan.
Sebagai makhluk, anak didik
hendaklah dipandang tidak hanya sebagai kesatuan jasmani dan rohani saja,
melainkan juga manifestasinya sebagai tingkah laku dan perbuatan yang berada
dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu difungsikan
dalam arti anak didik berada aktif dalam dan memanfaatkan sepenuh-penuhnya
lingkungannya. Ia perlu mendapat kesempatan yang cukup, untuk dengan bebas dan
sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di
sekitar-nya. Hal ini terutama kejadian-kejadian dalam lapangan kebudayaan.
Agar sekolah dapat berfungsi wajar
perlu memberi kesempatan seperti yang diharapkan di atas. Maka dari itu gagasan
atau kenyataan yang menunjukkan adanya dinding pemisah antara sekolah dan
masyarakat perlu dihapuskan. Sekolah yang baik adalah masyarakat yang baik
dalam bentuk kecil, sedangkan pendidikan yang mencerminkan keadaan dan
kebutuhan masyarakat, perlu dilakukan secara teratur sebagai halnya dalam
lingkungan sekolah.
20. PANDANGAN
MENGENAI KURIKULUM
Sikap progresivisme, yang
memandang segala sesuatu berasaskan fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat
lain yang sejenis tercermin dalam pandangannya mengenai kurikulum sebagai
pengalaman yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan susunan
yang teratur. Landasan pikiran ini akan diuraikan serba singkat.
Yang dimaksudnya dengan pengalaman
yang edukatif adalah pengalaman apa saja yang serasi tujuan menurut
prinsip-prinsip yang digariskan dalam pendidikan, yang setiap proses belajar
yang ada membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Oleh karena tiada
standar yang universal, maka terhadap kurikulum haruslah terbuka kemungkinan
akan adanya peninjauan dan penyempurnaan. Fleksibilitas ini dapat membuka
kemungkinan bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap anak didik dengan
sifat-sifat dan kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya diharapkan
dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat.Core curriculum maupun
kurikulum yang bersendikan pengelaman perlu disusun dengan teratur dan
terencana. Kualifikasi semacam ini diperlukan agar pendidikan dapat mempunyai
proses sesuai dengan tujuan, tidak mudah terkait pada hal-hal yang insidentalh
dan tidak penting. Maka, jelaslah bahwa lingkungan dari pengalaman yang
diperlukan dan yang dapat menunjang pendidikan ialah yang dapat diciptakan dan
ditujukan ke arah yang telah ditentukan. Kurikulum yang memenuhi tuntutan ini
diantaranya adalah yang disusun atas dasar teori dan metode proyek, yang telah
diciptanakan oleh William Heard Kilpatrick.
BAB III
KESIMPULAN
Filsafat adalah hasil pemikiran
ahli-ahli filsafat atau filosof-filosof sepanjang zaman diseluruh dunia.
Sejarah pemikiran filsafat yang amat panjang dibandingkan dengan sejarah ilmu
pengetahuan, telah memperkaya khazanah (perbendaharaan) ilmu filsafat. Sebagai
ilmu tersendiri filsafat tidak saja telah menarik minat dan perhatian para
pemikir, tetapi bahkan filsafat telah amat banyak mempengaruhi perkembangan
keseluruh budaya umat manusia. Filsafat telah mempengaruhi sistem politik,
sistem sosial, sistem ideologi semua bangsa-bangsa-bangsa. Juga filsafat
mempengaruhi sistem ilmu pengetahuan itu sendiri, yang tersimpul di dalam
filsafat ilmu pengetahuan tertentu seperti filsafat huku, filsafat ekonomi,
filsafat ilmu kedoteran, filsafat pendidikan dan sebagainya. Akhirnya yang
pokok dari semua iatu, filsfat telah mempengaruhi sikap hidup, cara berpikir,
kepercayaan atau ideologinya. Filsafat telah mewarisi subyek atau pribadi
sedemikian kuat, sehingga tiap orang menjadi penganut suatu faham filsafat baik
sadar maupun tidak, langsung ataupun tidak langsung.
Ajaran filsafat pada dasarnya
adalah hasil pemikiran seseorang atau beberapa orang ahli filsafat tentang
sesuatu secara fundamental. Perbedaan-perbedaan cara dalam meng-approach suatu
masalah akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda-beda tentang masalah
yang sama. Perbedaan-perbedaan itu dapat juga disebabkan latar belakang pribadi
para ahli tersebut, di samping pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia
di suatu tempat. Kenyataan-kenyataan itu melatar belakangi perbedaan-perbedaan
tiap-tiap pokok suatu ajaran filsafat. Dan oleh penelitian para ahli kemudian,
ajaran filsafat tersebut disusun dalam satu sistematika dengan kategori
tertentu. Klasifikasi inilah yang melahirkan apa yang kita kenal sebagai suatu
aliran. (sistem) suatu ajaran filsafat. Suatu ajaran filsafat dapat pula
sebagai produk suatu zaman, produk suatu cultural and social matrix. Dengan
demikian suatu ajaran filsafat dapat merupakan reaksi dan aksi atas sesuatu
realita di dalam kehidupan manusia. Filsafat dapat berbentuk cita-cita,
idealisme yang secara radikal berhasrat meninggalkan suatu pola kehidupan
tertentu.
Berdasarkan kenyataan sejarah,
filsafat bukanlah semata-mata hasil perenungan, hasil pemikiran kreatif yang
terlepas daripada pra kondisi yang menantang. Paling sedikit, ide-ide filosofis
adalah jawaban terhadap problem yang menentang pikiran manusia, jawaban atas ketidak
tahuan, atau verifikasi tentang sesuatu. Filsafat juga merupakan usaha meneuhi
dorongan-dorongan rasional manusiawi demi kepuasan rohaniah, untuk kemantangan
pribadi, untuk integritas.
DAFTAR PUSTA
Prof. Imam Barnadib, MA, Ph.D. Filsafat Pendidikan
(Pengantar Mengenai Sistem dan Metode). Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP)
IKIP. 1984.
Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales
Sampai James. Bandung, Remaja Rosda Karya. 1998.
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat. Yogyakarta, Kanisius, 1996.
Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Pendidikan Pancasila.Usaha Nasional. 1986.
H.B. Hamdani Ali MA, M.Ed. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta,
Kota Kembang. 1987.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar