UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 1999
TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
NOMOR 30 TAHUN 1999
TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan ke peradilan
umum juga terbuka kemungkinan penyelesaian sengketa tersebut diajukan melalui
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
b. bahwa peraturan
perundang-undangan yang kini berlaku bagi penyelesaian sengketa melalui arbitrase
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu membentuk Undang-undang tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman (Lembaran negara Tahun
1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
2. Para pihak adalah subyek hukum,
baik menurut hukum perdata maupun hukum publik.
3. Perjanjian arbitrase adalah suatu
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul
sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak
setelah timbul sengketa.
4. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon.
5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan
permohonan penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
6. Termohon adalah pihak lawan dari
Pemohon dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
7. Arbiter adalah seorang atau lebih yang
dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan
Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa
tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.
8. Lembaga Arbitrase adalah badan yang
dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang
mengikat mengenai suatu hubungan hukum
tertentu dalam
hal belum timbul sengketa.
9. Putusan Arbitrase Internasional adalah
putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan di luar wilayah hukum Republik
Indonesia, atau
putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.
10. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah
lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur
yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan
cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Pasal 2
Undang-undang
ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam
suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang
secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul
atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan
cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.
Pasal 3
Pengadilan
Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat
dalam perjanjian arbitrase.
Pasal 4
(1) Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di
antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah
memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya
mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam
perjanjian mereka.
(2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang
ditandatangani oleh para pihak.
(3) Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui
arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks,
telegram, faksimili, e‑mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib
disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.
Pasal 5
(1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya
sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
(2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase
adalah sengketa yang menurut peraturan perundang‑undangan tidak dapat diadakan
perdamaian.
BAB II
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 6
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 6
(1) Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan
oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada
itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan
Negeri.
(2) Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama
14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
(3) Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan
tertulis para pihak,sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan
seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
(4) Apabila para pihak tsb dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui
seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak
berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi
sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk
menunjuk seorang mediator.
(5) Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau
lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam
waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha
mediasi harus
sudah dapat dimulai.
(6) Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5)
dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam
waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang
ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
(7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak
untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan
Negeri dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari sejak penandatanganan.
(8) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30(
tiga puluh)
hari sejak pendaftaran.
(9) Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai,
maka para pihak berdasarkan kesepakatan
secara tertulis
dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad‑hoc.
BAB III
SYARAT ARBITRASE, PENGANGKATAN
ARBITER, DAN HAK INGKAR
Bagian Pertama
Syarat Arbitrase
Pasal 7
Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau
yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
Pasal 8
(1) Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan
dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e‑mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau
termohon berlaku.
(2) Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan jelas:
a. nama dan alamat
para pihak;
b. penunjukan kepada
klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
c. perjanjian atau
masalah yang menjadi sengketa;
d. dasar tuntutan dan
jumlah yang dituntut, apabila ada;
e. cara penyelesaian
yang dikehendaki; dan
f. perjanjian
yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat
mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang
dikehendaki dalam jumlah ganjil.
Pasal 9
(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa
melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tsb harus
dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.
(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani
perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis
tsb harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus memuat :
a. masalah
yang dipersengketakan;
b. nama
lengkap dan tempat tnggal para pihak;
c. nama
lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d. tempat
arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputu�san;
e. nama
lengkap sekretaris;
f. jangka
waktu penyelesaian sengketa;
g. pemyataan
kesediaan dari arbiter; dan
h. pernyataan
kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang
diperlukan untuk penyelesalan sengketa melalui arbitrase.
(4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.
Pasal 10
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan
oleh keadaan tsb di bawah ini :
a. meninggalnya salah satu pihak;
b. bangkrutnya salah satu pihak;
c. novasi;
d. insolvensi salah satu pihak;
e. pewarisan;
f. berlakunya syarat2 hapusnya perikatan
pokok;
g. bilamana pelaksanaan perjanjian tsb
dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan
perjanjian arbitrase tsb; atau
h. berakhirnya atau batalnya perjanjian
pokok.
Pasal 11
(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak
para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa
atau beda pendapat yang termuat dalam
perjanjiannya
ke Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur
tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah
ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan dalam
Undang‑undang ini.
Bagian Kedua
Syarat Pengangkatan Arbiter
Pasal 12
(1) Yang dapat ditunjuk atau diangkat
sebagai arbiter harus memenuhi syarat :
a. cakap
melakukan tindakan hukum;
b. berumur
paling rendah 35 tahun;
c. tidak
mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua
dengan salah satu pihak bersengketa;
d. tidak
mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase;
dan
e. memiliki
pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
(2) Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta
barang milik termohon eksekusi.
(3) Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti
tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata.
BAB VII
PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
Pasal 70
PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
Pasal 70
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur‑unsur
sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan,
setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan,yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan
oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Pasal 71
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan
secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan
Negeri.
Pasal 72
(1) Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri.
(2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan
lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya
atau sebagian
putusan arbitrase.
(3) Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diterima.
(4) Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan
permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam
tingkat pertama dan terakhir.
(5) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan
permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari setelah
permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
BAB VIII
BERAKHIRNYA TUGAS ARBITER
Pasal 73
BERAKHIRNYA TUGAS ARBITER
Pasal 73
Tugas arbiter berakhir karena :
a. putusan mengenai sengketa telah diambil;
b. jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian
arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah lampau; atau
c. para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan
arbiter.
Pasal 74
(1) Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas
yang telah diberikan kepada arbiter berakhir.
(2) Jangka waktu tugas arbiter sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 ditunda paling lama 60 (enam puluh) hari sejak meninggalnya salah satu
pihak.
Pasal 75
(1) Dalam hal arbiter meninggal dunia,
dikabulkannya tuntutan ingkar atau pemberhentian seorang atau lebih arbiter,
para pihak harus mengangkat arbiter pengganti.
(2) Apabila para pihak dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari tidak mencapai kesepakatan mengenai pengangkatan arbiter
pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Ketua Pengadilan Negeri
atas permintaan dari pihak yang berkepentingan, mengangkat seorang atau lebih
arbiter pengganti.
(3) Arbiter pengganti bertugas melanjutkan
penyelesaian sengketa yang bersangkutan berdasarkan kesimpulan
terakhir yang telah diadakan.
BAB IX
BIAYA ARBITRASE
Pasal 76
BIAYA ARBITRASE
Pasal 76
(1) Arbiter menentukan biaya arbitrase.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. honorarium
arbiter;
b. biaya
perjalanan dan biaya lainnya yang dikeluarkan oleh arbiter;
c. biaya
saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa; dan
d. biaya
administrasi.
Pasal 77
(1) Biaya arbitrase dibebankan kepada pihak yang kalah.
(2) Dalam hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian, biaya
arbitrase dibebankan kepada para pihak secara seimbang.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 78
Sengketa yang pada saat Undang‑undang ini mulai berlaku
sudah diajukan kepada arbiter atau lembaga arbitrase tetapi belum dilakukan
pemeriksaan, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Undang‑undang ini.
Pasal 79
Sengketa yang pada saat Undang‑undang ini mulai berlaku
sudah diperiksa tetapi belum diputus, tetap diperiksa dan diputus berdasarkan
ketentuan peraturan perundang‑undangan yang lama.
Pasal 80
Sengketa yang pada saat Undang‑undang ini mulai berlaku
sudah diputus dan putusannya telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
pelaksanaannya dilakukan berdasarkan Undang‑undang ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 81
Pada saat Undang‑undang ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651
Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang
Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch
Reglement, Staatsblad 1941:44) dan
Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement
Buitengewesten, Staatsblad 1927:227), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 82
Undang‑undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang‑undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Agustus 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Agustus 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1999 NOMOR 138
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 1999
TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 1999
TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
UMUM
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan
peradilan dengan berpedoman kepada Undang‑undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan‑ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut merupakan induk dan
kerangka umum yang meletakkan dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan
tata usaha negara yang masing‑masing diatur dalam Undang‑undang tersendiri.
Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang‑undang Nomor 14
Tahun 1970 disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan
atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi
putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin
atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan.
Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase
di Indonesia adalah Pasal Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara
Perdata (Reglement op de Rechtsvordering,
Staatsblad 1847:‑52) dan
Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch
Reglement, Staatsblad 1941:44) dan
Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227).
Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain :
a. dijamin kerahasiaan sengketa para
pihak;
b. dapat dihindari kelambatan yang
diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang
menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang
yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan
hukum untuk menyelesaikan masalahnya
serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. putusan arbiter merupakan putusan yang
mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja
ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya
benar, sebab di negara‑negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat
daripada proses arbitrase. Satu‑satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan
adalah sifat kerahasiaannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun
demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati dari pada
litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat internasional.
Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas
di bidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta perkembangan
hukum pada umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) yang
dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu
disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat internasional sudah
merupakan kebutuhan conditio sine qua non
sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering). Bertolak
dari kondisi ini, perubahan yang mendasar terhadap Reglemen Acara Perdata
(Reglement op de Rechtsvordering) baik secara filosofis maupun substantif sudah
saatnya dilaksanakan.
Arbitraseyang diatur dalam Undang‑undang
ini merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang
didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak
semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa
mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang
bersengketa atas dasar kata sepakat mereka.
Di samping itu ketentuan yang melarang
wanita sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 617 ayat (2) Reglemen
Acara Perdata (Reglemenet op de Rechtvordering)
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dewasa ini, dan tidak
dapat dipertahankan lagi dalam iklim kemerdekaan ini, yang sepenuhnya mengakui
persamaan hak wanita dengan hak pria. Oleh
karenanya dalamUn�dang‑undang
ini tidak disebut lagi bahwa wanita tidak dapat diangkat sebagai arbiter. Semua
itu diatur dalam Bab I mengenai Ketentuan Umum.
Dalam Bab II diatur mengenai alternatif penyelesaian
sengketa melalui cara musyawarah para pihak yang bersengketa. Alternatif
Penyelesaian Sengketa (Altemative Dispute
Resolution atau ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,mediasi, konsiliasi atau
penilaian ahli.
Bab III memberikan suatu ikhtisar khusus dari persyaratan
yang harus dipenuhi untuk arbitrase dan syaratpengangkatan arbiter serta
mengatur mengenai hak ingkar dari para pihak yangbersengketa.
Sedangkan dalam Bab IV diatur tata cara untuk beracara di
hadapan majelis arbitrase dan dimungkinkannya arbiter dapat mengambil putusan
provisionil atau putusan sela lainnya termasuk menetapkan sita jaminan,
memerintahkan penitipan barang, atau menjual barang yang sudah rusak serta
mendengarkan keterangan saksi dan saksi ahli.
Seperti halnya dengan putusan pengadilan, maka dalam putusan
arbitrase sebagai kepala putusan harus juga mencantumkan "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHAESA".
Di samping itu dalam Bab V disebut pula syarat lain yang
berlaku mengenai putusan arbitrase.
Kemudian dalam Bab ini diatur pula kemungkinan terjadi suatu
persengketaan mengenai wewenang arbiter, pelaksanaan putusan arbitrase nasional
maupun internasional dan penolakan permohonan perintah pelakssanaan putusan
arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat pertama dan terakhir, dan
Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan
arbitrase.
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai penyelesaian
sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut‑larut. Berbeda dengan proses
pengadilan negeri dimana terhadap putusannya para pihak masih dapat mengajukan
banding dan kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase
tidak terbuka upaya hukum banding kasasi maupun peninjauan kembali.
Dalam rangka menyusun hukum formil yang utuh, maka Undang‑undang
ini memuat ketentuan tentang pelaksanaan tugas arbitrase nasional maupun
internasional.
Bab VI menjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan putusan
sekaligus dalam satu paket, agar Undang‑undang ini dapat dioperasionalkan
sampai pelakanaan putusan, baik yang menyangkut masalah arbitrase nasional
maupun intemasional dan hal ini secara sistem hukum dibenarkan.
Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal
ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan,
setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan
oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan terhadap putusan Pengadilan
Negeri tersebut hanya dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
Selanjutnya pada Bab VIII diatur tentang berakhirnya tugas
arbiter, yang dinyatakan antara lain bahwa tugas arbiter berakhir karena jangka
waktu tugas arbiter telah lampau atau kedua belah pihak sepakat untuk menarik
kembali penunjukan arbiter. Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatikan
tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir.
Bab IX dari Undang‑undang ini mengatur mengenai biaya
arbitrase yang ditentukan oleh arbiter.
Bab X dari Undang‑undang ini mengatur mengenai ketentuan
peralihan terhadap sengketa yang sudah diajukan namun belum diproses, sengketa
yang sedang dalam proses atau yang sudah diputuskan dan mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Sedangkan dalam Bab XI disebutkan bahwa dengan berlakunya
Undang‑undang ini maka Pasal 615 sampai dengan Pasat 651 Reglemen Acara Perdata
(Reglement op de Rechtsvordering,
Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene lndonesisch Reglement,
Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan
Madura (Rechtsreglement Buitengewesten,
Staalsblad 1927:227) dinyatakan
tidak berlaku.
PASAL DEMI
PASAL
Pasal 1 s/d Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
huruf a dan huruf b
Cukup jelas
huruf c
Yang dimaksud dengan"novasi" adalah pembaharuan
utang
huruf d
Yang dimaksud dengan"insolvensi" adalah keadaan
tidak mampu membayar.
huruf e s/d huruf h
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tidak dibolehkannya pejabat yang disebut dalam ayat ini
menjadi arbiter, dimaksudkan agar terjamin adanya obyektivitas dalam
pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal 13
Ayat (1)
Dengan adanya ketentuan ini, maka dihindarkan bahwa dalam
praktek akan terjadi jalan buntu apabila para pihak di dalam syarat arbitrase
tidak mengatur secara baik dan seksama tentang acara yang harus ditempuh dalam
pengangkatan arbiter.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14 s/d Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Sebelum mengangkat arbiter, para pihak tentu sudah
memperhitungkan adanya kemungkinan yang menjadi alasan untuk mempergunakan hak
ingkar. Namun apabila arbiter tersebut tetap diangkat oleh para pihak, maka
para pihak dianggap telah sepakat untuk tidak menggunakan hak ingkar
berdasarkan fakta‑fakta yang mereka ketahui ketika mengangkat arbiter tersebut.
Namun ini tidak menutup kemungkinan munculnya fakta‑fakta baru yang tidak
diketahui sebelumnya, sehingga memberikan hak kepada para pihak untuk
mempergunakan hak ingkar berdasarkan fakta‑fakta baru tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam ayat ini diatur tentang pengajuan tuntutan ingkar dan
jangka waktunya.
Jangka waktu int dipandang perlu agar tidak sewaktu‑waktu
dapat dihambat dengan adanya tuntutan ingkar.
Ayat (4) s/d Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Putusan Ketua Pengadilan Negeri dalam tuntutan ingkar
mengikat kedua belah pihak dan putusan tersebut bersifat final dan tidak ada
upaya perlawanan.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1) s/d Ayat 4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Jika hanya seorang anggota arbiter saja yang diganti,
pemeriksaan dapat diteruskan berdasarkah berita acara dan surat yang ada, cukup
oleh para arbiter yang ada.
Pasal 27
Ketentuan bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup adalah
menyimpang dari ketentuan acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri yang
pada prinsipnya terbuka untuk umum. Hal ini untuk lebih menegaskan sifat
kerahasiaan penyelesaian arbitrase.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan umum mengenai acara perdata,
diberikan kesempatan kepada para pihak untuk menunjuk kuasa dengan surat kuasa
yang bersifat khusus.
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1) dan Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Para pihak dapat menyetujui sendiri tempat dan jangka waktu
yang dikehendaki mereka. Apabila mereka tidak membuat sesuatu ketentuan tentang
hal ini, maka arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Huruf a
Yang dimaksud dengan"hal khusus" misalnya karena
adanya gugatan antara atau gugatan insidentil di luar pokok sengketa seperti
permohonan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Perdata.
Huruf b dan Huruf c
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ayat ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk
memilih peraturan dan acara yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa
antara mereka, tanpa harus mempergunakan peraturan dan acara dari lembaga
arbitrase yang dipilih.
Pasal 35
Culup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pada prinsipnya acara arbitrase dilakukan secara tertulis.
Jika ada persetujuan para pihak, pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan.
Juga keterangan saksi ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50, dapat berlangsung secara lisan apabila dianggap perlu oleh arbiter atau
majelis arbitrase.
Pasal 37
Ayat (1)
Ketentuan mengenai tempat arbitrase ini adalah penting
terutama apabila terdapat unsur hukum asing dan sengketa menjadi suatu sengketa
hukum perdata internasional. Seperti lazimnya tempat arbitrase dilakukan dapat
menentukan pula hukum yang harus dipergunakan untuk memeriksa sengketa tersebut
jika para pihak tidak menentukan sendiri maka arbiter yang dapat menentukan
tempat arbitrase.
Ayat (2)
Dalam ayat (2) pasal ini diberi kemungkinan untuk mendengar
saksi di tempat lain dari tempat diadakan arbitrase, antara lain berhubung
dengan tempat tinggal saksi bersangkutan.
Ayat (3) dan Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1) dan Ayat (2)
Cukup jelas
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Salinan perjanjian arbitrase harus juga diajukan sebagai
lampiran.
Huruf c
Isi tuntutan harus jelas dan apablia isi tuntutan berupa
uang, harus disebutkan jumlahnya yang pasti.
Pasal 39 s/d Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Pasal ini mengatur mengenai tuntutan rekonvensi yang
diajukan oleh pihak termohon.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43
Sesuai dengan hukum acara perdata sengketa menjadi gugur
apabila pemohon tidak datang menghadap pada hari pemeriksaan pertama.
Pasal 44 s/d Pasal 47
Cukup jelas .
Pasal 48
Ayat (1)
Penentuan jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari
sebagai jangka waktu bagi arbiter menyelesaikan sengketa bersangkutan melalui
arbitrase adalah untuk menjamin kepastian waktu penyelesaian pemeriksaan
arbitrase.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 49 s/d Pasal 51
Cukup jelas
Pasal. 52
Tanpa adanya suatu sengketapun, lembaga arbitrase dapat
menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, untuk
memberikan suatu pendapat yang mengikat (bindingopinion) mengenai suatu
persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Misalnya mengenai penafsiran
ketentuan yang kurang jelas; penambahan atau perubahan pada ketentuan yang
berhubungan dengan timbulnya keadaan baru dan lain‑lain.Dengan diberikannya
pendapat oleh lembaga arbitrase tersebut kedua belah pihak terikat padanya dan
salah satu pihak yang bertindak bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap
melanggar perjanjian.
Pasal 53 s/d Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Pada dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian untuk
menentukan bahwa arbiter dalam memutus perkara wajib berdasarkan ketentuan
hukum atau sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono).
Dalam hal arbiter diberi kebebasan untuk memberikan putusan
berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan perundang‑undangan dapat
dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa (dwingende
regels) harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh arbiter.
Datam hal arbiter tidakdiberi kewenangan untuk memberikan
putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan,maka arbiter hanya dapat memberi
putusan berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim.
Ayat (2)
Para pihak yang bersengketa diberi keleluasaan untuk
menentukan hukum mana yang akan diterapkan dalam proses arbitrase. Apabila para
pihak tidak menentukan lain, maka hukum yang diterapkan adalah hukum tempat
arbitrase dilakukan.
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Yang dimaksud dengan"koreksi terhadap kekeliruan
administratif" adalah koreksi terhadap hal‑hal seperti kesalahan
pengetikan ataupun kekeliruan dalam penulisan nama, alamat para pihak atau
arbiter dan lain‑lain, yang tidak mengubah substansi putusan.
Yang dimaksud dengan"menambah atau mengurangi
tuntutan" adalah salah satu pihak dapat mengemukakan keberatan terhadap
putusan apabila putusan, antara lain
a. telah mengabulkan sesuatu yang tidak
dituntut oleh pihah lawan;
b. tidak memuat satu atau lebih hal yang
diminta untuk diputus; atau
c. mengandung ketentuan mengikat yang
bertentangan satu sama lainnya.
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan
demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1) s/d Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Tidak diperiksanya alasan atau pertimbangan putusan arbitrase
oleh Ketua Pengadilan Negeri agar putusan arbitrase tersebut benar‑benar
mandiri, final, dan mengikat.
Pasal 63 s/d Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan"ruang lingkup hukum
perdagangan" adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang :
- perniagaan;
- perbankan;
- keuangan;
- penanaman modal;
- industri;
- hak kekayaan intelektual.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Suatu Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat
dilaksanakan dengan putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk
perintah pelaksanaan (eksekuatur).
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 67 s/d Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan
arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan‑alasan permohonan
pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan
pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan‑alasan tersebut terbukti
atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar
pertimbangan bagi hakim untukmengabulkan atau menolak permohonan.
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketua Pengadilan Negeridiberi wewenang untuk memeriksa
tuntutan pembatalan jika diminta oleh para pihak, dan mengatur akibat dari
pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan.
Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah
diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa
kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak
mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase:
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan"banding" adalah hanya
terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70.
Ayat (5)
Cukupjelas
Pasal 73 s/d Pasal 82
Cukupjelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 3872
Tidak ada komentar:
Posting Komentar