Sabtu, 31 Maret 2012

Undang-undang Arbitrase


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 1999
TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang   :    a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan penyelesaian sengketa tersebut diajukan melalui Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
b. bahwa peraturan perundang-undangan yang kini berlaku bagi penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu membentuk Undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Mengingat    :     1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman (Lembaran negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
2. Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum publik.
3.  Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
4.  Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon.
5.  Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
6.  Termohon adalah pihak lawan dari Pemohon dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
7.  Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.
8.  Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
9.  Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.
10.  Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Pasal 2
Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.
Pasal 3
Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Pasal 4
(1)   Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.
(2)   Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
(3)   Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e‑mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.
Pasal 5
(1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
(2)   Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang‑undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
BAB II
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 6
(1)  Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
(2)  Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
(3)  Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak,sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
(4)  Apabila para pihak tsb dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
(5)  Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
(6)  Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
(7)  Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari sejak penandatanganan.
(8)  Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30( tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
(9)  Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad‑hoc.

BAB III
SYARAT ARBITRASE, PENGANGKATAN ARBITER, DAN HAK INGKAR
Bagian Pertama
Syarat Arbitrase
Pasal 7
Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
Pasal 8
(1)   Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e‑mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.
(2)  Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan jelas:
a.   nama dan alamat para pihak;
b.   penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
c.   perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
d.   dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
e.   cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
f.    perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
Pasal 9
(1)   Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tsb harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.
(2)   Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tsb harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
(3)   Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat :
a.      masalah yang dipersengketakan;
b.      nama lengkap dan tempat tnggal para pihak;
c.      nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d.      tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e.      nama lengkap sekretaris;
f.       jangka waktu penyelesaian sengketa;
g.      pemyataan kesediaan dari arbiter; dan
h.      pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesalan sengketa melalui arbitrase.
(4)   Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.
Pasal 10
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tsb di bawah ini :
a.      meninggalnya salah satu pihak;
b.      bangkrutnya salah satu pihak;
c.      novasi;
d.      insolvensi salah satu pihak;
e.      pewarisan;
f.       berlakunya syarat2 hapusnya perikatan pokok;
g.      bilamana pelaksanaan perjanjian tsb dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tsb; atau
h.      berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Pasal 11
(1)   Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
(2)   Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang‑undang ini.

Bagian Kedua
Syarat Pengangkatan Arbiter
Pasal 12
(1) Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat :
a.      cakap melakukan tindakan hukum;
b.      berumur paling rendah 35 tahun;
c.      tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
d.      tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
e.      memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
(2)   Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi.
(3)   Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata.

BAB VII
PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

Pasal 70
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur‑unsur sebagai berikut :
a.   surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b.   setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c.   putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Pasal 71
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Pasal 72
(1)   Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
(2)   Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
(3)   Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima.
(4)   Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
(5)   Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.

BAB VIII
BERAKHIRNYA TUGAS ARBITER

Pasal 73
Tugas arbiter berakhir karena :
a.   putusan mengenai sengketa telah diambil;
b.   jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah lampau; atau
c.   para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter.
Pasal 74
(1)  Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir.
(2)  Jangka waktu tugas arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ditunda paling lama 60 (enam puluh) hari sejak meninggalnya salah satu pihak.
Pasal 75
(1)   Dalam hal arbiter meninggal dunia, dikabulkannya tuntutan ingkar atau pemberhentian seorang atau lebih arbiter, para pihak harus mengangkat arbiter pengganti.
(2)   Apabila para pihak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari tidak mencapai kesepakatan mengenai pengangkatan arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan dari pihak yang berkepentingan, mengangkat seorang atau lebih arbiter pengganti.
(3)   Arbiter pengganti bertugas melanjutkan penyelesaian sengketa yang bersangkutan berdasarkan kesimpulan terakhir yang telah diadakan.
BAB IX
BIAYA ARBITRASE

Pasal 76
(1)   Arbiter menentukan biaya arbitrase.
(2)   Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a.      honorarium arbiter;
b.      biaya perjalanan dan biaya lainnya yang dikeluarkan oleh arbiter;
c.      biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa; dan
d.      biaya administrasi.
Pasal 77
(1)   Biaya arbitrase dibebankan kepada pihak yang kalah.
(2)   Dalam hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian, biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak secara seimbang.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 78
Sengketa yang pada saat Undang‑undang ini mulai berlaku sudah diajukan kepada arbiter atau lembaga arbitrase tetapi belum dilakukan pemeriksaan, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Undang‑undang ini.

Pasal 79
Sengketa yang pada saat Undang‑undang ini mulai berlaku sudah diperiksa tetapi belum diputus, tetap diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang lama.
Pasal 80
Sengketa yang pada saat Undang‑undang ini mulai berlaku sudah diputus dan putusannya telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaannya dilakukan berdasarkan Undang‑undang ini.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 81
Pada saat Undang‑undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 82
Undang‑undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‑undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Agustus 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Agustus 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 138

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 1999
TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
UMUM
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan peradilan dengan berpedoman kepada Undang‑undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan‑ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara yang masing‑masing diatur dalam Undang‑undang tersendiri.
Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang‑undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan.
Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:‑52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227).
Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain :
a.      dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b.      dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
c.      para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d.      para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e.      putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di negara‑negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu‑satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiaannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati dari pada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat internasional.
Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas di bidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering). Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang mendasar terhadap Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) baik secara filosofis maupun substantif sudah saatnya dilaksanakan.
Arbitraseyang diatur dalam Undang‑undang ini merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka.
Di samping itu ketentuan yang melarang wanita sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 617 ayat (2) Reglemen Acara Perdata (Reglemenet op de Rechtvordering) sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dewasa ini, dan tidak dapat dipertahankan lagi dalam iklim kemerdekaan ini, yang sepenuhnya mengakui persamaan hak wanita dengan hak pria. Oleh karenanya dalamUndang‑undang ini tidak disebut lagi bahwa wanita tidak dapat diangkat sebagai arbiter. Semua itu diatur dalam Bab I mengenai Ketentuan Umum.
Dalam Bab II diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa melalui cara musyawarah para pihak yang bersengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa (Altemative Dispute Resolution atau ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Bab III memberikan suatu ikhtisar khusus dari persyaratan yang harus dipenuhi untuk arbitrase dan syaratpengangkatan arbiter serta mengatur mengenai hak ingkar dari para pihak yangbersengketa.
Sedangkan dalam Bab IV diatur tata cara untuk beracara di hadapan majelis arbitrase dan dimungkinkannya arbiter dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya termasuk menetapkan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang, atau menjual barang yang sudah rusak serta mendengarkan keterangan saksi dan saksi ahli.
Seperti halnya dengan putusan pengadilan, maka dalam putusan arbitrase sebagai kepala putusan harus juga mencantumkan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHAESA".
Di samping itu dalam Bab V disebut pula syarat lain yang berlaku mengenai putusan arbitrase.
Kemudian dalam Bab ini diatur pula kemungkinan terjadi suatu persengketaan mengenai wewenang arbiter, pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional dan penolakan permohonan perintah pelakssanaan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat pertama dan terakhir, dan Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut‑larut. Berbeda dengan proses pengadilan negeri dimana terhadap putusannya para pihak masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding kasasi maupun peninjauan kembali.
Dalam rangka menyusun hukum formil yang utuh, maka Undang‑undang ini memuat ketentuan tentang pelaksanaan tugas arbitrase nasional maupun internasional.
Bab VI menjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan putusan sekaligus dalam satu paket, agar Undang‑undang ini dapat dioperasionalkan sampai pelakanaan putusan, baik yang menyangkut masalah arbitrase nasional maupun intemasional dan hal ini secara sistem hukum dibenarkan.
Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain :
a.   surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b.   setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau
c.   putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut hanya dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
Selanjutnya pada Bab VIII diatur tentang berakhirnya tugas arbiter, yang dinyatakan antara lain bahwa tugas arbiter berakhir karena jangka waktu tugas arbiter telah lampau atau kedua belah pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter. Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatikan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir.
Bab IX dari Undang‑undang ini mengatur mengenai biaya arbitrase yang ditentukan oleh arbiter.
Bab X dari Undang‑undang ini mengatur mengenai ketentuan peralihan terhadap sengketa yang sudah diajukan namun belum diproses, sengketa yang sedang dalam proses atau yang sudah diputuskan dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sedangkan dalam Bab XI disebutkan bahwa dengan berlakunya Undang‑undang ini maka Pasal 615 sampai dengan Pasat 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene lndonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staalsblad 1927:227) dinyatakan tidak berlaku.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 s/d Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
huruf a dan huruf b
Cukup jelas
huruf c
Yang dimaksud dengan"novasi" adalah pembaharuan utang
huruf d
Yang dimaksud dengan"insolvensi" adalah keadaan tidak mampu membayar.
huruf e s/d huruf h
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tidak dibolehkannya pejabat yang disebut dalam ayat ini menjadi arbiter, dimaksudkan agar terjamin adanya obyektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Pasal 13
Ayat (1)
Dengan adanya ketentuan ini, maka dihindarkan bahwa dalam praktek akan terjadi jalan buntu apabila para pihak di dalam syarat arbitrase tidak mengatur secara baik dan seksama tentang acara yang harus ditempuh dalam pengangkatan arbiter.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 14 s/d Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Sebelum mengangkat arbiter, para pihak tentu sudah memperhitungkan adanya kemungkinan yang menjadi alasan untuk mempergunakan hak ingkar. Namun apabila arbiter tersebut tetap diangkat oleh para pihak, maka para pihak dianggap telah sepakat untuk tidak menggunakan hak ingkar berdasarkan fakta‑fakta yang mereka ketahui ketika mengangkat arbiter tersebut. Namun ini tidak menutup kemungkinan munculnya fakta‑fakta baru yang tidak diketahui sebelumnya, sehingga memberikan hak kepada para pihak untuk mempergunakan hak ingkar berdasarkan fakta‑fakta baru tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam ayat ini diatur tentang pengajuan tuntutan ingkar dan jangka waktunya.
Jangka waktu int dipandang perlu agar tidak sewaktu‑waktu dapat dihambat dengan adanya tuntutan ingkar.
Ayat (4) s/d Ayat (6)
Cukup jelas



Pasal 25
Ayat (1)
Putusan Ketua Pengadilan Negeri dalam tuntutan ingkar mengikat kedua belah pihak dan putusan tersebut bersifat final dan tidak ada upaya perlawanan.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 26
Ayat (1) s/d Ayat 4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Jika hanya seorang anggota arbiter saja yang diganti, pemeriksaan dapat diteruskan berdasarkah berita acara dan surat yang ada, cukup oleh para arbiter yang ada.

Pasal 27
Ketentuan bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup adalah menyimpang dari ketentuan acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri yang pada prinsipnya terbuka untuk umum. Hal ini untuk lebih menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian arbitrase.

Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan umum mengenai acara perdata, diberikan kesempatan kepada para pihak untuk menunjuk kuasa dengan surat kuasa yang bersifat khusus.

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Ayat (1) dan Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Para pihak dapat menyetujui sendiri tempat dan jangka waktu yang dikehendaki mereka. Apabila mereka tidak membuat sesuatu ketentuan tentang hal ini, maka arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan.

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Huruf a
Yang dimaksud dengan"hal khusus" misalnya karena adanya gugatan antara atau gugatan insidentil di luar pokok sengketa seperti permohonan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Perdata.
Huruf b dan Huruf c
Cukup jelas


Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ayat ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih peraturan dan acara yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa antara mereka, tanpa harus mempergunakan peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih.

Pasal 35
Culup jelas

Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pada prinsipnya acara arbitrase dilakukan secara tertulis. Jika ada persetujuan para pihak, pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan.
Juga keterangan saksi ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, dapat berlangsung secara lisan apabila dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Pasal 37
Ayat (1)
Ketentuan mengenai tempat arbitrase ini adalah penting terutama apabila terdapat unsur hukum asing dan sengketa menjadi suatu sengketa hukum perdata internasional. Seperti lazimnya tempat arbitrase dilakukan dapat menentukan pula hukum yang harus dipergunakan untuk memeriksa sengketa tersebut jika para pihak tidak menentukan sendiri maka arbiter yang dapat menentukan tempat arbitrase.
Ayat (2)
Dalam ayat (2) pasal ini diberi kemungkinan untuk mendengar saksi di tempat lain dari tempat diadakan arbitrase, antara lain berhubung dengan tempat tinggal saksi bersangkutan.
Ayat (3) dan Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 38
Ayat (1) dan Ayat (2)
Cukup jelas
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Salinan perjanjian arbitrase harus juga diajukan sebagai lampiran.
Huruf c
Isi tuntutan harus jelas dan apablia isi tuntutan berupa uang, harus disebutkan jumlahnya yang pasti.

Pasal 39 s/d Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Ayat (1)
Pasal ini mengatur mengenai tuntutan rekonvensi yang diajukan oleh pihak termohon.


Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 43
Sesuai dengan hukum acara perdata sengketa menjadi gugur apabila pemohon tidak datang menghadap pada hari pemeriksaan pertama.

Pasal 44 s/d Pasal 47
Cukup jelas .

Pasal 48
Ayat (1)
Penentuan jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sebagai jangka waktu bagi arbiter menyelesaikan sengketa bersangkutan melalui arbitrase adalah untuk menjamin kepastian waktu penyelesaian pemeriksaan arbitrase.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 49 s/d Pasal 51
Cukup jelas

Pasal. 52
Tanpa adanya suatu sengketapun, lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat (bindingopinion) mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Misalnya mengenai penafsiran ketentuan yang kurang jelas; penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan timbulnya keadaan baru dan lain‑lain.Dengan diberikannya pendapat oleh lembaga arbitrase tersebut kedua belah pihak terikat padanya dan salah satu pihak yang bertindak bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar perjanjian.

Pasal 53 s/d Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Ayat (1)
Pada dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian untuk menentukan bahwa arbiter dalam memutus perkara wajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono).
Dalam hal arbiter diberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan perundang‑undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa (dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh arbiter.
Datam hal arbiter tidakdiberi kewenangan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan,maka arbiter hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim.
Ayat (2)
Para pihak yang bersengketa diberi keleluasaan untuk menentukan hukum mana yang akan diterapkan dalam proses arbitrase. Apabila para pihak tidak menentukan lain, maka hukum yang diterapkan adalah hukum tempat arbitrase dilakukan.



Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Yang dimaksud dengan"koreksi terhadap kekeliruan administratif" adalah koreksi terhadap hal‑hal seperti kesalahan pengetikan ataupun kekeliruan dalam penulisan nama, alamat para pihak atau arbiter dan lain‑lain, yang tidak mengubah substansi putusan.
Yang dimaksud dengan"menambah atau mengurangi tuntutan" adalah salah satu pihak dapat mengemukakan keberatan terhadap putusan apabila putusan, antara lain
a.      telah mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut oleh pihah lawan;
b.      tidak memuat satu atau lebih hal yang diminta untuk diputus; atau
c.      mengandung ketentuan mengikat yang bertentangan satu sama lainnya.

Pasal 59
Cukup jelas

Pasal 60
Putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.

Pasal 61
Cukup jelas

Pasal 62
Ayat (1) s/d Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Tidak diperiksanya alasan atau pertimbangan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri agar putusan arbitrase tersebut benar‑benar mandiri, final, dan mengikat.

Pasal 63 s/d Pasal 65
Cukup jelas

Pasal 66
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan"ruang lingkup hukum perdagangan" adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang :
-         perniagaan;
-         perbankan;
-         keuangan;
-         penanaman modal;
-         industri;
-         hak kekayaan intelektual.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Suatu Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan dengan putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan (eksekuatur).

Huruf e
Cukup jelas

Pasal 67 s/d Pasal 69
Cukup jelas

Pasal 70
Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan‑alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan‑alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untukmengabulkan atau menolak permohonan.

Pasal 71
Cukup jelas

Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketua Pengadilan Negeridiberi wewenang untuk memeriksa tuntutan pembatalan jika diminta oleh para pihak, dan mengatur akibat dari pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan.
Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase:
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan"banding" adalah hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70.
Ayat (5)
Cukupjelas
Pasal 73 s/d Pasal 82
Cukupjelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3872

Tidak ada komentar:

Posting Komentar