Kamis, 04 Juli 2013

Peran DSN-MUI

Sejak terbentuk pada tahun 1998, peran DSN-MUI telah mengeluarkan sejumlah fatwa tentang ekonomi syariah dan keuangan syariah. DSN-MUI juga telah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan fatwa tersebut disetiap lembaga keuangan syariah melalui DPS, yang merupakan organisasi dalam membantu DSN-MUI. Fatwa DSN-MUI akan mengikat lembaga keuangan syariah karena fatwa yang telah diputuskan itu akan diterjemahkan sebagai peraturan perundang-undangan dan menjadi pedoman serta panduan bagi lembaga regulator untuk menerbitkan aturan tentang lembaga keuangan syariah. Namun bagi masyarakat umum, fatwa DSN-MUI hanyalah bersifat seruan moral yang tidak mengikat dan tidak wajib untuk diikuti. Pengertian fatwa menurut arti bahasa adalah jawaban suatu kejadian (memberi jawaban yang tegas terhadap segala yang terjadi dalam masyarakat). Fatwa menurut arti syariat ialah suatu penjelasan hukum syariat dalam menjawab suatu perkara yang ditanyakan oleh seorang yang bertanya, baik penjelasan itu jelas atau ragu-ragu dan penjelasan itu mengarah pada dua kepentingan, yakni kepentingan pribadi atau masyarakat banyak.[13] Sedangkan menurut Cholil Nafis, Fatwa merupakan pandangan ulama dalam menetapkan hukum islam tentang suatu peristiwa yang memerlukan ketetapan hukum. Seorang mufti tidak hanya ahli ilmu fiqih, akan tetapi juga menguasai permasalahan yang akan diberikan ketetapan hukum.[14] Oleh karena itu, fatwa merupakan cermin dari respon para ulama terhadap suatu masalah yang memerlukan jawaban dari aspek agama islam sehingga bersifat dinamis dan juga merupakan cermin refleksi dari pemikiran intelektual masyarakat tertentu. Di Indonesia, fatwa dikeluarkan oleh individu, yaitu tokoh agama yang dijadikan tempat rujukan untuk mengemukakan persoalan atau permasalahan, kemudian diberikan jawaban sesuai ketetapan hukum islam. Namun, setelah fatwa dikeluarkan secara kelompok oleh para ulama, yaitu melalui organisasi kemasyarakatan yang sesuai dengan aliran pemahaman keagamaan. Organisasi tersebut merupakan cermin dari formalitas kolektivitas perorangan yang bersepakat untuk bersatu dalam satu wadah tertentu. Seperti warga Nahdiyyin (pengikut organisasi Nahdatul Ulama) dan warga Muhammadiyah yang mengkaji setiap masalah yang dihadapi oleh anggotanya dalam forum masing-masing dan kemudian mencari jalan penyelesaiannya, serta memutuskan hukum yang sepatutnya dengan syariah.[15] Karenanya dalam konteks nasional, pemerintah dan masyarakat bersatu berhimpun dalam satu wadah yaitu MUI yang mewakili umat islam Indonesia dalam memberi fatwa demi kesatuan suara dan metode yang digunakan. Sebagaimana sifat fatwa yang tidak mempunyai kekuatan mengikat, di Indonesia fatwa yang dikeluarkan oleh individu atau kelompok yang tergabung dalam sebuah organisasi kemasyarakatan sama sekali tidak ada yang mengikat anggotanya. Fatwa yang diputuskan oleh organisasi islam hanya bersifat ketetapan hukum yang mengandung konsekuensi moral bagi anggotanya, meskipun seruan moral tersebut secara tegas tidak ada pengawasan dari aturan organisasi. Hal tesebut berbeda dengan fatwa DSN-MUI yang mengeluarkan fatwa tentang fiqih muamalah berdasarkan permintaan lembaga keuangan syariah yang memiliki kepentingan terhadap fatwa tersebut untuk dasar aturan (regulasi) terhadap lembaga keuangan syariah. Otoritas DSN-MUI dalam bidang syariah sangat penting untuk menjamin kesesuaian lembaga keuangan syariah di Indonesia dengan hukum islam. Keberadaan DSN-MUI sebagai lembaga yang mempunyai kemampuan dalam bidang keagamaan dan mempunyai hak menetapkan fatwa tentang ekonomi dan keuangan islam telah diakui oleh BI, sebagai pemegang kekuasaan dan pusat kebijakan moneter, dan kementrian keuangan sebagai pemegang kekuasaan dibidang fiskal.[16] Kedua lembaga pemerintah tersebut telah menetapkan DSN-MUI sebagai mitra dalam mengatur lembaga keuangan syariah yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Namun bukan berarti penerapan fatwa tersebut secara otomatis mengikat setiap lembaga keuangan syariah sebelum dijadikan regulasi oleh lembaga regulator, baik dalam bentuk undang-undang, peraturan Bank Indonesia atau peraturan Mentri Keuangan. Hal ini dikarenakan DSN-MUI sebagai lembaga swasta yang tidak mempunyai otoritas untuk mengatur secara langsung lembaga keuangan syariah. Jika fatwa tersebut akan dijadikan sebagai panduan dan rujukan utama dilembaga keuangan syariah, maka fatwa-fatwa tersebut perlu dijadikan sebagai regulasi terlebih dahulu oleh lembaga regulator. Mekanisme penyerapan fatwa DSN-MUI sebagai regulasi lembaga keuangan syariah, diatur dalam Pasal 26 UUPS No. 21 Tahun 2008: (1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21, dan/atau produk jasa syariah wajib tunduk pada Prinsip Syariah. (2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia. (3) Fatwa sebagaimana dimaksud ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia. (4) Dalam rangka penyusunan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud ayat (2), Bank Indonesia membentuk komite perbankan syariah. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, keanggotaan dan tugas komite perbankan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Hal ini sesuai dengan teori receptio a contrario yang merupakan pengembangan dari teori receptie exit dan kemudia dengan teori kewujudan, maka menjadi lebih wesuai dengan keadaan dan budaya masyarakat Indonesia. Karena hukum islam adalah hukum yang terdapat dan dilaksanakan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama islam, maka hukum islam yang dimasukkan dalam hukum nasional bukan hanya bersumber dari hukum agama saja, melainkan juga berdasarkan kemaslahatan umum. Sebab dalam perspektif ilmu ushul fiqh, sebuah adat (budaya) juga dijadikan pertimbangan dalam penentuan hukum islam.[17]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar