Prinsip-prinsip Ekonomi Islam
Ekonomi Islam yang dikenal juga
dengan Ekonomi Syariah tentunya adalah suatu yang wajib untuk dilaksanakan bagi
seluruh umat islam di dunia. Hubungan ekonomi syariah tentunya berkaitan erat
dengan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Untuk itu, berikut adalah
hal-hal yang menjadi dasar atau prinsip hukum ekonomi syariah dalam Al-Quran.
1. Transaksi Ekonomi yang Berbasis
Sosial dan Spiritual
“Dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.”
(QS An-Nuur : 56)
Ekonomi syariah selalu menengakkan
transaksinya berdasarkan spirit spiritual dan sosial masyarakat. Masalah ini
berkaitan dengan aturan zakat dalam islam. Orang-orang yang memiliki harta
lebih harus memberikan sebagian hartanya untuk dapat diberikan kepada fakir
miskin.
Aturan ini tidak terlepas dari
aturan shalat. Untuk itu masalah ekonomi pun berhubungan sekali dengan masalah
spiritual. Artinya dalam spirit ekonomi syariah, masalah muammalah atau
hubungan dengan sesama manusia tidak pernah bisa lepas dari masalah hubungan
dengan ketuhanan.
Orang-orang yang mendirikan zakat
harus mendirikan shalat. Orang-orang yang menyembah Allah harus memuliakan dan
mensejahterakan manusia. Begitupun dengan orang-orang yang memuliakan manusia
tidak cukup namun harus juga menyembah Allah.
2. Menjauhi Riba
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS Ali Imran : 130)
Dari ayat di atas dijelaskan bahwa
riba adalah suatu yang haram dalam islam bahkan Allah memberikan sanksi ahli
neraka jika riba tersebut ditegakkan. Untuk itu, perlu dipahami bahwa riba
adalah kejahatan yang sangat tinggi. Riba dapat mencekik fakir miskin. Bahkan
riba seperti membunuh pelan-pelan dan membuat orang lain terzalimi. Untuk itu,
dalam islam riba menjadi larangan dan suatu yang diharamkan. Riba tidak
menguntungkan sama sekali, menzalimi fakir miskin dan orang tak punya.
Selain itu, efek dari riba adalah semakin banyaknya
kemiskinan bagi yang terjerat riba. Umat islam sudah seharusnya berpikir bahwa
ketika semakin banyak orang miskin, maka semakin sedikit pula orang-orang yang
mampu. Walaupun mereka seorang bangsawan sekalipun, ketika tidak ada yang mampu
membeli barang ekonominya, maka sama saja ia pun akan merugi.
Untuk itu, islam mengajarkan agar tidak egois atau
individualis melainkan memikirkan bagaimana kesejahteraan dan kemakmuran
manusia bisa dirasakan bersama.
3. Tidak Bergantung Pada Peruntungan (Judi)
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” Dan mereka bertanya
kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ” Yang lebih dari keperluan.”
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” (QS Al-Baqarah : 219)
Islam melarang untuk bergantung ekonomi pada peruntungan.
Peruntungan hal ini adalah seperti judi. Hal ini dilarang islam karena judi
memiliki ketidakjelasan. Sedangkan mengadu nasib pada suatu yang tidak jelas
atau tidak pasti dilarang oleh islam, apalagi hanya berdasarkan peluang dan
tanpa ada ikhtiar atau usaha.
Judi itu sendiri efeknya membuat harta tidak bergerak.
Manusia yang mengandalkan hidupnya dari judi membuat ia bergantung pada harta
yang itu-itu saja. Allah sendiri memberikan perintah pada manusia untuk mencari
karunia dan rezeki Allah di muka bumi, agar bisa diolah, dikembangkan, dan
dikelola sehingga semakin tergali dan terpotensikan lah apa yang ada di muka
bumi.
4. Pelarangan Gharar
Gharar adalah suatu yang tidak jelas atau suatu yang
samar. Artinya, ketika bertransaksi ekonomi maka harus dipastikan terlebih
dahulu jenis, jumlah, kualitas, keadaan barang atau produk ekonominya agar
tidak ada yang saling dirugikan. Itulah islam mengajarkan agar transaksi
ekonomi selalu disertai oleh akad dan perjanjian yang jelas dan pasti. Dalam
hal ini ekonomi syariah selalu mengedapankan hal tersebut, agar tidak ada yang
merasa terzalimi kemudian harinya.
5. Prinsip Akuntable
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah
ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya.” (QS Al Baqarah : 282)
Di dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Transaksi ekonomi
apapun itu haruslah tercatat dan terekam secara jelas. Hal ini untuk menghindari
kelupaan, konflik dan pihak yang semena mena terhadap-nya. Dalam masalah ini
ilmu akuntansi yang berkembang tentu sangat berkaitan erat dengan hal ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar