Para fuqaha berbeda pendapat mengenai hak hadhanah. Apakah ia menjadi hak hamba Allah (manusia), berupa hak yang mengasuh atau yang diasuh, ataupun hak keduanya. Atas dasar penentuan seperti itu, karnanya para fuqaha terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu[1]:
1) Hadhanah itu adalah hak bagi yang diasuh/didik. Kalau demikian, sang ibu tidak mempunyai hak untuk menggugurkannya, dan ia dipaksa untuk melakukannya. Inilah pendapat sebagian fuqaha mazhab Hanafi, yang diantaranya adalah Abu al-Layts, lalu dikuatkan oleh al-kamal bin Hammam dalam Fath al-Qadir. Itu juga yang menjadi pendapat mazhab Maliki dan Syafi‟i. Jika menafkahi anak yang diasuh merupakan kewajiban bagi sang ibu, ini pendapat yang lain dari al-Ibadhiyah, juga merupakan pendapat Abu Laila, dan Abu Tsusur, serta al- Hasan bin ash-Shalih. Mereka merujuk pada potongan ayat:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ…....
“Dan para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya……..” (QS.al-Baqarah, 233).
Ayat tersebut berupa pemberitaan atau jumlah khabariyyah. Tetapi maksudnya adalah memerintah (amar, dan perintah itu untuk mewajibkan. Jika menyusui itu hukumnya wajib, maka sang ibu tidak dapat digugurkan untuk hadhanah, ia mesti dipaksa untuk itu)
2) Hadhanah merupakan hak bagi ibunya jika hal itu menjadi haknya, maka ia berhak untuk menggugurkannya. Itulah pendapat mazhab Hanafi, Syafi‟i dan Maliki, kecuali jika menafkahi anak yang diasuh menjadi kewajibannya. Ini juga pendapat mazhab Hanbali dan Zaidiah, Imamiah, Ibadhiah, dan pendapat ats-Tsawry. Pada kelempok ini mendasarkan pada potongan ayat:
….فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَىٰ
“………Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”(ath-Thalaq, 6).
Jika mereka berdua (ayah dan ibu) berselisih pendapat, maka sungguh mereka sedang menghadapi kesulitan. Ayat tersebut menjelaskan bahwa ketika ditemukan kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Sedangkan potongan ayat:.... وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ “dan para ibu hendaklah menyusui anak- anak mereka… “(QS.al-Baqarah, 233), itu menunjukan perbuatan sunnah, dan bukan untuk kewajiban. Atau keduanya (suami-istri) dianggap dalam keadaan bersepakat dan tidak menemui kesulitan. Jika ada kesepakatan, maka menyusui (oleh ibunya) menjadi wajib, dan jika tidak ada kesepakatan, maka menyusui olehnya hanya sunah, seandainya kita berpendapat untuk memaksanya, maka boleh jadi ia tidak mampu dalam keadaan lemah untuk melakukan hadhanan (mengasuh dan mendidik).
3) Hadhanah adalah hak keduanya, inilah pendapat sebagian fuqaha mazhab Maliki, dan pendat pilihan fuqaha mazhab Ibadhiah. Nampaknya kelompok ini berpandangan bahwa sang ibu berhak untuk menggurkan hadhanah, dengan ayat talak , dan ini menjadi dalil, bahwa hadhanah ini merupakan haknya. Sebgaimana kelompok ini pun menemukan bahwa pengguguran ibu terhadap hadhanah itu tidak diterima jika anak tidak mampu menerima selainnya. Atau mungkin boleh jadi ayahnya tidak mampu membayar upah hadhanah, sementara tidak ada cara lain yang mau mengasuh secara Cuma-Cuma. Ini menjadi dalail, bahwa hadhanah merupakan hak anak yang diasuh/dididik. Atas pertimbangan itu maka mereka berpendapat, “sesungguhnya hadhanah itu hak keduanya, ibunya dan anaknya.”
Dari pendapat-pendapat di atas, Huzaemah Tahidho berpendapat “bahwa apa yang dipegangi oleh kelompok pertama, yakni yang berlandaskan pada potongan ayat:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ…….
“Dan para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya dua tahun penuh,…..” merupakan nash tentang menyusui. Para ulama bebeda pendapat mengenai ar-radha (menyusui). Apakah menjadi hak ibu atau hak atasnya (merupakan kewajiban ibu).Tentu saja kata-kata seperti itu muhtamal, yang mengandung banyak kemungkinan. Jika dikehendaki dengan terang-terangan bahwa menyusui merupakan hak (kewajiban sang ibu), maka ayat itu akan berbunyi wa ala al walidat radha’u awladhinna (dan diwajibkan atas para ibu menyusui anak-anaknya). Hal ini seperti susunan ayat: وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian bagi para ibu dengan baik). [2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar