WASIAT WAJIBAH
TERHADAP ANAK ANGKAT
A. Latar belakang permasalahan
Hukum Islam memperbolehkan mengangkat anak, namun dalam batas batas tertentu yaitu selama tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dari orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya. Filosofis yang terkandung dalam konsep hukum Islam yang pada sisinya tertentu memperbolehkan pengangkatan anak, namun dalam sisi lain memberikan syarat yang ketat dan batasan pengertian pengangkatan anak adalah : a. Memelihara garis turun nasab (genetik) seorang anak angkat sehingga jelaslah kepada siapa anak angkat tersebut dihubungkan nasabnya yang berdampak pada hubungan, sebab dan akibat hukum. b. Memelihara garis turun nasab bagi anak kandung sendiri sehingga tetap jelas hubungan hukum dan akibat hukum terhadapnya;
Anak angkat mendapat kedudukan istimewa di Indonesia, kedudukannya dipersamakan dengan anak kandung dalam suatu keluarga, sehingga apabila orang tua angkatnya meninggal dunia dia dapat menjadi ahli waris satu-satunya, atau paling tidak dapat me-mahjub-kan saudara kandung pewaris. Mendudukkan anak angkat menjadi ahli waris pengganti seperti demikian, dalam Islam dilarang berdasarkan teguran langsung Allah SWT atas pengangkatan anak oleh Rasulullah SAW terhadap Zayd bin Haritsah. Dalam Islam anak angkat bukanlah ahli waris. Namun tidak banyak diperoleh informasi tentang bagaimana KHI memberi kedudukan istimewa dengan pemberian wasiat wajibah kepada anak angkat sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
B. Rumusan masalah
Bagaimana anak angkat bisa mendapatkan wasiat wajibah ?
C. Pembahasan
Wasiat merupakan salah satu kajian hukum yang tidak terpisahkan dalam kajian hukum keluarga Islam. Para ulama menempatkan tema ini bersamaan dengan tema-tema penting warisan. Teori wasiat wājibah sebetulnya bukan permasalahan yang baru timbul di abad modern, tetapi hukum wasiat wājibah ini sudah dikenal dalam literature fikih klasik. Wasiat wājibah hadir sebagai upaya pemenuhan hak terhadap kerabat yang dekat namun karena hukum waris menghalanginya (hijab) mendapatkan hak harta karena ada ahli waris yang lebih berhak menerimanya. Kenyataan bahwa para ahli waris yang cukup dekat dengan pewaris terkadang tidak mendapatkan harta waris karena terhalang oleh ahli waris lainnya. Mengingat pentingnya keberadaan wasiat wājibah ini, pihak pengadilan atau hakim dapat menetapkan secara paksa penyaluran harta wasiat. Abdul Manan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan wasiat wājibah tidak hanya bersifat diyani (anjuran keagamaan), tetapi bersifat qadha’i (adanya intervensi pemerintah atau hakim), artinya tidak hanya sebagai tanggung jawab seseorang menjalankan perintah agama, tetapi juga dapat dipaksakan apabila lalai dalam pelaksanaannya karena sudah menyangkut kepentingan umum.[1] Terkait dengan dasar hukum wasiat wājibah ini, dalil yang paling umum digunakan oleh para ulama adalah QS. al-Baqarah ayat 180-182, berbicara tentang kewajiban untuk mewasiatkan harta kepada kedua orang tua. Bunyi ayat tersebut adalah sebagai berikut:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (180) فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (181) فَمَنْ خَافَ مِنْ مُوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (182)
Artinya: “Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa, Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Lafaz “ كُتِبَ عَلَيْكُمْ ” menjadi acuan bahwa ada hukum yang menunjukkan wajib wasiat untuk kalangan tertentu, yang dimaksudkan oleh ayat tersebut yaitu kepada “ الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ”, yaitu kepada orang tua dan kaum kerabat. Ayat ini memang masih bersifat umum, sehingga dikhususkan oleh salah satu hadis riwayat Abū Dāwud dari Abd al-Wahhāb bin Najdah, yang menyatakan tidak diberikan wasiat kepada ahli waris:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ نَجْدَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَيَّاشٍ عَنْ شُرَحْبِيلَ بْنِ مُسْلِمٍ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab bin Najdah, telah menceritakan kepada kami Ibnu 'Ayyasy, dari Syurahbil bin Muslim, saya mendengar Abu Umamah, saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap yang memiliki hak, maka tidak ada wasiat bagi pewaris” (ABUDAUD - 2486)
Surah al-Baqarah ayat 180-182 secara redaksional mengandung informasi tentang kewajiban bagi anak yang sudah ada tanda kematian untuk mewasiatkan hartanya kepada ibu dan bapak, serta anggota keluarga. Mengikuti makna wasiat wājibah sebelumnya, maka dapat dimengerti bahwa kewajiban yang disebutkan dalam ayat tersebut di atas mengandung makna yaitu seseorang dipandang telah melakukan wasiat pada orang tua dan ahli keluarga meskipun tidak mewasiatkannya secara nyata dalam bentuk ucapan. Para ulama tafsir, salah satu di antaranya al-Thabari, menyatakan bahwa makna wajib dalam ayat di atas sesuatu yang mesti dilakukan. Imam al-Thabari menyatakan jika ada yang bertanya adakah orang yang berharta wajib berwasiat untuk kedua orang tuanya dan sanak kerabatnya yang tidak mewarisi? maka jawabannya ya. Jika ia berkata: lalu jika ia tidak berwasiat untuk mereka adakah ia telah melanggar kewajiban? maka jawabannya ya.[2] Dari keterangan ini, secara tidak langsung bahwa Imam al-Thabari setuju mengenai keberlakuan hukum wajibnya anak mewasiatkan hartanya kepada orang tua dan kerabatnya. Ini menandakan wasiat itu hukumnya wajib. Menurut al-Qurthubi, ayat di atas adalah ayat wasiat yang paling lengkap membicarakan wasiat. Namun ayat ini diturunkan sebelum turunnya ayat faraidh ataupun hukum warisan (yaitu QS. al-Nisa’ [4] ayat 11, 12 dan 176).[3]
Sementara itu menurut al-Syaukani, dalam Surah al-Baqarah ayat 180-182, Allah Swt tidak menerangkan tentang kadar yang diwasiatkan untuk kedua orang tua dan kerabat. Mengenai ini, ada yang mengatakan seperlima, ada juga yang mengatakan seperempat, dan ada juga yang mengatakan sepertiga.[4]
Namun demikian, jumlah yang diambil kebanyakan ulama adalah 1/3 harta mengikuti jumlah harta wasiat pada umumnya. Disebutkan bahwa wasiat hanya diperbolehkan jika kadarnya hanya mencapai sepertiga dari harta atau kurang dari sepertiga. Bahkan ulama lebih menyukai jika wasiat tersebut tidak sampai sepertiga.[5] Dalil yang digunakan mengacu pada riwayat hadis Muslim sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ عَادَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ أَشْفَيْتُ مِنْهُ عَلَى الْمَوْتِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَلَغَنِي مَا تَرَى مِنْ الْوَجَعِ وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي قَالَ لَا قَالَ قُلْتُ أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ قَالَ لَا الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى اللُّقْمَةُ تَجْعَلُهَا فِي فِي امْرَأَتِكَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُخَلَّفُ بَعْدَ أَصْحَابِي قَالَ إِنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ فَتَعْمَلَ عَمَلًا تَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا ازْدَدْتَ بِهِ دَرَجَةً وَرِفْعَةً وَلَعَلَّكَ تُخَلَّفُ حَتَّى يُنْفَعَ بِكَ أَقْوَامٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ اللَّهُمَّ أَمْضِ لِأَصْحَابِي هِجْرَتَهُمْ وَلَا تَرُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ لَكِنْ الْبَائِسُ سَعْدُ بْنُ خَوْلَةَ قَالَ رَثَى لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَنْ تُوُفِّيَ بِمَكَّةَ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ح و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ وَحَرْمَلَةُ قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالَا أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ كُلُّهُمْ عَنْ الزُّهْرِيِّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ و حَدَّثَنِي إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ سَعْدٍ قَالَ دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيَّ يَعُودُنِي فَذَكَرَ بِمَعْنَى حَدِيثِ الزُّهْرِيِّ وَلَمْ يَذْكُرْ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَعْدِ بْنِ خَوْلَةَ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ وَكَانَ يَكْرَهُ أَنْ يَمُوتَ بِالْأَرْضِ الَّتِي هَاجَرَ مِنْهَا
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Taimi telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Sa'd dari Ibnu Syihab dari 'Amir bin Sa'd dari Ayahnya dia berkata, "Pada saat haji wada', Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang menjengukku yang sedang terbaring sakit, lalu saya berkata, "Wahai Rasulullah, keadaan saya semakin parah seperti yang telah anda lihat saat ini, sedangkan saya adalah orang yang memiliki banyak harta, dan saya hanya memiliki seorang anak perempuan yang akan mewarisi harta peninggalan saya, maka bolehkah saya menyedekahkan dua pertiga dari harta saya?" beliau bersabda: "Jangan." Saya bertanya lagi, "Bagaimana jika setengahnya?" beliau menjawab: "Jangan, tapi sedekahkanlah sepertiganya saja, dan sepertiganya pun sudah banyak. Sebenarnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan yang serba kekurangan dan meminta minta kepada orang lain. Tidakkah Kamu menafkahkan suatu nafkah dengan tujuan untuk mencari ridla Allah, melainkan kamu akan mendapatkan pahala karena pemberianmu itu, hingga sesuap makanan yang kamu suguhkan ke mulut isterimu juga merupakan sedekah darimu." Sa'ad berkata, "Saya bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, apakah saya masih tetap hidup, sesudah teman-teman saya meninggal dunia?" beliau menjawab: "Sesungguhnya kamu tidak akan panjang umur kemudian kamu mengerjakan suatu amalan dengan tujuan untuk mencari ridla Allah, kecuali dengan amalan itu derajatmu akan semakin bertambah, semoga kamu dipanjangkan umurmu sehingga kaum Muslimin mendapatkan manfaat darimu dan orang-orang menderita kerugian karenamu. Ya Allah… sempurnakanlah hijrah para sahabatku dan janganlah kamu kembalikan mereka kepada kekufuran, akan tetapi alangkah kasihannya Sa'd bin Khaulah." Sa'd berkata, "Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendo'akannya agar ia meninggal di kota Makah." Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id dan Abu Bakar bin Abu Syaibah keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepadaku Abu At Thahir dan Harmalah keduanya berkata; telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dan 'Abd bin Humaid keduanya berkata; telah mengabarkan kepada kami Abdurrazaq telah mengabarkan kepada kami Ma'mar semuanya dari Az Zuhri dengan isnad seperti ini." Dan telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Manshur telah menceritakan kepada kami Abu Daud Al Hafari dari Sufyan dari Sa'd bin Ibrahim dari 'Amir bin Sa'd dari Sa'd dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang menjengukku, kemudian dia menyebutkan hadits sebagaimana makna hadits Az Zuhri, namun ia tidak menyebutkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengenai Sa'd bin Khaulah kecuali kalimat, "Dan dia tidak suka jika meninggal dunia di daerah hijrahnya." (MUSLIM - 3076)
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa penjelasan di atas memberi indikasi hukum mengenai wajibnya seseorang mewasiatkan harta bendanya atas orang tua dan kaum kerabat, dengan ketentuan jika sudah diketahui adanya tanda kematian. Jumlah harta yang wajib diwasiatkan kepada masing-masing orang tua dan ahli kerabat tidak disebutkan secara pasti, baik bagian khusus ibu atau bapak, maupun masing-masing anggota kerabat yang masih hidup. Dari pendapat di atas juga dipahami bahwa ayat tersebut turun sebelum ayat-ayat warisan. Oleh sebab itu, jika ditelusuri spesifikasi pendapat para ulama, maka ditemukan adanya beda pendapat apakah hukum wasiat itu wajib atau justru tidak wajib. Perbedaan ini berangkat dari pemahaman di mana ayat di atas sudah dikhususkan, ada juga yang menyebutkan dihapuskan oleh ayat-ayat mawaris, sehingga tidak ada lagi hukum wasiat kepada ahli waris.
Pendapat ulama tentang hukum wasiat wājibah ini ditemukan perbedaan yang cukup signifikan terdapat tiga pendapat. Pertama seperti pendapat yang diambil oleh al-Zuhrī, Abū Mijlaz, dan Ibn Ḥazm, yang mewajibkan wasiat kepada siapa saja yang memiliki harta semasa hidupnya. Kedua pendapat yang diambil oleh Masrūq, ‘Iyyās, Qatādah, dan Ibn Jarīr, yang mewajibkan wasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mendapat hak warisan. Ketiga, pendapat ini diambil oleh empat imam mazhab yaitu Imām Abū Ḥanīfah, Imām Mālik bin Anas, Imām al-Syāfi’ī, dan Imām Aḥmad bin Ḥanbal, serta dipegang pula oleh ulama Zaidiyyah ada pula ulama yang berpandangan wasiat itu tidak ada yang wajib, baik untuk orang-orang yang disebutkan oleh pendapat pertama, atau kepada orang-orang yang disebutkan pada pendapat kedua.[6]
D. Akibat terhadap Pengangkatan Anak
Proses pengangkatan anak mengakibatkan ketentuan hukum baru, dimana jika terjadi sesuatu musibah dan mengakibatkan kematian terhadap orang tua angkat tersebut maka akan terjadi perubahan sosial tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan. kedudukan anak angkat / orang tua angkat pada hukum waris yang di atur dalam Hukum adat keduanya adalah ahli waris yang saling mewarisi dan menurut Kompilasi Hukum Islam anak angkat/orang tua angkat berhak mendapatkan wasiat wajibah sebanyak 1/3 apabila anak angkat tidak menerima warisan. Sementara Kitab Undang undang Hukum Perdata pasal 832 dan dalam hukum Islam keduanya tidak termasuk ahli waris.
Merujuk kepada firman Allah surat al-Baqarah ayat 180 tersebut ditemukan bahwa memerintahkan seorang muslim untuk mewasiatkan sebagian hartanya kepada anak saudaranya. Meskipun sebagian ahli fikih setuju bahwa ayat itu dihapus (mansukh) oleh ayat tentang waris (an-Nisa ayat 7) yang berbunyi:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”
Ahli fikih lainnya berpendapat bahwa penghapusan itu hanya diterapkan pada anak saudara yang berhak atas bagian tertentu yang dijelaskan dalam al-Quran. Karena itu, mereka percaya bahwa membuat wasiat masih dianjurkan bagi mereka yang tidak memiliki hak terhadap bagian tertentu dari harta orang yang meninggal. Ibnu Hazm bahkan memandang bahwa jika seseorang gagal membuat wasiat selama hidupnya, pengadilan harus membuat wasiat atas nama orang yang meninggal.
Ketentuan wasiat wajibah diatas merupakan hasil ijtihad para ulama dalam menafsirkan surah Al-Baqarah ayat 180. Sebagian ulama, dalam menafsirkan ayat 180 surat Al-Baqarah di atas, berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya wajib, sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap dan diberlakukan, sehingga pemberian wasiat wajibah kepada walidain dan aqrabin yang mendapatkan bagian (penerimaan) dapat diterapkan dan dilaksanakan.
Wasiat wajibah menurut al-Quran diatas diperintahkan untuk ibu bapak (walidayn) dan karib kerabat (aqrabin). Sedangkan orang tua angkat atau anak angkat dalam pasal 209 KHI, sama sekalin tidak masuk ke dalam walidayn dan aqrabin. Sebagian ahli tafsir atau mujtahid lain berpendapat bahwa maksud dari ayat 180 al-Baqarah itu sudah dinasakh, dalam arti digantikan, yakni oleh hadist-hadist Rasulullah yang maksudnya tidak sah berwasiat kepada ahli waris. KHI tampaknya memilih pendapat ahli tafsir atau mujtahid kedua ini, seperti termuat dalam pasal 195 ayat (3) yang berbunyai:”Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
Kompilasi Hukum Islam memberikan hak untuk menerima wasiat wajibah itu kepada anak angkat. Hal ini termuat dalam satu-satunya Pasal dalam KHI yang mengatur tentang wasiat wajibah yaitu Pasal 209 ayat (1) dan (2), sebagai berikut: (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari warisan orang tua angkatnya.
E. Kesimpulan
Wasiat wajibah adalah salah satu produk fiqh al-Ijtihadiyyah yang lahir dari pemahaman ulama terhadap nash-nash yang menjelaskan tentang wasiat. Konesp wasiat wajibah ini diterapkan di beberapa negara muslim lainnya, seperti di Indonesia dalam menyelesaikan masalah anak angkat. Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam ayat (1) dan (2) menyatakan sebagai berikut: (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. (2). Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari wairsan orang tua angkatnya.
Berdasarkan keterangan di atas dapat dipormulasikan bahwa wasiat wajibah yang dimaksudkan oleh KHI adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat atau sebaliknya orang tua angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua atau anak angkatnya, dengan jumlah maksimal 1/3 dari harta peninggalan.
Kesimpulan hukumnya menjadikan wasiat wajibah dipakai dalam rangka mengakomodir hak orang lain (anak angkat) yang tidak mendapatkan harta warisan karena memang statusnya tidak termasuk kerangka penerima waris
[1] Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2017), hlm. 214.
[2] Ibn Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, (t. terj), Jilid 3, (JakartaL Pustaka Azzam, t.tp), hlm. 47.
[3] Abi Bakr al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (t. terj), Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, t.tp), hlm. 594.
[4] Imam al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, (t. terj), Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, t.tp), hlm. 691.
[5] Shalih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan, Mulakhkhash Fiqhi: Panduan Fiqih Lengkap, (t. terj), Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Ibn Katsir, 2011), hlm. 339
[6] Sayyid Sābiq, Fiqih Sunnah, Jilid, V, (Penerjemah: Abu Aulia dan Abu Syauqina), (Jakarta: Republika Penerbit, 2017), hlm. 457.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar