Hukum Menikah
Pada kenyataannya sekalipun menikah adalah anjuran dalam agama kita, namun ternyata dalam sejumlah kondisi konsekuensi hukumnya bisa berubah. Pada kondisi tertentu menikah bisa menjadi wajib, sunnah, makruh bahkan haram.
1. Wajib
Seseorang bisa diwajibkan menikah tatkala hasratnya untuk menikah sudah muncul dan sudah sulit baginya menghindari zina, serta bagi mereka yang secara finansial sudah berkemampuan.
2. Sunnah dan Mubah
Menikah bisa menjadi sekedar sunnah saja hukumnya,hal ini berlaku jika seseorang sudah mampu namun belum merasa takut jatuh kepada zina. Dimubahkan juga bagi seseorang untuk menikah tatkala tidak ada hal apapun yang menuntutnya untuk menikah dari segi finansial, biologis, dan usia, dan terhindar dari kemungkinan terjadinya kedhaliman.
3. Makruh
Bagi orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah.
4. Haram
Hukum haram dalam pernikahan bisa muncul dikarenakan banyak hal, diantaranya adalah jika seseorang tidak mampu secara finansial dan sangat besar kemungkinannya tidak bisa menafkahi keluarganya kelak, tidak adanya kemampuan berhubungan sexual juga menjadi faktor diharamkannya pernikahan.
Pernikahan juga bisa menjadi haram jika syarat sah dan kewajiban tidak terpenuhi bahkan dilanggar. Ada banyak klasifikasi nikah yang diharamkan dalam Islam seperti nikah mut’ah (sejenis kawin kontrak) dan nikah syighar (seperti barter). Indikasi terjadinya kedhaliman dalam rumah tangga juga bisa menyebabkan pernikahan menjadi haram untuk dilakukan.
Anjuran berpuasa bagi yang belum mampu menikah sebenarnya adalah solusi yang sifatnya sementara. Hal ini dikarenakan dengan berpuasa, seseorang mendapat beban untuk kuat mengontrol hawa nafsunya. Lalu apakah kemudian dengan berpuasa kemudian hawa nafsu yang meledak-ledak bisa terobati atau hilang sekaligus? Tentu tidak, karena nafsu sudah menjadi hal yang melekat dengan manusia. Dia tidak bisa dihilangkan, namun bisa dicegah dan diminimalisir.
Imam Nawawi menjelaskan bahwa anjuran berpuasa adalah sebagai alternatif bagi mereka yang belum mampu menikah sementara syahwatnya sangat tinggi. Maka puasa sebenarnya hanya untuk memangkas syahwat yang tinggi menjadi rendah, dan mencegah niat jahat karena lemahnya badan. Maka sudah barang tentu, hadist ini tidak berlaku untuk mereka yang lemah syahwat bahkan yang tidak mampu membangkitkan gairah seksualnya.[1]
Disyariatkannya menikah dengan bermacam konsekuensi hukum yang berlaku secara prinsip mempunyai satu hukum dasar yakni tidak diperkenankannya seseorang untuk membujang atau kalau dalam istilah kekinian dikenal dengan menjomblo. Indikasi dilarangnya seseorang untuk menjomblo ini disebutkan dalam hadist berikut:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ شِهَابٍ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولُ سَمِعْتُ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ يَقُولُ , رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا ,حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّهُ سَمِعَ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ يَقُولُ لَقَدْ رَدَّ ذَلِكَ يَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ وَلَوْ أَجَازَ لَهُ التَّبَتُّلَ لَاخْتَصَيْنَا
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus[2] Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'd Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Syihab[3] ia mendengar Sa'id bin Al Musayyab berkata: Aku mendengar Sa'd bin Abu Waqqash[4] berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang Utsman bin Mazh'un untuk hidup membujang. Dan sekiranya beliau mengizinkannya, niscaya kami akan mengebiri. Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman[5] Telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Sa'id bin Al Musayyab bahwa ia mendengar Sa'd bin Abu Waqqash berkata; Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang Usman bin Mazh'un untuk melakukan hal itu, sekiranya beliau melakukannya, niscaya kami telah mengebiri. (BUKHARI - 4685)[6]
Jalur sanad hadis ini ada dua jalur sanad yaitu:
1. Sa'ad bin Abi Waqash Malik bin Uhaib bin 'Abdu Manaf bin Zuhrah -> Sa'id bin Al Musayyab bin Hazan bin Abi Wahab bin 'Amru -> Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab -> Ibrahim bin Sa'ad bin Ibrahim bin 'Abdur Rahman bin 'Auf -> Ahmad bin 'Abdullah bin Yunus bin 'Abdullah bin Qais
2. Sa'ad bin Abi Waqash Malik bin Uhaib bin 'Abdu Manaf bin Zuhrah -> Sa'id bin Al Musayyab bin Hazan bin Abi Wahab bin 'Amru -> Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab ->Syu'aib bin Abi Hamzah Dinar -> Al Hakam bin Nafi'
Memahami hadist ini para ulama tidak serta merta menyimpulkannya bahwa menjomblo adalah sebuah keharaman. Karena merujuk pada kaidah yang berlaku terhadap hukum asal dari pelarangan adalah keharaman hingga ada faktor dan dalil lain yang menunjukan ketidakharamanya. Melalui kaidah ini, dapat dipastikan bahwa hukum menjomblo selama dalam koridor bukan menolak disyariatkannya pernikahan,tidak diharamkan. Hal ini diperkuat dengan konsekuensi hukum menikah yang juga bisa berubah sesuai kondisi.
Fenomena yang muncul saat ini adalah individu yang masih belum menikah atau bersatus lajang hingga usianya memasuki masa dewasa. Jika dilihat secara teori, menikah merupakan salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa awal, dan penundaan pernikahan ini dapat menghambat tugas perkembangan pada masa dewasa madya. Pada saat sebagian orang muda, mereka terus melajang karena tidak mendapatkan pasangan yang tepat, yang lain melajang karena mereka memilih untuk melajang. Lebih banyak wanita pada saat ini yang mandiri, ditambah lagi makin berkurangnya tekanan sosial untuk menikah
[1] Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf An –Nawawi. Syarhun Nawawi alal Muslim (Al Minhaj). Daru Ihya Turos. Beirut. 1392 H. hal 9/173
[2] Nama Lengkap : Ahmad bin 'Abdullah bin Yunus bin 'Abdullah bin Qais, Kalangan : Tabi'ul Atba' kalangan tua, Kuniyah : Abu 'Abdullah, Negeri semasa hidup : Kufah, Wafat : 227 H
[3] Nama Lengkap : Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab, Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan, Kuniyah : Abu Bakar, Negeri semasa hidup : Madinah, Wafat : 124 H
[4] Nama Lengkap : Sa'ad bin Abi Waqash Malik bin Uhaib bin 'Abdu Manaf bin Zuhrah, Kalangan : Shahabat, Kuniyah : Abu Ishaq, Negeri semasa hidup : Kufah, Wafat : 55 H
[5] Nama Lengkap : Al Hakam bin Nafi', Kalangan : Tabi'ul Atba' kalangan tua, Kuniyah : Abu Al Yaman, Negeri semasa hidup : Syam, Wafat : 222 H
[6] Ensiklopedi Kitab 9 Imam Hadits, http://mqtebuireng.softether.net/hadis9/bab_open.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar