Kamis, 30 Desember 2021

Relevansi hadis tentang pernikahan dini pada zaman sekarang


 PERNIKAHAN DINI

Pernikahan Dini

 

A. Latar Belakang Permasalahan

Banyak remaja yang telah melakukan hubungan seksual di luar nikah dan mengharuskan mereka bertanggungjawab terhadap apa yang telah dilakukannya melalui jalan pernikahan. Hal ini menandakan bahwa mereka pada dasarnya belum siap menikah secara mental akan tetapi karena ulah dirinya sendiri sehingga mengharuskan mereka harus secepatnya melangsungkan pernikahan.

Wacana pernikahan dini ini semakin terlegalkan apalagi bagi mereka yang mengalami latar belakang diatas. Bahkan doktrin agama khususnya Hadis tidak jarang dijadikan sandaran bagi terlaksannya pernikahan ini. Hadis tersebut berbicara tentang usia ‘Aisyah r.a saat menikah dengan Rasulullah Saw yang disebutkan pada usia 6 atau 7 tahun dan digauli dalam usia 9 tahun.

حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ بْنُ عُقْبَةَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ عُرْوَةَ تَزَوَّجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَائِشَةَ وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ وَمَكَثَتْ عِنْدَهُ تِسْعًا

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qabishah bin Utbah Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Hisyam bin Urwah dari Urwah bahwasnya; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menikahi Aisyah saat ia berumur 6 (enam) tahun, kemudian beliau hidup bersama dengannya (menggaulinya) saat berumur sembilan tahun. Dan Aisyah hidup bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga selama 9 (sembilan) tahun." (BUKHARI - 4761)[1]

 

Berangkat dari problem tersebut penulis merasa perlu untuk meneliti hadis tentang usia pernikahan antara ‘Aisyah r.a dengan Nabi Muhammad Saw dari persepektif sejarah sosial budaya. Penulis akan mengkajinya dari beberapa jalur sanad yang berbeda untuk menjadikan nilai hadis lebih valid dan dari kontek sosio historis untuk mengetahui budaya saat dimana hadis tersebut diriwayatkan karena hadis merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw yang tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial waktu itu.

 

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah setting sosial budaya Arab saat munculnya hadis tersebut dan bagaimana relevansinya pada zaman sekarang ?

C. Pembahasan

Islam memberikan rambu-rambu tentang pernikahan. Seperti dalam Q.S. an-Nur 32, Allah menganjurkan umatnya untuk menikahi orang-orang yang masih sendirian atau yang sudah pantas untuk menikah.

وَأَنكِحُوا۟ ٱلْأَيَٰمَىٰ مِنكُمْ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya:  “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”

`Anjuran menikah tersebut ditujukan kepada para pemuda, dengan syarat bagi yang telah mampu. Mampu disini mempunyai pengertian yang komplek, pertama, mampu memberikan nafkah ahir yaitu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan mencari ma’isyah yang halal. Kemampuan menafkahi ini tidak mempersyaratkan adanya pekerjaan tetap, yang paling penting adalah kemampuan dan kesanggupan untuk mengupayakan nafkah yang halal tersebut. Kedua mampu secara batin yaitu mampu melakukan hubungan seks secara normal kepada pasangannya. Dilihat dari natersebut agama tidak mensyaratkan waktu tertentu kepada seseorang yang ingin melakukan pernikahan, hanya saja yang diperlukan adalah kesiapan atau kemampuan. Namun berbeda dengan problematika zaman sekarang dimana persoalan umat semakin komplek, Seperti munculnya persoalan pernikahan dini atau usia dini.

Dalam konteks UU pernikahan telah menetapkan usia minimal menikah baik laki-laki maupun perempuan yaitu minimal 19 tahun,. Namun sebagai Negara yang merupakan mayoritas kaum muslim, secara hukum Islam pernikahan usia dini hukumnya sunnah, dalam hal ini penentuan usia nikah dalam Islam tidak di jelaskan, akan tetapi dapat di ukur dengan masa baligh seseorang. Berbicara soal pernikahan maka itu tidak terlepas dari budaya. Banyak diantara suku-suku tradisional di dunia masih melangsungkan pernikahan dibawah umur, yang mana itu lebih karena faktor budaya dan bukan agama. Pernikahan Islami memiliki tradisi tersendiri yang telah berkembang dalam masyarakat. Seperti tradisi Pernikahan Islam pada zaman Rasulullah saw.

Pernikahan Nabi Muhammad saw dengan ‘Aisyah r.a ini pernikahan yang tidak dianggap aib, tercela, atau melanggar ketentuan, karena sudah menjadi tradisi, dan cocok pada perkembangan fisik dan psikis anak-anak perempuan pada masa itu. Sebab itu, sebuah kaidah menegaskan, “Hukum atau Fatwa dapat berubah dengan perubahan zaman, tempat, kondisi, dan kebiasaan.  Jadi bila memaksa untuk menganalogikan (qiyas) usia pernikahan Aisyah pada zamannya dengan usia pernikahan perempuan pada masa sekarang adalah analogi yang keliru (qiyas ma`al fariq). Karena setiap zaman ada keadaan, adat, dan ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan. Pernikahan Rasulullah saw dengan Siti ‘Aisyah r.a merupakan perintah langsung dari Allah tidak menganjurkan untuk diikuti atau dilakukan oleh para sahabat maupun umatnya karena pengkhususan untuk Nabi Muhammad saw.

Nabi Muhammad saw kemudian menikahi ‘Aisyah r.a tiga tahun setelah wafatnya Khadijah. Namun, Nabi SAW tidak langsung menggaulinya pada tahun pernikahannya itu, karena situasi dan kondisinya belum memungkinkan. Pada waktu itu, karena Siti Aisyah masih gadis kecil, maka yang dilangsungkan baru akad nikah, sedangkan perkawinan akan dilangsungkan dua tahun kemudian. Selama itu pula beliau belum berkumpul dengan ‘Aisyah r.a. Bahkan beliau membiarkan ‘Aisyah r.a bermain-main dengan teman-temannya. Kemudian, ketika ‘Aisyah r.a berusaha 9 tahun, Rasulullah menyempurnakan pernikahannya denga ‘Aisyah r.a. Dari hadits tersebut menunjukkan bahwasanya secara makna sangat jelas dalam menerangkan kebolehan seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang masih kecil tanpa persetujuannya atau disebut wali mujbir. Namun karena pertimbangan maslahat, beberapa ulama memakruhkan praktik pernikahan usia dini. Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang masih kecil belum siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga, meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid. Karena itu menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbulkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga diterima dalam madzhab al-Syafi’i.

Mengenai pernikahan Nabi Muhammad Saw dengan Aisyah ra pada usia 6 atau 7 tahun, harus dipahami bahwa hal itu memang sudah menjadi budaya pada masa sebelum Islam, yang mana kejadian demikian itu di anggap wajar pada masa itu. Dikatakan Rasulullah Saw menikahi ‘Aisyah r.a pada usia 6 atau 7 tahun akan tetapi Rasulullah Saw kemudian baru berkumpul dengan ‘Aisyah r.a pada usia sembilan tahun, dan pada saat itu memang syariat belum diturunkan oleh karenanya yang Rasulullah lakukan memang belum dilarang oleh Allah SWT akan tetapi Allah tetap menjaga Nabi Muhammad saw dengan cara membuat Rasulullah SAW baru berkumpul dengan ‘Aisyah r.a ketika beliau memasuki usia baligh atau masa puber.  Praktek Rasulullah yang tidak mengikuti budaya masyarakat dimasa tersebut yang langsung berkumpul ketika menikah dengan wanita yang dinikahinya walaupun masih dibawah usia puber, dan baru melakukannya ketika Aisyah r . a memasuki usia puber atau baligh, menyiratkan kepada kita semua bahwa apa yang ditawarkan Nabi Muhammad saw merupakan praktek yang tertinggi yang dilakukan diantara kebudayaan masyarakat diwaktu itu. Fakta bahwa tidak ada penolakan sama sekali antara pernikahan Rasulullah Saw dengan ‘Aisyah r.a merupakan salah satu bukti bahwa pernikahan dengan wanita yang memiliki usia sangat dini merupakan bagian dari budaya masyarakat arab diwaktu itu. Yang perlu dicatat dari hal ini adalah bahwa memang Islam mengajarkan pernikahan baru bisa dilakukan setelah wanita memasuki usia baligh, semua ahli fiqh sepakat dengan hal itu, dan memang syariat yang mengatur tata cara pernikahan turun setelah hijrah waktu di Madinah. Hampir semua kebudayaan terdahulu memberikan perhatian mengenai pubertas dan ritual pernikahan, walaupun secara umum ada tedensi untuk lebih memperhatikan pubertas lakilaki dari pada perempuan. Karena pubertas dan pernikahan merupakan simbol anak tersebut siap untuk memperoleh kehidupan dewasa. Perbedaan dalam menilai sejauh mana kedewasaan seseorang yang ditentukan dalam batasan usia pada masa sekarang adalah sangat berbeda dengan proses kematangan seseorang pada masa terdahulu.

 

D. Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwasannya pernikaan dini lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya, Pernikahan dini tidak bisa diukur dari sisi agama. Karena menurut agama islam jika dengan menikah muda mampu menyelamatkan diri dari perbuatan dosa maka menikah adalah alternatif yang baik. Namun jika dengan menunda pernikahan sampai usia matang mengandung nilai positif maka hal ini adalah lebih utama

Mengenai hadits tentang pernikahan ‘Aisyah r.a kita tidak bisa hanya melihat teksnya saja akan tetapi juga harus merujuk ke hadîts hadîts yang berkaitan, baik itu mengenai sejarahnya maupun pengetahuan tentang sosio kemasyarakatan. Selain itu sumber pokok yang perlu dipahami juga yaitu al-qur’an dan pemahaman para ulama salaf yang berkaitan dengan hadîts tentang usia pernikahan ‘Aisyah r.a.

Apabila dikaitkan dengan konteks sekarang hadîts pernikahan dini masih sangat relevan pada masyarakat, meskipun pernikahan dini tidak ada larangan dari agama. Asalkan telah memenuhi syarat-syarat yang telah di tentukan oleh islam yaitu, adanya pernikahan berdasarkan restu serta izin dari wali mujbir, adanya tujuan serta kemaslahatan (kebaikan) apabila dinikahkan, kematangan emosional (mental) dan spiritual (keberagamaan), dan adanya kematangan secara fisik



[1] http://mqtebuireng.softether.net/hadis9/bab_open.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar