Selasa, 03 Januari 2012

Pengamalan An-Nahy (MK.Ushul Fiqh B)


BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Bagi nahy ada dua keadaan: pertama, keadaan umum yaitu suatu keadaan yang tidak terdapat qarinah yang menyebabkan hal itu dilarang , dan kedua, keadaan dengan adanya qarinah yang menyatakan bahwa sesuatu itu dilarang.
Apabila larangan itu bersifat mutlak dan tidak ada qarinah yang menyertainya yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang, tetapi ada hal lain yang menyebabkan hal itu dilarang, keadaan ini terbagi kepada dua keadaan:
Pertama, keadaan yang menyebabkan hal itu dilarang terkadang melalui perasaan, perasaan akan menyatakan hal itu dilarang baik oleh hati nurani maupun oleh agama. Seperti berzina, minum khamar, dan sejenisnya. Semua merupakan sesuatu yang menurut perasaan dilarang, karena perbuatan tersebut ada sebelum nash syar’i menyatakan keharamannya.
Kedua, keadaan yang menyebabkan hilangnya pahala bagi orang yang mengerjakannya seperti shalat dan puasa, semuanya tidak akan diberkahi dan diberi pahala kecuali sesuai  dengan amalan yang diperintahkan syara’ seperti halnya jual beli yang tidak sah kecuali mengikuti mengikuti yang diperintah oleh syari’ .














BAB II
PEMBAHASAN

1.     Pengertian Al-Nahy
Secara etimologi, al-Nahy adalah lawan dari al-amr[1] Jika al-amr berarti perintah, maka al-Nahy berarti larangan atau cegahan. Banyak ulama yang mendefinisikan makna al-nahy, diantaranya,Zaky al-Din Sya’ban menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Nahy ialah :[2]
Al-Nahy ialah sesuatu tuntutan yang menunjukkan larangan untuk berbuat.
Sementara itu, Imam Abu Zahrah menyatakan pula bahwa yang dimaksud dengan al-nahy ialah:[3]
  Al-nahy adalah tuntutan yang berisi larangan atau cegahan untuk melakukan perbuatan.
Mayoritas ulama ushul fiqih mendefinisikan nahi sebagai berikut:[4]
طلب الكف عن الفعل على جهاة الإستعلاء بالصيغة الدال عليه
Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu
Dari banyak pengertian yang diberikan para ulama tersebut pada hakikatnya menjelaskan bahwa al-Nahy itu adalah tuntutan yang bentuknya larangan atau mencegah agar tidak melakukan perbuatan dan larangan yang datangnya dari syar’i yang telah dituangkan dalam nash yaitu al-Quran dan al-Sunnah.
2.     Karakteristik Shigat al-Nahy
Menurut Mustafa Said al-Khin, bahwa ada empat macam bentuk karakteristik yang dapat digolongkan kepada al-Nahy di dalam nash, Adapun empat macam bentuk shighat al-Nahy itu adalah:[5]
  1. Fi’il Mudari yang dihubungkan dengan La al-Nahiyah . Misalnya Firman Allah:
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
Artinya: Dan janganlah kamu dekati zina, karena perbuatan zina itu adalah hal yang keji dan seburuk-buruk jalan. (QS. Al-Isra’:32).
  1. Kata yang berbentuk perintah yang menuntut untuk menjauhi larangan atau meninggalkan suatu perbuatan. Misalnya firman Allah:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الأنْعَامُ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
Artinya: Maka jauhilah oleh kamu berhala-berhala yang kotor itu dan jauhilah pula perbuatan dusta. (QS. Al-Hajj:30).
  1. Menggunakan kata Nahy  itu sendiri dalam kalimat. Misalnya firman Allah:
لا جَرَمَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ
Artinya: Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. al-Nahl: 23).
  1. Jumlah khabariyah, yaitu kalimat berita yang digunakan untuk menunjukkan larangan dengan cara pengharaman sesuatu atau menyatakan tidak halalnya sesuatu. Misalnya firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (QS. An-Nisa’:19).
Selain yang tersebut di atas, Muhammad Khuderi Bik menambahkan empat macam lagi bentuk shigat al-nahy,yaitu:[6]
5.      Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan  diharamkan. Misalnya, ayat 33 suarat Al-a’raf:
                                                         
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Artinya:Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".(QS.Al-a’raf/7:33)
6.      Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih. Misalnya,ayat 34 surat At-taubah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الأحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih(QS.At-taubah/9:34)
7.      Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan. Misalnya, ayat 180 surah Ali-Imran:
وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
            Artinya:Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS.Ali-Imran/4:180)        
8.      Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri. Seperti, ayat 193 Surat Al-Baqarah:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ
Artinya: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang lalim(QS.Al-Baqarah/2: 193)





BAB III
PENGGUNAAN AL-NAHY
DAN
KAIDAH-KAIDAHNYA
A.   Penggunaan Al-Nahy
Menurut Mustafa Said al-Khin bahwa para ulama ushul sepakat bahwa al-Nahy untuk beberapa arti, yaitu[7]
  1. Untuk menyatakan haramnya suatu perbuatan, atau tidak boleh dilakukan . Misalnya firman Allah:
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
Artinya: Dan janganlah mendekati (berbuat) zina. (QS. Al-Isra’: 32)
  1. Untuk menyatakan suatu perbuatan terlarang , tetapi jika dikerjakan tidak bedosa. Dan lebih baik jika tidak dikerjakan. Misalnya dalam Hadits Nabi disebutkan bahwa nabi melarang menyentuh kemaluan dengan tangan ketika buang air kecil.[8]Larangan dalam hadits ini tidak sampai kepada tingkat haram, tetapi sifatnya makruh saja.
  1. Untuk menyatakan do’a atau permohonan . Misalnya:
رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
Artinya: Wahai Tuhan kami janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kejahatan setelah engkau beri petunjuk kepada kami.(QS. Ali Imran : 8).
  1. Menyatakan dan menunjukkan bimbingan atau pengarahan , misalnya firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan ( kepada nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu, niscaya akan menyusahkan kamu. ( QS. Al-Maidah: 101).
5.      Menyatakan ancaman. Maksud ancaman ini adalah untuk menakuti agar tidak berbuat.
6.      Menyatakan hinaan atau merendahkan . Misalnya firman Allah:
وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى
Artinya: Dan janganlah kamu tunjukkan mata kamu kepada apa yang tealah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia. (QS. Thaha: 131).
  1. Menjelaskan suatu akibat dari suatu perbuatan . Misalnya firman Allah:
وَلا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الأبْصَارُ
Artinya: Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. (QS. Ibrahim: 42).
8.      Untuk menyatakan keputusasaan . Misalnya firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: wahai orang-orang kafir jangnlah kamu menyatakan uzur pada hari ini, bahwasanya kamu diberi balasan menurut apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Tahrim: 7)

B.   Kaidah-kaidah penggunaannya
Para ulama ushul fiqih,seperti dikemukakan Muhammad Adib Shaleh,merumuskan beberapa kaidah yang berhubungan dengan larangan, antara lain:

Kaidah pertama,”الأصل فى النهي للتحريم pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain. Contohnya,ayat 151 surah Al-An’am :
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
 تَعْقِلُونَ
Artinya:…Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).(QS.Al-An’am/6:151).

Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain haram adalah ayat 9 suarah Jumu’ah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui(QS.Al-Jumu’ah/62:9).

Larangan berjual beli dalam ayat tersebut menurut mayoritas ulama Ushul fiqih menunjukkan hukum makruh karena ada indikasi, yaitu bahwa larangan tersebut bukan ditujukan kepada esensi jual beli itu sendiri tetapi kepada hal-hal yang diluar zatnya,yaitu adanya kekhawatiran akan melakukan seseorang dari bersegera pergi shalat jum’at. Oleh karena itu,orang tidak wajib shalat jum’at seperti wanita tidak dilarang melakukan jual beli.

Kaidah kedua,”  الأصل فى النهي يطلق الفساد مطلقا”,suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang jika dikerjakan. Seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Shaleh,kaidah tersebut disepakati oleh para ulama Ushul fiqih bilamana larangan itu tertuju kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak diluar esensi perbuatan itu.
Contoh larangan terhadap suatu zat ialah larangan berzina,larangan menjual bangkai, dan dalam masalah ibadah seperti larangan beribadah dalam keadaan berhadas,baik kecil maupun besar. Larangan-larangan dalam hl-hal tersebut menunjukkan batalnya perbuatan-perbuatan itu bilamana tetap dilakukan. Ulama berbeda pendapat bilamana larangan itu tidak tertuju kepada esensi suatu perbuatan, tetapi kepada hal-hal yang berada diluarnya. Misalnya, larangan jual beli waktu adzan Jum’at dan larangan menyetubuhi istri yang sedang had.
Menurut kalangan Imam Hanafiyah,Syafi’iyah, dan Malikiyah, larangan seperti ini tidak mengakibatkan batalnya perbuatan itu jika tetap dilakukan. Sedangkan menurut sebagian kalangan Imam Hanbali dan Imam Zahiri, larangan dalam bentuk ini menunjukkan hukum batal, sama dengan larangan terhadap esensi suatu perbuatan  seperti tersebut diatas. Alasannya, melakukan suatu yang dilarang baik terhadap esensinya maupun terhadap sesuatu yang bukan esensinya adalah sama-sama melanggar ketentuan syari’at,dan oleh karena itu hukumnya batal. Berdasarkan pendapat ini, melakukan ibadah dengan pakaian hasil curian adalah batal.
Kaidah ketiga”النهي عن الشئ أمر بضده, suatu larangan terhadap perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya. Contoh,ayat 18 surah Luqman:
وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Artinya:Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (QS.Luqman/31:18)     











BAB IV
PANDANGAN ULAMA USHUL
 TENTANG AL-NAHY
1.     Segi Substansi Larangan
Perbedaan pada aspek ini berakar pada apakah hakekat atau substansi larangan tersebut menunjukkan tahrim, karahah, atau mencakup keduanya. Terhadap hal ini terdapat beberapa pandangan Ulama.[9]
  1. Kelompok pertama mengatakan bahwa al-Nahy itu substansinya adalah tahrim, kecuali adal qarinah yang memalingkan arti tahrim kepada yang lainnya. Menurut Zay al-Din Sya’ban bahwa pandangan ini dikemukakan oleh kalangan jumhur ushuliyin.[10]
  2. Kelompok kedua menyatakan sebaliknya, bahwa pada dasarnya substansi al-nahy itu adalah karahah dan tidak menunjukkan tahrim kecuali ada qarinah yang memalingkan arti karahah kepada tahrim. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian dari kalangan ulama ushul.[11]
  3. Kelompok ketiga menyebutkan bahwa substansi al-Nahy adalah gabungan antara tahrim dan karahah, dan tidak menunjukkan arti kepada salah satunya kecuali ada qarinah.[12]
2.     Segi apakah al-Nahy menuntut kesegeraan dan pengulangan.
  1. Pendapat pertama menyatakan bahwa shigat al-Nahy tidak menunjukkan adanya kesegeraan dan berulangnya larangan. Sebab al-Nahy sifatnya tidak mengharuskan demikian. Kesegeraan meninggalkan larangan dan berulangnya larangan tersebutkarena dihubungkan dengan adanya qarinah yang menghendakinya.[13]
  2. Pendapat kedua menyebutkan bahwa al-Nahy pada asalnya memfaedahkan kesegeraan meninggalkan larangan dan menghendaki pengulangan. Jika syari’ melarang sesuatu maka wajib bagi mukallaf untuk segera meninggalkan larangan tersebut dan larangan itu berlangsung terus-menerus.[14]
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
         Dari banyak pengertian yang diberikan para ulama tersebut pada hakikatnya menjelaskan bahwa al-Nahy itu adalah tuntutan yang bentuknya larangan atau mencegah agar tidak melakukan perbuatan dan larangan yang datangnya dari syar’i yang telah dituangkan dalam nash yaitu al-Quran dan al-Sunnah.
         Mayoritas ulama berpendapat bahwa nahy dari larangan dengan sifat yang lazim mengharuskan fasadnya setiap amalan. Mereka menyebutkan dengan fasid dan bathil, karenanya pandangan nahy pada zat perbuatan yaitu dilarang oleh agama dan segala perbuatannya tidak menghasilkan apa-apa.
DAFTAR PUSTAKA
Al Munawar,Said Agil Husin,Membangun metodologi ushul fiqh,Ciputat press,Jakarta,cet.I tahun 2004
Effendi,satria dan M.Zein,Ushul fiqh,Prenada Media,Jakarta,Cet.I,tahun 2005
www.olx.co.id     
http://www.scribd.com/doc/51198325/15/B-Al-Nahyu-dan-Kaidah-kaidahnya
                          














[1] Mustafa said al-Khin. Asr al-Ikhtilaf Fi al-Qawaid al-Ushuliyah Fi Ikhtilaf al-fuqaha’. Kairo: Muassasahal-Risalah, 1969, halaman 328
[2] Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama1999), h. 187.
[3] Ibid.                                    
[4] H.Satria Effendi,M.Zein, ushul Fiqh,hal:187
[5] Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 189
[6] H.Satria efendi,M.Zein, Ushul fiqh,hal.187
[7] Ibid. h. 190.Lihat juga Mustafa Said al-Khin.Loc.cit.
[8] Lihat Drs.Romli SA, M. Ag. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama1999, halaman 191. Hadis ini diriwayatkan oleh   Imam Bukhari yang dikutip oleh Mustafa Said al-Khin. Asrnal-Ikhtilaf Fi al-Qawa’id al-Ushuliyah Fi Ikhtilaf Fi al-Fuqaha’. Kairo: Muassah al-Risalah, 1969, halaman 330
[9] Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 192.
[10] Ibid. halaman 193                       
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ibid, h. 194
[14] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar